Pesan yang dikirim oleh orang kantor, memaksaku untuk menangguhkan istirahat. Untung saja Raya sudah pergi. Kalau tidak, bisa jadi aku tidak leluasa karena kekawatirannya.“Harus aku lakukan ini?”“Iya, Tuan. Sesuai arahan orang kantor,” ucap Tomo yang bersiap di sebelahku. Dia menyakinkan dengan mengangguk, sambil menunjukkan deretan kalimat di layar ipad.Aku menghela napas. Namun bagaimana lagi, aku sebagai wajah perusahaan menjadikan keberadaanku tolok ukur berkembangnya usaha. Musibah yang aku alami sekarang sudah dirahasiakan. Bahkan, aku dirawat di bagian tingkat yang paling tinggi. Tidak semua pasien bisa dirawat di lantai ini. Hanya member dengan kerahasiaan menjadi jaminannya.Akan tetapi kenapa masih saja bocor dan menimbulkan kepanikan pemilik saham.“Ada isu yang merebak di luar sana. Tuan terkena kasus perkelahian dan terluka parah.”Aku tersenyum. Wajar sih kalau mereka bersikap seperti itu. Uang mereka dipercayakan karena namaku menjadi jaminannya.“Orang kantor sudah
“Kamu kerja? Tidak istirahat saat aku pergi? Bukankah sudah aku bilang untuk tidak turun dari ranjang? Kamu ini memang tidak mendengarkan ucapanku, ya.”Pertanyaan memberondong setelah kedatangan Raya. Sepi yang aku membuatku enggan tadi, terganti dengan huru-hara.Namun, suara indah inilah yang aku rindukan. Walaupun hanya hitungan jam terpisah, kebersamaan kami saat aku sakit, sudah mencanduiku. Sambil tersenyum, aku menikmati wajah kekawatiran yang dibalut omelan kesal.“Alex! Kamu dengar kata-kataku?”“Iya. Aku dengar.”“Kok tidak dijawab?” tanyanya sambil memiringkan kepala.Aku tersenyum. “Kan dari tadi kamu tidak berhenti bertanya. Aku bingung jawab yang mana dulu.”Dia mendengkus, kemudian berjalan menuju meja makan. Kembali omelan digaungkan. Ini pasti akibat nampan berisi makanan dari suster, masih belum tersentuh.Tadi setelah kembali ke kamar, tidak lama kemudian beberapa orang kantor menghadap. Mereka melaporkan yang sudah berjalan, dan meminta persetujuan apa yang akan d
Pertanyaanku tentang Raya yang menyobek surat wasiat, aku tangguhkan. Kata buku yang aku baca, bicara dengan wanita itu tidak boleh asal, harus mencari waktu yang tepat. Entah waktunya kapan? Tidak ada kepastian. Ini lebih sulit dibandingkan memprediksi jatuhnya meteor, atau menghitung kemungkinan kenaikan nilai saham.“Tapi serakahnya kamu itu berlebihan. Masih sakit nekad kerja. Apa tidak ada karyawan yang mewakili kamu?” ucap Raya masih membahas istilah serakah.Dia membereskan sisa makananku, menyodorkan obat dan vitamin yang sudah disiapkan di wadah oleh suster penjaga.“Aku hanya kerja biasa, Ray. Cuma menunjukkan wajah dan memperlihatkan kalau aku masih sehat. Pemilik saham kangen denganku. Dan orang kantor mengidolakan aku meminta tanda tangan,” jawabku asal sambil tertawa kecil.“Huft. Begitu, ya. Berat juga sebagai kamu, ya? Kalau pegawai sakit, cukup menyerahkan surat dokter dan orang kantor akan maklum dan tidak mengganggu. Kalau kamu__”“Beginilah, Ray. Sebagai CEO sebena
Aku bisa bernapas lega ketika senyuman Raya mengembang. Tidak ada tanda-tanda dia kesal. Bahkan sesaat dia berbincang ringan dengan Tomo sebelum asistenku itu pamit. “Kerja Pak Tomo berat mendampingi Tuan Alex. Jangan lupa makan Pak Tomo,” ucapnya membalas anggukan hormat Tomo. ‘Aman,’ pikirku. Ini tidak seperti yang aku baca di buku, kalau wanita akan marah besar saat ucapannya tidak dituruti. Saat mulai dekat dengan Raya, memang koleksi bukuku tentang hubungan manusia semakin bertambah, terutama tentang kekasih. Kelegaanku luruh seketika saat dia membalikkan badan, wajahnya sudah terpasang tanpa senyuman. Kedua alis matanya bertaut seakan bersiap melakukan serangan. “A-aku tadi terbangun saat Tomo datang, Ray. Beneran. Ini bukan karena aku memintanya datang,” ucapku sambil menunjukkan dua jari. "Tidak mungkin. Pasti Tomo kamu panggil ke sini, kan? Sudah aku bilang kalau waktunya istirahat, ya harus istirahat. Begitu kok susah amat, ya?" "Aku tidak bohong, Raya Sayang," ucapku
Kata demi kata aku baca yang membangkitkan tubuh ini merinding. Semakin aku menyelami artikel ini, semakin diri ini menciut. Lelaki yang selama ini aku bentak-bentak ternyata bukan orang biasa.Kalimat apakah aku pantas, mulai menyoal kembali.~~Peringkat 100 orang terkaya di negara ini versi majalah bisnis Eropa ini masih di dominasi oleh pengusaha gaek. Deretan orang kaya tersebut memiliki usia rata-rata 70-80 tahun. Namun yang menjadi kejutan tahun ini, anak muda masih berusia 25 tahun sudah masuk di jajaran orang-orang sukses.Alexander Dominic, CEO Global Dominic Technologies, Tbk. Lajang berprestasi yang menunjukkan kecintaannya kepada tanah air dengan tekad membantu meningkatkan perekonomian melalui teknologi.~~Pasti ini yang dimaksud Mbak Leni. Dengan artikel ini, semua orang sekarang mengenal siapa kekasihku itu.Buru-buru aku kembalikan majalah di posisi semula, saat suara langkah sepatu hak tinggi Mbak Leni terdengar. Aku kembali menyibukkan diri dengan data-data di depa
“Aku harus bagaimana, Mbak? Apa keputusanku menerima Alex itu salah?”“Ngawur kamu, Yak! Jangan hanya omongan orang lain, kebahagiaanmu terpengaruh. Lanjut saja! Anjing menggonggong, kafilahpun berlalu. Jadi anggap saja mereka itu yang menggonggong!” ucap Mbak Leni ikutan kesal.Ucapannya senada dengan pemikiranku saat menulis cerita. Secara teori memang mudah, mengabaikan ucapan orang lain, tapi kalau merasakan sendiri itu tidak mudah. Rasa sakit hati menyelusup sendiri tanpa permisi.Merasa kesal sudah di ubun-ubun, tadi aku justru menutup jendela.“Kamu, sih. Harusnya langsung labrak, bungkam, sampai tidak mampu berkata-kata. Ini malah menghindar. Gemes aku lihat kamu. Takut?”Mbak Leni terlihat mengatur napas yang masih terengah. Kentara sekali masih tersisa emosi yang sempat meledak tadi.“Bukannya takut, Mbak. Tetapi aku takut dengan diriku kalau tidak bisa menahan amarah lagi. Bisa jadi mulut ini keluar kata-kata jelek. Kasihan mereka.”“Memang mereka kasihan kepadamu?” tanya M
“Loh, kita kemana?” Aku memperhatikan arah mobil yang tidak menuju rumah sakit. Ini justru semakin meninggalkan keramaian kota.Dia tersenyum. “Kamu ingin aku di rumah sakit terus?”“Kamu sudah pulih benar?” tanyaku terkejut menyadari tidak ada jarum infus yang menancap.“Sudah. Rumah sakit sudah mengizinkan aku pulang. Tapi tetap mereka menyiapkan perawat dan dokter yang mengawasiku. Makanya, tidak mungkin ini di apartemn, jadinya aku memilih di rumah saja.”Dahiku berkerut, ucapannya ada yang dipaksakan. “Kamu pulangnya atas dasar apa? Bukan karena anjuran dokter, kan? Pasti ini karena paksaan dari kamu.”Dia tertawa kecil mengawali ucapannya. “Aku di sana atau di rumah sakit, itu sama saja, Ray. Yang penting tujuannya kan aku sembuh.”“Di rumah sakit saja kamu bandel, apalagi di rumah.”“Kan ada kamu?” jawabnya sambil mengusap-usap tengkuknya dengan mata berkedip-kedip.“Ish! Menyebalkan!”“Tapi sayang, kan?”‘Iya, sih,’ jawabku dalam hati sambil mendengkus dan melotot ke arahnya.
Bermalam di rumah kekasih itu seperti satu atap dengan serigala. Bukannya takut karena tidak mampu menjinakkan keliarannya, tapi yang dikawatirkan diriku berubah menjadi werewolf.Lebih ganas, dong?Memang.“Kamu istirahat dulu. Atau kalau ingin mandi juga silakan. Ini areal kamu dan milik kamu. Aku tidak akan mengganggu,” ucapnya sambil mengedipkan mata.Baru saja pintu tertutup, sekarang terbuka kembali. Kepalanya menyembul menunjukkan senyuman yang menjengkelkan.“Apa?!”“Kalau kamu butuh aku, aku di kamar sebelah, ya. Trus kalau butuh apa-apa, itu di atas nakas ada interkom. Okey?”“Iya,” ucapku kemudian menutup pintu.Walaupun tadi dia mengatakan tidak akan menganggu, tetap pintu ini harus aku kunci. Anak kunci baru aku putar, tapi ketukan pintu terdengar. Pikirku, mungkin ini pekerja rumah di sini.“Ada apa lagi, Alex?”Tebakanku ternyata salah. Lelaki yang menjulang ini kembali berdiri tepat di hadapanku. Senyuman mengembang lebar dan mata menyorot jenaka.“Ada yang lupa aku bi