Tepakan kaki kembali terdengar, pria itu berjalan mendekat, tumbuhku semakin beringsut, kaki melipat kebalakang, aku benar-benar ketakutan. Dia duduk di depan cermin rias, perlahan menuangkan alat kecantikan pada kapas, menggosokannya pada wajah.Setiap wajah yang terusap berubah warna, dia masih diam menatap lekat wajahnya di cermin. Hatiku berdegup lebih kencang. Meski jarang bertemu dan hanya terlihat dari pinggir, aku bisa memastikan siapa pemilik wajah itu."Hai ...," sapanya ramah. Namun, bagiku itu seperti sapaan kematian."Heum ... heum ....." Aku berontak untuk membuka ikatan."Sssstt!" Bastian meletakkan telujuk dibibirnya. Menatap, lalu tertawa.Ia meninggalkanku begitu saja yang masih mencoba berontak.Bastian mengambil sebuah remot tv, ia menyalakan sebuah dvd, lalu duduk di ranjang, tepatnya di bawah kakiku."Papah selamat ulang tahun ...." Teriak riang seorang anak, seorang anak laki-laki seusia Bian. Berlari-lari menghampirinya."Makasih sayang."Bastian menggendong
Riana masih bergeming, matanya seperti buta dan tak mampu melihat, tubuhnya nampak kaku, sekilas ia bahkan terlihat tidak bernapas. Hanya diam seperti patung, mati rasa dalam keadaan berdiri."Aw!"Zain membungkuk, memegangi perutnya."Ibu, perut Zain sakit," rintihnya memelas.Brank! makanan kaleng yang dipegangnya terjatuh, tubuhnya terus membungkuk menahan sakit.Aku gamang, kaki bergetar, lemas dan tak mampu lagi berdiri, terduduk menyaksikan kesakitannya."Mana yang sakit Zain?"Radit yang kulihat sudah melihat semuanya dari arah lain segera menghampiri Zain."Aw!" Zain memekik, tubuhnya lemas dan terjatuh ke tanah.Aku beringsut pada Bian.Radit memeriksa keadaan Zain, perutnya mengeras seperti kram."Apa yang terjadi pada Zain, Bu?" tanya Bian dengan suata bergetar. Aku tak mampu berkata hanya mampu memeluknya dalam rasa iba."Aku akan membawa Zain ke rumah sakit," ucap Radit cepat. Membopong tubuh Zain yang terus mengeliat kesakitan."Mari ikut saya, Bu."Petugas polisi membo
Ponsel Radit tidak aktif, sebelum dia pergi ke kantor, aku ingin meminta bantuannya. Jadi harus berangkat pagi-pagi."Mamah mau kemana?" Bian yang baru mengucek matanya setelah bangun tidur, menatap heran karena aku sudah rapi pagi sekali."Mamah mau ke kantor polisi sayang, tapi mau minta bantuan Om Radit. Tunggu sebentar ya," jawabku bergegas pergi menuju apartemen sebelah.Berkali-kali menekan bel, Radit masih tidak kunjung keluar, coba-coba kudorong pintunya ternyata tidak terkunci."Dit ...," panggilku perlahan. Sebenarnya ini pertama kalinya aku masuk apartemen Radit.Aku celingukan, isi apartemennya lengang, hanya ada beberapa forniture di dalamnya. Sedikit aneh jika dia sudah tinggal lama di apartemen ini, kecuali baru pindahan."Dit ...," panggilku lagi.Masih belum ada sahutan dari pria itu. Kemana dia?Aku masih mencarinya ke beberapa tempat, termasuk ke dapur tempatnya membuat makanan yang enak setiap pagi. Benar saja, di bagian apartemen ini hanya peralatan masaknya yang
Dear diary ...Kututup kisahku di masa laluJangan ingatkan ia jika tak perluAku akan menapaki hidupku yang baruMembuka lembaran baru kertasmu.Aku tahu tak bisa hidup di kerajaan Cinderalla yang bahagia selamanya.Ini hidup bukan hanya dongeng.Di kertasmu yang baru akan ada banyak coretan warna warni perjalanan hidupku.Tapi aku mohon, jangan jadikan aku wanita yang terbuang, tersisihkan menjadi serpihan.Tuliskan aku sebagai wanita yang layak dicintai, menjadi pendamping yang berharga hingga maut memisahkan kami.Tuliskan aku sebagai ibu yang bisa menjadi panutan untuk anak-anakku.Menyayangi mereka dengan cara benar, bukan hanya menjadikan mereka sebagai alasan keegoisan._________"Mamah ...."Anak lelaki itu duduk diantara cahaya pagi yang menerobos masuk membawa kehangatan dalam keluarga kecil kami."Iya sayang, kemarilah."Kututup diary, menyimpannya sementara hingga mendapatkan kembali kisah yang layak dibagi.Wajah sendu itu sepertinya sedang mengkhawatirkan sesuatu."Ada
Lelaki berbola mata coklat dan alis rapi itu sudah duduk manis menghadap layar komputer saat dokter mulai memeriksa."Usainya sudah 20 minggu ya, bu?" ucap dokter saat dinginnya jel mulai meresap dalam kulit perut."Iya dokter, hitungan saya pun sama 20 minggu.""Ok, saya lihat lagi."Alat yang disebut transduser itu bergerak perlahan menekan bagian perut."Aw!" Aku sedikit memekik."Ngilu ya?" tanya dokternya datar."Iya dokter.""Belah ya ...," ujarnya lagi, sibuk mengetik di keyboard."Maksudnya dok?" tanya Radit."Ya belah, berarti sama dengan ibunya," jelas dokter tanpa menoleh pada Radit yang aku yakin dia masih bingung dengan istilah itu."Apanya yang belah dok?" tanya Radit lagi. Aku tertawa kecil, sudah kuduga dia bingung dengan istilah itu."Nah, itu yang suka Bapak tengok tiap malam kan belah?" ujar dokter, menoleh sedikit pada Radit dan kembali fokus ke layar. Kulirik Radit, bayangnya memperlihatkan ia sedang menggaruk bagian kepala, nampak sekali ia ingin bertanya lagi
Suara langkah kaki terdengar mendekat, aku segera berbalik melihat Rini yang keluar dari kamar.Memasang senyum yang dipaksakan, "Mau kemana Rin?""Ke toilet," jawabnya lemah.Aku segera menghampiri dan memapahnya ke kamar mandi yang jaraknya hanya bersisian dengan kamar tidur.Radit terlihat bingung dan hanya duduk di kursi.Setelah Rini masuk, aku kembali ke ruangan tamu, Radit menatapku, hanya saja aku masih menghindarinya. Tiba-tiba aku ingat pada sesuatu yang disembunyikan Rini sebelumnya. Aku bergegas menuju kamar, membuka laci yang tadi kulihat.Kulihat beberapa figura foto menelungkup di sana. Hati tersentak saat melihatnya, itu adalah kumpulan foto-foto Radit saat masih kuliah dulu, berukuran kecil yang dijadikan satu.Apakah Rini mencintai Radit sejak dulu? bahkan saat kami masih dekat saat itu?Rini yang tidak menampakkannya atau aku yang kurang peka. Sedangkan kemana pun kami selalu bersama.Mataku kembali terfokus pada sebuah buku diary yang terbuka lengkap dengan pembat
"Neng Halwa," panggil Bi Asih dibalik pintu."Iya Bi, buka aja nggak dikunci kok."Aku sedang merebahkan badan setelah menjemput Bian dari sekolah, entah kenapa punggung terasa sakit, mungkin karena kandunganku semakin besar, dan hari ini belum sempat istirahat.Kulihat perlahan pintu terdorong ke dalam, Bi Asih masuk dan sedikit berbisik."Neng, ada Bapak.""Bapak?""Iya neng, Pak Gunawan, ayahnya Pak Rian.""Oh, sungguh?""Iya Neng."Aku segera bangun dan bersiap-siap memakai baju yang pantas dan sedikit riasan."Kakek datang sendiri?" tanya Bian.Anak itu ternyata sudah menyambut kakeknya lebih dulu."Iya sayang, kakek datang sendiri. Kebetulan nenek lagi kurang sehat," jawab ayah.Aku menghampiri dan mencium punggung tangannya.Bi Asih datang membawa minum dan dan beberapa cemilan."Apakah kakek datang untuk bertemu Bian?" tanya Bian lagi.Ayah memandang Bian dan mencium keningnya, lalu menyimpannya dalam pelukan."Untuk siapa lagi Kakek datang, kalau bukan untuk Bian," jawab ayah
Pluk! Rini melonjak dari tempat tidur dan memeluk Radit."Aku membutuhkanmu, Dit," lirihnya.Hah! hatiku mencelos.Kelopak mata tertutup dengan sendirinya, dada terasa sesak dan sulit untuk mendapat udara. Aku berbalik dan tak ingin melihat, namun tangan Radit mencekal kuat."Jangan pergi Halwa," ucapnya.Radit berusaha melepaskan pelukan Rini. Ia melihat tangan Radit yang menggenggamku.Rini kembali berbaring di ranjangnya. Wajahnya menekuk dan sayu."Berbicaralah dengan Rini," ucapku pada Radit."Kamu harus menyelesaikan urusan kalian," tambahku lagi dan memutuskan untuk keluar, meninggalkan mereka berdua.Kututup pintu ruangan Rini perlahan, kaki bergetar dan berhenti di sana. Menyandarkan tubuh yang lemah karena hati yang sakit."Aku tidak bisa menahan rasa ini lagi, Dit." Samar kudengar suara Rini mulai berbicara."Kamu tahukan selama ini aku hanya mengangapmu sebagai teman?" jawab Radit balik bertanya."Beri aku kesempatan, Dit. Selama ini kamu tidak pernah memberiku kesempatan,