Aku tak tinggal lama-lama di klinik sekolah. Ketika kudengar pemberitahuan berkumpul di auditorium, aku langsung berdiri dan keluar dari klinik. Tak lupa untuk berterima kasih terlebih dahulu pada Juff Gretta. Dia melambai padaku. “Lain kali jalannya hati-hati, ya.” Ucapannya hanya kubalas dengan senyuman dan bergegas ke auditorium. Saat memasuki auditorium, aku bertemu dengan Anika. Dia hanya melihatku sekilas sebelum melangkah ke wilayah penonton. Benar, reaksi seperti itulah yang wajar. Bukan seperti Zoey atau Sabine yang ramah padaku. Membuatku terasa canggung. 'Hari ini kita ada pengumuman penting jadi harap segera duduk di tempat yang kosong.' Aku akhirnya kembali melangkah mengikuti jejak Anika sambil mendengarkan suara seorang guru tak kukenal yang berdiri di panggung. Asal saja aku duduk di bangku kosong. Menemukan bahwa guru yang sedang berbicara di panggung itu masih terbilang muda. Dia juga terlihat tegas seperti Mw. Jansen-Willems, tapi suaranya terd
Aku mengabaikan Aaliya dan kembali fokus ke panggung. Tapi dunia ini sepertinya tak ingin melihatku hidup tenang. “Oh, kau tak istirahat di klinik?” Aku menoleh dan menemukan Sabine berdiri tak jauh dari bangku kami. Benar, tak mungkin dunia ini membiarkanku duduk di pojokkan untuk menonton drama. Sabine terkejut melihat Aaliya yang duduk di sebelahku tapi aku tak merasakan ada niat buruk darinya. Hanya rasa penasaran. “Apa kau sakit, Cath? Kau tadi tiba-tiba pingsan.” Dia duduk di bangku belakang kami, yang ternyata masih kosong. Yang terjadi sekarang ini terlihat sangat normal, jika saja aku tak mendengar suara dua orang yang sedang menggeram pada satu sama lain di kepalaku. - Yang kau lakukan ini menciptakan terlalu banyak variabel, Uriel. - Diam kau, pelacur Asgard. - Kau mengacaukan visi dimensi ini. Kau tahu itu berbahaya. - Kau pikir aku akan percaya visi bodohmu itu? Bukannya kalian duluan yang memulai variabel, ah, Olimpik juga. Intervensiku ini cuma seperti kep
“Nona Solovyova,” panggilku saat melihat Anastasia berjalan keluar gedung. Aku berjalan agak cepat supaya tak ketinggalan. Dia kelihatan santai tapi aku kesulitan mengejar langkahnya. Dan dia menoleh, berkedip beberapa kali sebelum berujar. “Kau yang dari tadi menatapku di dalam sana.” “Apa kau bisa meluangkan waktu, sebentar saja.” Dia menatapku lama. Tapi dia tak kelihatan kaget atau bertanya-tanya karena permintaanku, malahan dia kelihatan seperti menerima sesuatu yang sudah dinantinya sejak lama. Entah dari mana aku yakin dia tak akan menolak berbincang denganku, orang asing. Perasaan yang aneh. “Kalau begitu… Apa kau tahu tempat yang nyaman untuk berbincang?” Anastasia Solovyova. Fisikawan muda yang nyaris memenangkan piala Nobel untuk penemuannya ‘Partikel Penyusun Materi Gelap’ dua tahun lalu. Menemukan asal mula dan sumber energi gelap. Ilmuwan yang tergabung dalam organisasi riset nuklir terbesar di dunia, CERN. Dan baru-baru ini memulai ulang proyek lama yang d
Aku melihat perempuan di hadapanku ini tanpa berkedip. Aura di sekitarku terasa serius. “Nona Solovyova.” “Ya, nona…” “Ah, maafkan ketidaksopananku. Aku Catherine Brunner, baru hari ini aku pindah ke sekolah ini. Aku berasal dari London.” Anastasia mengangguk dan mengakuiku. “Nona Brunner.” “Apa kau yang meminta kakek Rouge membantu temanku? Kita semua tahu kakek cerewet itu tak suka ikut campur dalam takdir, dia hanya akan mengingatkan ketika suatu alam terancam punah. Satu-satunya yang punya otoritas lebih tinggi untuk memerintah kakek tua itu hanya seorang darling.” “Kau menyadarinya dengan cepat.” Dia bahkan tak mencoba untuk membantah. Seolah itu adalah hal yang wajar untuk dilakukan, tapi aku tak paham. “Kenapa?” Kenapa seorang darling sepertinya melakukan semua ini? “Kenapa tak ada yang tahu kau itu darling?” Kenapa dia melakukan semua ini diam-diam? “Kenapa identitasmu terdaftar sebagai penjelajah dunia?” Tak. Tak. Tak. Tak. Suara ketukan yang sama. Mungki
Perbincangan dengan Anastasia itu seperti syok disambar petir. Walau aku tak mendapatkan informasi yang kumau, informasi lain yang kudengar darinya sudah seperti balon panas yang siap meledak kapan pun juga.“Bahaya…” Aku menghela napas. “Sangat berbahaya…”Di sekitarku, anak-anak kelas mulai bubar keluar kelas satu-persatu. Aku yang hari ini memutuskan mengikuti jadwal kelas Zoey yang semuanya berhubungan dengan ekonomi, memutuskan besok aku harus menghindari cewek itu.Dari lima kelas yang dia ambil hari ini, tiga darinya adalah kelas privat. Dan
Aku merengut dan Brian ikut merengut. “Kau sepertinya sudah baik-baik saja.” Dia menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekatiku. “Aku memutuskan Britt.” Aku tak bisa berkata-kata, apa otak orang ini waras? Maksudku, respons seperti apa yang dia mau dariku dengan pernyataannya itu? “Aku tahu,” balasku. “Apa yang kau lakukan di sini?” Dia tiba-tiba muncul begini… “Kau tahu, kan?” “Aku—” Dia menghentikan apa pun itu yang ingin diucapkannya dan menahan diri. “Benar, aku tahu itu bukan kau. Tapi rasanya sangat canggung, aku tak tahan. Kau pasti juga tahu.” Gara-gara dia, tanpa sadar aku jadi mengumpat. “Malaikat sinting sialan.” Dan dia justru tertawa. “Kau pasti juga tahu hubungan kita gak bisa disebut polos lagi.” Dia sukses membuat moodku jelek karena kalimat penuh makna yang dilontarkannya seolah itu bukan rahasia besar. Memang, itu bukan rahasia besar tapi tetap saja! Aku jadi teringat adikku yang selalu menghancurkan moodku dengan mengataiku untuk mengumpulkan
[BAB IV] BERPUTAR MENGHINDARI LURAH BIDANG _______________ Kau tahu … apa itu menggantang asap? Aku yang kala itu baru menginjak umur dua belas tahun dan sukses menjalani upacara kebangkitan … menyadari maksud frasa itu. Aku yang diakui Jawatankuasa Bumi Pertiwi memiliki bakat untuk membuka gerbang dimensi merasakan seperti apa rasanya hasil jerih usahaku … hanyalah perbuatan sia-sia. Aku kalah—bukan, kami kalah. Itu adalah insiden yang miris, atau konyol malah. Mengingat tiga faktor yang menyebabkan insiden itu akan selalu terjadi, meski waktu kembali diulang. Tiga faktor itu adalah kami. Aku yang punya ambisi besar tanpa kekuatan setara. Archer yang punya kekuatan besar tanpa ambisi setara. Brian yang punya keduanya namun selalu membuat keputusan tergesa-gesa. Benar, kami bertiga adalah tiga orang pembuat onar yang ditakdirkan akan menghancurkan Bumi jika tak dihentikan. Untung saja kami dihentikan. Hanya saja… Kami kehilangan segala yang kami punya. Untuk masa depa
Saat aku dan Brian sampai ke rumah, aku menemukan adikku yang duduk di depan televisi. Tak lupa dia mengunyah berondong jagung seolah yang dia tonton adalah film box office. Tapi bukan, yang dia tonton itu adalah kartun Spongebob Squarepants. Membuatku ilfil saja. Jadi aku mengabaikannya—dan Brian yang ikut bergabung dengannya, dan masuk ke kamarku untuk berganti baju. Saat aku keluar, di dapur terdengar suara orang memasak dan Brian menghilang dari samping adikku. “Jangan berdiri macam arwah baru lahir, duduk atau ngapain sana.” Aku hanya melamun sebentar dan dia sudah menyerangku saja. “Kenapa kau di sini dan bukannya di Codannovia?” balasku menyentuh titik terperihnya, pura-pura tak mendengar hinaannya yang menyamakanku dengan arwah payah dari Shangri-La. Aku memeluk bantal sofa dan berbaring di sofa paling besar. Mataku terpejam bukan karena lelah, aku hanya tak mau melihat wajah adikku yang seperti wajah musang berotak ikan. “Redbad tak percaya dengan raja yang ber