“A-ah iya, sekarang kamu udah ketemu aku, toh.” Ida memaksa bibirnya mengurai senyum.Nayra memperhatikan air muka Ida yang pias. Apakah dirinya tak salah lihat? Ibunya sekarang terlihat sedang gugup menghadapi salah satu teman SMA yang sekarang ini berada di depannya.“Ikut arisan bareng teman-teman, yuk, Da. Biar makin rame!” cetus temannya itu menepuk bahu Ida perlahan.Nayra kian memicingkan kedua matanya. Jelas-jelas Ida mengatakan bahwa dirinya ikut acara arisan akhir-akhir ini. Apa ibunya bohong?“Oh, pasti. Lain kali aku akan ikut arisan kalian, tapi sekarang aku ke kamar mandi dulu, ya. Kebelet.” Ida nyengir, lalu segera menarik tangan Nayra.“Ayo, cepet, Nay!” Dengan setengah berlari, Ida lekas membawa Nayra bersamanya. Baik Nayra maupun wanita berambut pendek tadi kebingungan. Padahal temannya ingin mencegah kepergiannya karena ingin meminta kontak Ida agar bisa menghubunginya lagi.Ida segera berhambur menuju salah satu bilik kamar mandi sewaktu tiba di toilet umum rumah s
“Halo, tolong belikan laptop baru sekarang juga.” Aldo bergerak kikuk dan langsung menghubungi salah satu pergawainya. Ia sengaja melakukannya demi mengabaikan celetukan Arvin yang menyebalkan.Arvin bersedekap dan menggerakkan matanya terus menerus mengikuti setiap tindakan Aldo secara detail. Sekarang di bibirnya bertengger senyuman miring mengejek sikap Aldo yang sengaja menghindarinya. Ia juga sempat mengalihkan tatapan kepada Nayra yang tengah bersikap canggung.“Ya, merk itu juga boleh.” Aldo melirik Arvin sepintas, lantas mendengus karena pria itu masih antusias menunggunya.Setelah itu, Aldo terpaksa mematikan sambungan ponselnya dan duduk di kursi singgasana seperti semula.“Kalian benar-benar… hmm─”“Cepat kerja dan berhenti mengada-ngada! Nanti kamu pinjamkan laptopmu untuk Nayra sebelum laptop barunya datang,” sambar Aldo secepat mungkin. Ia tak mau jika Nayra atau orang lain salah paham.Arvin menoleh ke arah Nayra singkat, lalu terkikik pelan. Ia menutup mulutnya dengan
Nayra tersentak. “A-apa, Pak? Kenapa─”[Jangan banyak tanya. Ini bagian dari pekerjaanmu. Aku sudah sampai di depan gangmu.]“Hah?! Bentar, Pak. Saya keluar dulu.” Nayra langsung berdiri dan mematikan sambungan teleponnya.Ia merapikan rambutnya secara cepat, lantas segera menggiring kakinya. Pikirannya masih menimbang-nimbang penuh keraguan kenapa pimpinannya itu ingin dirinya ikut. Mau kemana mereka?Begitu membuka pintu, Nayra menangkap gerakan Ida menarik cepat lengannya. Spontan Nayra mengernyit samar. Apalagi keduanya sekarang sedang duduk berdekatan.“Mau kemana kamu, Nay?” ketus Ida menutupi rasa gugupnya.“Aku mau pergi sebentar. Ada tugas mendadak dari pimpinanku.” Nayra menyahut cepat sembari memakai kembali pantofel yang ia pakai tadi. Sementara Guna menatapnya dengan remeh.Nayra lekas berlari. Seketika ia melupakan apa yang terjadi di belakangnya barusan. Sekarang pikirannya tertuju kepada Aldo yang telah tiba di jalan depan gang rumahnya.Saat kedua netranya melihat mob
“Masa sama ibu sendiri nggak mau bilang? Kurang ajar si Nayra,” celetuk Guna mencoba mengompori Ida. Ia bahkan mengamati bagaimana air muka wanita itu berubah.“Ya, kan kamu tahu sendiri dulu dia juga susah nerima aku di sini.” Ida mendengus kesal. “Kenapa kamu bicarain dia lagi? Masih suka?”Melihat Ida merajuk membuat Guna tergelak singkat. “Nggaklah, sekarang cintaku hanya buat Ibu seorang,” goda Guna sengaja mengacak-acak hati Ida dengan sentuhan pada dagunya.“Heh, kok ibu! Aku bukan ibumu!”“Nggak, dong. Kamu itu kekasih sekaligus sosok ibu satu-satunya dalam hidupku. Ibaratnya kamu kayak nasi goreng spesial pakai telur.”Sontak senyum di bibir Ida merekah lagi. Godaan Guna lagi-lagi membuatnya merasakan jatuh cinta dan melambung tinggi kembali. Bahkan, ia semakin terobsesi untuk menjalin hubungan dengan pria berdarah muda tersebut. Kepala Guna lalu turun lagi ke pangkuan Ida.“Oh, iya. Sepertinya aku punya cara jitu agar kamu bisa dapat uang lebih dari Nayra.”Ida mengernyit, l
Baik Aldo dan Arvin sama-sama tersentak oleh kehadiran Rianty. Mereka bahkan berpikir bahwa berita itu pasti cepat menjalar ke wanita tersebut. Arvin lekas memutar tubuhnya, lantas memandang kehadiran Rianty yang mendekat dengan was-was. Bahkan sekujur tubuhnya meremang seketika.Rianty mula-mula berkacak pinggang dan berteriak keras, “Kalian ini! Kenapa bisa bertingkah sembarangan dan tidak becus kayak gini, hah!”Sebelum keduanya berhasil menjawab, tangan Rianty terulur begitu saja menjewer telinga Arvin, lalu Aldo yang ada di balik meja. Arvin mengerang kesakitan. “Aduh, Bu! Tunggu dulu.”Sementara itu, Aldo mau tak mau segera menyeret sepasang kakinya memutari meja untuk keluar. Pasalnya, semakin lama tarikan tangan Rianty pada telinganya kian menyakitkan. Keduanya lantas terpaksa mengikuti langkah Rianty yang menggiring mereka ke koridor. Beruntung, suasana lorong cenderung sepi dan berbeda dari lorong lantai lain.Tetapi, Nayra tak sengaja berpapasan dengan mereka. Ia memandang
“Loh, Pak, bukan es krim di sini saja?” Mata Nayra membelalak lebar ketika mobil Aldo justru melewati kedai es krim yang berada tepat di depan perusahaannya. Padahal es krim cokelat di sana enak dan harganya murah.Nayra menelan ludah kekecewaan. Hal itu dapat ditangkap oleh Aldo ketika pria tersebut menoleh ke arah Nayra singkat.“Memang kamu mau karyawan lain melihat kita makan es krim berdua di sana?” tegas Aldo.Seketika raut wajah Nayra berubah. Apa yang dikatakan Aldo memang benar. Ia juga ketakutan setengah mati kalaupun ada karyawan lain memergokinya bersama Aldo. Nayra khawatir pikiran macam-macam yang dilayangkan kepadanya. Meski begitu, dirinya pun sangat sadar diri, seorang Aldo tidak mungkin mau kalau orang lain sampai mengetahui pria tersebut keluar dengan wanita seperti dirinya.Lagian, siapa aku? batin Nayra minder.Tak lama kemudian, mobil Aldo akhirnya berhenti di sebuah kedai es krim yang dua kali lebih besar dari kedai yang dimaksud Nayra tadi. Mata Nayra tak berke
Seketika Marsella mendelik tak terima. Ia mendesah kasar, tersenyum kecut karena tak mengerti bagaimana jalan pikiran ayahnya.“Aku nggak melakukan apa-apa! Hah, kayaknya aku bernapas pun masih salah di depan Papi!”“Kamu jangan bohong! Kemarin aku mengawasimu. Apa yang membuat dia pergi?” Ayahnya tak mau kalah. Sementara ibunya tetap melanjutkan makan sembari mencuri pandang ke arah pusat ketegangan tersebut.“Anak ini benar-benar tidak becus melakukan sesuatu dengan baik,” imbuhnya bergumam pelan. Tangan pria itu sekarang bergerak untuk meraih alat makan dan menyuapkannya ke mulut lagi.Marsella dongkol dengan ucapan ayahnya barusan. Ia juga geram atas sikap pria tersebut yang ternyata justru membuntutinya malam itu. Marsella benar-benar tak diberi privasi sedikit pun.“Kalau gitu, jangan jodohkan aku lagi!” ketus Marsella sudah pusing dengan kelakuan ayahnya. Wajah tertekuk dan bibirnya yang mengerucut tak dapat ia sembunyikan lagi.“Diam! Kamu itu bisa tidak nurut saja! Kalau tida
"Hahaha, pelakor! Masih bisa lu muncul di mana-mana?! Nggak malu apa sama tuh muka!" celetuk keras salah satu wanita muda di sana. Kira-kira masih berstatus mahasiswa."Ih, kalau gue jadi lu sih malu, ya! Hahaha!" imbuh yang lainnya.Satu orang lainnya lagi menghampiri Marsella yang berdiri di dekat rak display sepatu, lantas menjambak rambut panjang wanita tersebut."Mati aja lu! Nggak pantes hidup di dunia ini, sumpah!" pekiknya sembari mencengkeram dan menarik rambut Marsella kuat-kuat."Aduh! Stop! Cepet berhenti!" teriak Marsella kesakitan hingga kepalanya terpelanting ke kiri."Hahaha!""Hahaha, lu nggak layak hidup!""Berhenti! Apa yang terjadi di sini?!" Tiba-tiba Nayra menyela dan menyelinap di antara mereka.Tadi Nayra sangat terkejut melihat orang yang ia benci—Marsella—berada di toko sepatu tujuannya. Tetapi, setelah menyaksikan Marsella dirundung di tempat ini, ia jadi tergerak hatinya untuk menolong perempuan itu.Seketika sekelompok wanita muda yang diduga teman kuliah