Krisna menggeleng setiap kali teringat kejadian barusan. Terus mempertanyakan bagaimana bisa ia bertindak memalukan seperti itu di depan Jingga. Mau ditaruh mana mukanya sekarang.
"Pak Krisna." Panggilan Jingga memutus lamunan Krisna. Gadis itu terlihat khawatir. "Bapak beneran nggak papa? Nggak ada yang sakit? Kepalanya gitu?"Krisna memegangi kepalanya, kembali merasa malu atas ingatan jurus seruduk yang tadi ia keluarkan untuk menyerang si preman. Sejujurnya, Krisna memang tidak bisa berkelahi, tapi tindakannya tadi benar-benar tidak keren. Sepayah-payahnya ia memberi pukulan, itu pasti akan terlihat lebih baik daripada menyundulkan kepala ke perut preman."Oh, saya nggak papa, kok." Krisna akhirnya membalas. Kini ia dan Jingga sedang duduk di tepi jalan, tepatnya di pinggir trotoar tempat mereka tadi dihadang. Dua pria pemalak tadi sudah diamankan oleh si Jabrik dan kawan-kawannya yang kebetulan melintas dan melihat Jingga. Setelahnya hanya tersisa JinRengga hanya bisa terheran sewaktu memasuki ruangan Krisna dan mendapati sang bos tengah senyum-senyum sembari menatap layar laptop. Sebenarnya tidak aneh karena bisa saja Krisna sedang menonton film komedi. Masalahnya ini masih jam kantor dan hal semacam itu bukan sesuatu yang wajar dilakukannya."Pak Krisna," tegur Rengga sewaktu sudah berada di depan sang bos. "Ada dokumen yang perlu Bapak tandatangani."Rengga menyerahkan map yang ia bawa, tapi Krisna masih fokus pada layar di hadapannya dan tak menoleh. "Taruh di situ saja. Nanti saya lihat," perintahnya."Baik, Pak." Sang asisten menurut lalu melakukan yang disuruh Krisna. Sayangnya, sang bos masih sibuk sendiri, bahkan kini tertawa. Mengetahui beberapa kebiasaan Krisna, Rengga hanya bisa mengernyit melihat keanehan tersebut tapi tak berniat bertanya. Dan, karena tak ada hal lain yang perlu ia sampaikan, pria berkacamata itu hendak undur diri.Awalnya Krisna mengangguk mengiakan, masih
"Eh, Ga. Gimana kencan kamu sama Pak Krisna?" Santi bertanya pada Jingga yang baru saja memakan bekalnya. "Cerita, dong."Jingga menatap temannya itu malas. Sekarang setiap jam istirahat ia bukannya bisa makan dan beristirahat dengan tenang, tapi malah harus menghadapi rasa penasaran teman-temannya. Tidakkah mereka mengerti kalau Jingga ingin menyimpan sendiri kebersamaannya bersama Krisna? Lagipula, tidak ada yang menarik dari itu. Kalau bukan pria itu yang merayu, maka mereka akan berdebat yang selalu dimulai oleh Jingga. "Nggak ada yang perlu diceritain," jawab Jingga enggan. Ia masih berusaha menikmati kunyahan nasi di mulutnya yang jadi terasa tak enak gara-gara kekepoan Santi. Belum lagi kalau rekannya, Dewi, ikut serta mengulik tentangnya. "Ih, Jingga pelit. Bilang aja mau bikin kita iri." Santi tiba-tiba saja merajuk, membuat Jingga kembali menatapnya, kali ini dengan heran. "Mentang-mentang kamu bisa bikin Pak Krisna bucin sama kamu."Jingga memutar mata jengah. Ia tidak pe
Jingga menggeliat dengan nyaman bersamaan dengan layar televisi yang menampilkan credit title dari film yang baru selesai ia tonton. Punggungnya pegal duduk selama hampir dua jam menatap layar, tapi cukup terbayar dengan filmnya yang tidak mengecewakan. Sejauh ini ia selalu mengambil rekomendasi film-film bagus dari sebuah situs di internet dan sejauh ini pula belum pernah kecewa dengan pilihan mereka.Berdiri dan berjalan menuju dapur, Jingga mengendus-endus aroma masakan yang sayangnya tidak ada. Kemudian ia teringat jika hari ini Riani tengah pergi menjenguk salah satu tetangga mereka yang sakit dan belum pulang. Saat ini hanya ada dirinya dan Lembayung di rumah, tapi adiknya itu masih sibuk di kamarnya sendiri mengerjakan sesuatu. Jingga menebak Lembayung sedang kebanjiran tugas kuliah. Walaupun sebenarnya gadis itu memang lebih suka bersemedi di kamarnya setiap kali ada waktu.Perut Jingga mengeluarkan bunyi gemuruh kecil, menandakan sang pemilik kelaparan. Film bagus memang berh
Krisna terlonjak kaget sewaktu pintu di hadapannya yang tadi terbuka kini menutup dengan sangat keras. Lebih tepatnya dibanting dengan keras. Ia bahkan belum sempat mengucapkan apa pun pada sang tuan rumah."Dia pasti sangat suka kejutanku sampai bereaksi begitu," gumam Krisna yang sama sekali tak berpikiran buruk. Pria itu malah merasa bangga karena bisa membuat Jingga yang tak lain penghuni rumah di depannya sekarang, terlihat sangat terkejut. Dengan kata lain, kejutan yang ia buat berhasil.Krisna mengulurkan tangan ke daun pintu, hendak mengetuk lagi. Akan tetapi, sebelum sempat melakukannya, seorang perempuan yang tampak sedikit lebih muda dari Ratih muncul dan berjalan ke arahnya."Eh, ada tamu," ujar perempuan yang ternyata Riani itu. "Cari siapa, ya?"Krisna menebak Riani adalah kerabat atau siapa pun dari keluarga Jingga yang juga tinggal di sana. Sebab dugaan perempuan itu adalah ibunya Jingga agak sulit ia terima. Tidak ada kemiripan antara Riani dan Jingga. Sama sekali."J
"Pagi, Pak." "Pagi, Pak Krisna.""Selamat pagi, Pak."Sepanjang memasuki lobi kantor hingga menuju ruangannya, hampir seluruh orang yang Krisna temui menyapanya. Bukan hal aneh sebenarnya, mengingat pria itu memang CEO di sana. Akan tetapi, biasanya kebanyakan para pegawai Krisna lebih memilih untuk menghindar jika melihat sang bos. Ekspresi Krisna yang kerap terlihat dingin membuat hanya beberapa orang saja yang berani melakukannya.Namun, hari ini semua orang seperti mendapat keberanian untuk menyapa CEO mereka itu. Sebabnya tak lain adalah senyum dan raut wajah gembira yang Krisna tunjukkan sejak dari menginjakkan kaki di depan gedung kantornya. Pemandangan langka yang jarang dilihat para anak buah Krisna, kecuali sang asisten setianya, Rengga.Krisna sendiri menikmatinya. Ia membalas satu persatu sapaan itu tanpa mengubah ekspresi kegembiraan di wajahnya. Kesenangan yang sudah muncul sejak ia bangun pagi tadi itu,
Tidak seperti biasa, malam ini Jingga bergegas pulang mendahului teman-temannya yang masih sibuk bercanda di ruang loker. Gadis itu berjalan cepat keluar dari gedung tempat butiknya berada dan menuju ke tempat di mana ia sering mendapati mobil Krisna di sana. Sayangnya, sama seperti dia hari sebelumnya, tidak ada mobil BMW hitam yang terparkir di sana. Juga tidak ada pria labil yang tiap malam membawa buket mawar untuknya seperti orang kurang kerjaan.Jingga mendesah kecewa. Saat ia tidak menginginkannya, Krisna selalu muncul. Akan tetapi, saat Jingga membutuhkannya, pria labil itu justru tidak menunjukkan batang hidungnya. Apa Krisna sudah bosan menghadapinya?Yah, kalaupun benar begitu, Jingga harap pria itu tidak meninggalkan benda mahal untuknya. Sebab, ia berniat mengembalikan benda tersebut, jam tangan mewah yang Krisna titipkan Riani saat datang ke rumahnya tempo hari.Jingga tidak membutuhkan benda itu. Bahkan meski yang Krisna berikan hanya sebuah
Krisna memasuki ruangan tempat departemen desain berada dengan aura mendung. Semua pegawai yang ada di sana tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga tak menyadari kehadiran sang CEO. Hanya ada satu orang yang tampak hanya bertugas mengawasi. Satu-satunya orang yang segera menyadari kedatangan Krisna."Selamat siang, Pak Krisna," sapa orang tersebut. Seorang perempuan dengan potongan rambut bob yang menjadi kepala divisi tersebut. Hesti namanya. Ia bergegas menghampiri Krisna dan menyambutnya."Siang," jawab Krisna singkat. Kedua matanya lebih tertarik mengamati orang-orang yang sedang berkutat dengan pekerjaan mereka di sana. Menggambar, mengukur dan memotong bahan, atau tengah mencoba memadukan warna-warna pada benda yang tengah mereka kerjakan. "Sudah sampai mana?""Sesuai tenggat waktunya, Pak. Akhir minggu ini sampel untuk tas akan siap. Beberapa sampel bahkan ada yang sudah selesai," lapor Hesti."Untuk sepatu?" Krisna bertanya lagi, memastikan intruksinya dilakukan den
"Krisnayana Danendra!" Seruan ibunya yang tiba-tiba muncul begitu Krisna keluar dari kamar mandi membuat pria itu terlonjak kaget. Beruntung ia memakai kimono mandi, bukannya hanya sepotong handuk yang akan jadi cerita berbeda jika sampai terlepas."Astaga, Bu Ratih." Krisna mengelus dadanya dengan gaya berlebihan. Ekspresi terkejut wajahnya pun tidak asli, sengaja ia buat-buat sebab bukan hal aneh jika mamanya tersebut bisa muncul di kediaman sang putra bungsu. Ratih, anehnya, selalu tahu password apartemen Krisna. Jika bukan cenayang, ia curiga mamanya itu memasang kamera pengintai di mana-mana. "Datang ke sini padahal nggak dijemput. Pulangnya saya juga nggak nganter, ya?"Ratih Kumala hanya bisa mendengkus mendengar putranya menyamakan sang ibu dengan jailangkung. Wanita itu juga sudah terbiasa dengan panggilan yang sering menjadi 'ibu Ratih' bukannya 'mama.' Entah keganjilan apalagi yang harus dihadapinya dari Krisna. Namun, semua