Share

Cinderella Tanpa Sepatu Kaca
Cinderella Tanpa Sepatu Kaca
Author: Wahyuni Soewardji

Perjodohan

"Krisnayana Danendra!" Seruan ibunya yang tiba-tiba muncul begitu Krisna keluar dari kamar mandi membuat pria itu terlonjak kaget. Beruntung ia memakai kimono mandi, bukannya hanya sepotong handuk yang akan jadi cerita berbeda jika sampai terlepas.

"Astaga, Bu Ratih." Krisna mengelus dadanya dengan gaya berlebihan. Ekspresi terkejut wajahnya pun tidak asli, sengaja ia buat-buat sebab bukan hal aneh jika mamanya tersebut bisa muncul di kediaman sang putra bungsu. Ratih, anehnya, selalu tahu password apartemen Krisna. Jika bukan cenayang, ia curiga mamanya itu memasang kamera pengintai di mana-mana. "Datang ke sini padahal nggak dijemput. Pulangnya saya juga nggak nganter, ya?"

Ratih Kumala hanya bisa mendengkus mendengar putranya menyamakan sang ibu dengan jailangkung. Wanita itu juga sudah terbiasa dengan panggilan yang sering menjadi 'ibu Ratih' bukannya 'mama.' Entah keganjilan apalagi yang harus dihadapinya dari Krisna. Namun, semua itu tidak terlalu penting dibandingkan satu hal yang selama ini terus mengusik perasaannya sebagai seorang ibu.

"Mama cuma mau mastiin kamu bersedia bertemu Cintya nanti malam."

Krisna tak segera menyahut. Dengan santai pria berkulit putih gading itu berjalan menuju kamarnya. Sementara itu, Ratih beralih ke meja makan. Sembari menunggu putranya berganti pakaian, ia mengernyit mendapati menu sarapan Krisna. Satu piring berisi setengah sandwich isi sayur-sayuran dan segelas minuman berwarna hijau yang sama sekali tidak menggugah selera. Apa makanan tersebut benar-benar bisa mengenyangkan? Ratih jadi berpikir, jangan-jangan tingkah absurd Krisna selama ini gara-gara kurang makan.

Tak lama kemudian, Krisna akhirnya keluar dari kamar. Penampilannya sudah rapi dengan setelan jas berwarna navy dan sepatu oxford coklat berbahan kulit. Melihatnya, Ratih jadi bertanya-tanya bagaimana bisa putranya yang memiliki ketampanan paripurna itu belum juga mendapatkan pasangan?

"Mama sudah pesankan tempat untuk kalian makan malam di Sunset Dream," ujar Ratih yang masih setia duduk di salah satu kursi meja makan.

Krisna menarik kursi di hadapan sang mama, tersenyum manis sebelum akhirnya duduk dan memberi jawaban. Lebih agar Ratih mau melunak padanya. "Memangnya udah nggak ada cewek lagi, Ma, selain Cintya?"

"Ada. Banyak malah. Tapi, kalau-kalau kamu insomnia-"

"Amnesia. Kalau maksud mama aku hilang ingatan," ralat Krisna cepat sembari menahan tawa.

"Terserah. Apa pun namanya." Ratih memilih bermuka tebal dan tetap melanjutkan ucapan sebelumnya. "Kalau-kalau kamu nggak ingat, mereka semua kamu tolak. Padahal Mama udah ngenalin yang cantik, pintar dan dari keluarga baik-baik."

Krisna baru saja menggigit sandwich-nya dan mengunyah makanan tersebut dengan santai, membuat Ratih harus menunggu untuk mendengar pembelaan dari sang putra bungsu.

"Mereka bukan tipeku," ucap Krisna setelah menelan kunyahan terakhirnya. "Aku udah bilang itu berkali-kali, kan?"

"Alasan aja. Tipe kamu palingan yang penting cantik. Terus kenapa Lauren dulu kamu nggak mau? Cantiknya udah kaya aktris Korea yang janda tapi masih kinyis-kinyis itu. Aduh, mama lupa namanya. Pokoknya namanya lagu-lagu gitu."

Krisna menahan diri untuk tak tertawa terbahak-bahak mendengar mamanya yang berusaha keras untuk update dunia keartisan Korea. "Song Hye Kyo?"

"Iya kali. Pokoknya kenapa kamu nolak Lauren?"

"Dia suka ngupil, Ma. Kan, aku jadi ilfeel."

"Aduh, ngupil itu kan kebutuhan dasar manusia. Kaya kamu nggak pernah aja."

Krisna yang hendak meminun smoothie miliknya jadi kehilangan selera karena mamanya mengatakan hal itu. Namun, ia tak protes karena dirinya sendiri yang tadi memulai.

"Ya udah. Kalau gitu kenapa Miana kamu tolak? Dia ngupil juga?" Ratih sebenarnya jengah sendiri membahas perupilan yang membuat mereka seperti orang kurang kerjaan. Akan tetapi, ia harus mengikuti cara Krisna jika ingin menang melawan putranya itu.

"Dia cewek tapi kumisan. Kan, nggak lucu, Ma, kalau nanti pas jalan bareng dikira aku ngegandeng Iis Dahlia."

Alasan Krisna jelas makin absurd. Ratih tak ingin memperpanjang daftar alasan gila dan tak masuk akal yang akan Krisna lontarkan, karenanya ia berhenti menyebut nama gadis-gadis yang sudah Krisna tolak. Ia harus putar otak untuk membuat anak bungsunya itu tak berkutik dengan alasan apa pun.

"Nah, kalau gitu kamu coba ketemu dulu sama Cintya ini, ya. Cantik, jelas. Suka ngupil? Mama bisa pastiin dia nggak ngelakuinnya di depan kamu. Dan, kamu bisa lihat sendiri nanti kalau dia nggak kumisan." Ratih menjelaskan dengan mengadaptasi karangan Krisna. "Lagipula kapan Mama bisa punya menantu kalau kamu begini terus?"

Krisna yang sudah kehilangan selera makan untuk menikmati sarapannya hanya duduk diam seraya menatap Ratih. Semua yang diucapkannya tadi memang hanya alasan konyol yang sengaja ia karang. Sebab Krisna sudah lelah menjalani pra perjodohan tersebut, yang pada akhirnya tidak pernah berhasil. Namun, kali ini ada alasan lain yang bukan tipu-tipu. Krisna tidak suka dengan Cintya dalam artian sebenarnya.

"Ma," panggil Krisna akhirnya. Karena memakai panggilan mode normal, Ratih menanggapi dengan wajah senang. Wanita itu berharap hal tersebut adalah pertanda baik. "Pergi ke rumah besan bawa kapur barus, apa Mama nggak bosan bahas calon mantu terus?"

Ingin sekali Ratih menjitak kepala putra satu-satunya tersebut, tapi masih sayang jika harus merusak tatanan rambut Krisna yang hari ini tanpak keren. Alhasil, wanita itu hanya bisa menghela napas panjang, berusaha memaklumi sikap putranya yang mendadak suka berpantun seperti Jarjit Singh, salah satu tokoh di kartun favorit Amira, cucunya.

"Tapi kamu ini sudah 35 tahun, Krisna."

"Masih 15 tahun lagi, kok, menuju 50," balas Krisna santai, tapi seketika membuat kedua mata Ratih memelotot karena terkejut.

"Kamu mau melajang sampai setengah abad?"

"I--"

"Krisna, kamu benar-benar ingin melihat Mama dan Papa mati tanpa melihat cucu dari kamu. Kamu keterlaluan sekali."

Krisna mengembuskan napas panjang menghadapi tingkah mamanya yang jadi seabsurd dirinya. Siapa juga yang mau melajang hingga usia kepala lima? Dia tidak gila. Tapi soal cucu, Ratih tidak seharusnya membebankan masalah tersebut saat mereka sudah memiliki Amira, anak Saras yang tak lain adalah kakak Krisna.

"Maksud aku itu nggak mungkin. Mama udah main potong omongan orang aja," protes Krisna. Ritual sarapan sebelum berangkat kerja jadi terasa sangat lama gara-gara kemunculan mamanya. Bukan kehadirannya yang jadi masalah, tapi bahasan mengenai pasangan hidup untuk Krisna itu yang membuat jengah. "Udah, deh, Ma. Mama juga harus segera ke kantor, kan, sekarang. Atau mau bareng aku?"

Ratih tahu Krisna hanya berupaya mengalihkan pembicaraan. Hal itu berarti putranya tersebut sudah kehabisan amunisi untuk membalas serangannya. Namun, ia tetap harus menggunakan senjata terakhir agar Krisna benar-benar menuruti keinginannya.

"Pokoknya Mama mau dengar hasil makan malam kalian nanti. Kalau kamu nggak datang, kamu bisa lupakan proposal yang sudah kamu ajukan untuk koleksi terbaru Dahayu Fashion."

Sebuah ancaman memang selalu berdampak besar. Wajah Krisna yang tadi tak terlalu peduli kini terlihat panik. Jika bos besar alias Ratih Kumala mengatakan begitu, maka artinya adalah Krisna harus menurut atau semua rencana kerjanya berakhir berantakan.

"Bu Ratih curang," protes Krisna. "Masalah kantor dan pribadi seharusnya nggak dicampuradukkan."

Ratih tersenyum penuh kemenangan. Senjata terampuhnya untuk menangani Krisna memang tak pernah mengecewakan. Meskipun belum mengucapkan kata setuju, Ratih tahu jika Krisna akan menemui Cintya seperti yang ia harapkan.

"Kalau begitu kamu juga harus belajar mengarang alasan yang lebih elit. Dan, Mama bersama supir, tidak perlu mengantar Mama."

Krisna tak menyahut dan membiarkan mamanya beranjak pergi. Meninggalkannya dengan perasaan kesal karena kembali terpaksa menyetujui keinginan sang mama.

"Oh, tunggu dulu." Ratih sudah hendak keluar dari ruangan tersebut, tapi tiba-tiba berbalik. Ia berjalan menghampiri Krisna, mengeluarkan sesuatu dari tasnya lalu meletakkan benda yang ternyata selembar foto itu di atas meja di hadapan Krisna. "Sekadar memastikan kamu kalau ucapan Mama benar soal Cintya. Dia tidak berkumis."

Seharusnya kalimat terakhir itu menjadi pemancing tawa, mengingat di awal hal tersebut terdengar lucu. Namun, hingga Ratih benar-benar sudah pergi dari apartemennya, Krisna hanya memandangi foto gadis bernama Cintya itu dengan tatapan tidak suka. Laku, dalam hatinya terucap sebuah kalimat.

"Ternyata benar dia. Si Medusa."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status