Share

Pertemuan Pertama

Jingga tengah menikmati sarapannya, sepiring nasi goreng dengan lauk telur mata sapi, sembari menonton acara berita di TV. Rutinitas tak elok yang terpaksa ia jalani karena ruang makan keluarga mereka adalah tempat yang sama dengan ruang tengah, tempat benda persegi tersebut berada.

Si pembaca berita baru saja menyampaikan kabar terbaru tentang kenaikan harga minyak goreng serta perkembangan situasi perang Rusia dan Ukraina. Topik yang akhir-akhir ini memang sedang ramai diperbincangkan.

"Sialan banget nggak, sih, itu yang naikin harga minyak goreng? Nggak tahu apa kalau minyak goreng itu salah satu bahan kebutuhan pokok?"

Jingga berpaling ke samping kanan dan tiba-tiba bertanya pada Lembayung, adiknya yang sedari tadi diam karena sibuk mengunyah makanan. Sementara adik bungsunya yang bernama Violet sudah berangkat ke sekolah setengah jam lalu. Tugas piket katanya. Di dapur yang jaraknya hanya beberapa langkah dari ruang tengah, tampak ibu mereka sibuk membersihkan peralatan bekas memasak.

Lembayung menelan suapan terakhirnya lalu menjawab sang kakak. Matanya masih fokus pada gambar yang tengah tayang di televisi. "Ingat kata ibu-ibu yang lagi viral itu. Masak nggak cuma digoreng, Jingga."

Meski status mereka kakak beradik, tapi Lembayung memanggil Jingga hanya dengan nama. Tidak ada embel-embel kakak seperti yang dipakai Violet. Selain karena selisih usia mereka yang hanya setahun, kedua gadis itu juga terlalu dekat hingga merasa seperti teman seumuran. Jingga sendiri tak keberatan.

"Iya kalau masak buat sendiri di rumah aja. Kalau beli makanan di luar ya banyakan gorengan. Gara-gara minyak goreng naik gini harga gorengan jadi ikut naik, dong. Goceng biasanya dapat lima biji, sekarang cuma dua biji," keluh Jingga yang memang pecinta gorengan. Sebenarnya sebutan yang lebih tepat adalah Jingga pecinta hal apa pun yang bisa membuatnya menghemat uang sebanyak mungkin.

"Ya udah. Nggak usah beli gorengan," jawab Lembayung datar. Jika tidak ingin terbebani sesuatu, maka tidak perlu melakukannya. Begitulah prinsip gadis berlesung pipi tersebut.

Jingga mencibir. "Kamu, tuh, ngebosenin."

"Itu kan kamu udah tahu dari dulu," balas Lembayung dengan ekspresi yang sama, membuat Jingga menghentikan percakapan mereka dan fokus menghabiskan makanan di piringnya.

Beberapa menit kemudian keduanya selesai dalam waktu yang hampir bersamaan. Teringat jika hari ini ada acara penting di tempat kerja sang kakak, Lembayung pun mencoba membantu.

"Berangkatnya sama aku aja," ujar Lembayung. Jika naik motor bersamanya, Jingga bisa menghemat lebih banyak waktu untuk tiba di butik tempatnya bekerja.

Selama ini Jingga berjalan kaki ke butik demi menghemat ongkos transportasi. Kebetulan pula jaraknya dekat, hanya 15 menit berjalan kaki. Akan tetapi, Lembayung pikir tak ada salahnya membuat pengecualian untuk hari ini. Paling tidak, Jingga bisa tiba di kantor tanpa bermandi keringat. Bukankah hari ini kakaknya itu akan mendapatkan predikat karyawan terbaik bulanan?

"Nggak usah. Kita nggak searah, nanti kamu harus putar balik segala," tolak Jingga. "Sayang Pertalite-mu."

Lembayung ingin mengatakan jika perjalanan tersebut tak lantas akan menghabiskan uang atau bahan bakar motornya. Namun, sedetik kemudian ia sadar jika hal itu tidak akan berguna. Justru hanya akan membuang waktu mereka. Kedua gadis itu pun akhirnya berangkat ke tujuan masing-masing yang arahnya berseberangan.

Jingga mengetahui niat baik Lembayung, tapi lega karena adiknya itu menghargai penolakannya dan tak berkomentar lebih lanjut. Lembayung memang adik paling pengertian, bahkan meski faktanya mereka bukan saudara kandung.

Lepas memikirkan hal itu, Jingga beralih pada hal istimewa yang akan terjadi hari ini. Meski sudah ketiga kalinya mendapatkan predikat karyawan terbaik, rasanya selalu menyenangkan ketika mendapatkannya kembali. Bukan pada gelarnya yang terdengar prestisius untuk kalangan pekerja macam dirinya, tapi lebih pada bonus yang akan menambah pundi-pundi rupiahnya.

Sayang, pikiran menyenangkan tersebut mendadak terusik ketika terjadi sesuatu tak terduga di hadapan Jingga. Sebuah mobil BMW i8 baru saja menyerempet seorang gadis seumuran Violet hingga tersungkur. Teringat adik bungsunya itu, Jingga bergegas mendekat dan menolong. Kebetulan pula jalanan di sana sedang sepi.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Jingga khawatir. Dilihatnya lutut gadis itu terluka karena membentur aspal. Dengan cekatan Jingga mengambil tisu dari tasnya untuk membersihkan area di sekitar luka tersebut.

Sementara itu, sang pengendara akhirnya menepikan mobil dan turun menghampiri Jingga serta gadis tersebut. Keduanya tak memerhatikan karena tengah fokus pada luka si gadis remaja, hingga kemudian terdengar suara berat seorang pria.

"Lukanya nggak parah, kan?" Jingga dan si gadis remaja akhirnya menoleh. Keduanya terpukau sejenak dengan paras rupawan si pengendara mobil mewah tersebut. Namun, tak berlangsung lama saat pria yang tak lain adalah Krisna tersebut melanjutkan ucapannya. "Lain kali kalau jalan lihat sekitar. Jangan meleng. Kalau kamu luka parah saya bisa kena masalah."

Sementara si gadis remaja tadi hanya melongo mendengar ocehan ngawur Krisna, Jingga justru melayangkan tatapan tidak suka yang teramat kentara. Bisa-bisanya pria itu mengomeli dan menyalahkan orang yang hampir ditabraknya?

"Maaf, apa Bapak bilang?" Jingga yang tadinya berjongkok di dekat si gadis kini bangkit berdiri, menghadap Krisna yang tiba-tiba mengeluarkan dompetnya. Tindakan pria itu juga membuatnya mengabaikan pertanyaan Jingga.

"Ini untuk ke rumah sakit. Obati lukanya meski saya rasa itu tidak terlalu diperlukan." Beberapa lembar uang seratus ribu kemudian dijejalkan pria itu ke tangan gadis yang hampir ditabraknya tadi.

Astaga, batin Jingga jengkel. Bagaimana bisa kalimat itu terucap dari pria tersebut? Sudah mengomel, tidak minta maaf dan sekarang dengan angkuhnya memberi uang beserta kata-kata nyelekit begitu. Apalagi saat mengatakannya, tampang Krisna terkesan memandang remeh mereka.

"Anda melupakan satu hal," tegur Jingga sewaktu Krisna melewatinya dan jadi menatap gadis itu dengan pandangan bertanya. "Anda lupa meminta maaf, hal mendasar saat melakukan kesalahan."

Mendengar kalimat tersebut, pandangan Krisna sontak memindai penampilan gadis bertopi yang berdiri angkuh di hadapannya kini. Celana jins agak kedodoran, jaket jumper merah yang mulai pudar warnanya dan sepasang flat shoes merah marun butut. Wajahnya yang bulat juga tanpa make up sehingga tampak pucat. Belum lagi rambut panjangnya yang seperti dikucir asal-asalan lalu dipakaikan topi. Secara keseluruhan gadis itu sama sekali tidak menarik dan mencerminkan penampilan dari kalangan bawah.

"Oke, saya mengerti," Krisna tersenyum sinis. Ia mengetahui niat gadis itu menahannya lebih lama di sana. Dikeluarkannya dompet sekali lagi. Kali ini ia menarik lima lembar uang seratus ribu dari sana, lalu menyodorkannya pada Jingga. "Saya rasa ini tambahan yang cukup."

Namun, bukannya menerima uang tersebut, Jingga justru menatap Krisna emosi dan berkata dengan nada tajam. "Kalau uang Anda segini banyak, sebaiknya pakai untuk memeriksakan telinga Anda yang bermasalah."

Krisna y ang tangannya masih menggantung di udara karena Jingga tak segera menerima uangnya pun meradang. Bisa-bisanya gadis yang tidak memanjakan mata itu mengatainya. "Jangan munafik dan terima saja uangnya."

Krisna melempar uang tersebut tanpa peduli Jingga menerimanya atau tidak. Ia memiliki hal lain yang lebih penting daripada menghadapi gadis jelek mata duitan yang munafik. Bergegas ia menuju mobilnya saat kemudian terdengar suara lantang Jingga.

"Woi, Sialan!" Bertepatan dengan itu, tiba-tiba sesuatu terasa menghantam belakang kepala Krisna. Ia reflek memeganginya seraya mencari benda tersebut dan mendapati sepatu butut milik Jingga.

Menggeram kesal, Krisna mengambil sepatu tersebut. Ia berniat melempar kembali dan balas memaki gadis jelek, munafik dan kurang ajar itu. Namun, sedetik kemudian ia berubah pikiran. Krisna tetap masuk ke mobil seraya membawa sebelah sepatu Jingga, lalu mengendarainya pergi. Menyisakan Jingga yang terbelalak kaget dengan tindakan pria itu.

Seiring laju mobilnya yang semakin menjauh, Krisna bisa melihat dari spion Jingga yang berlari berusaha mengejarnya. Namun, Krisna sama sekali tidak berniat untuk berhenti dan justru tersenyum puas melihat gadis itu akhirnya berhenti karena kelelahan. Lalu sebuah kalimat terucap dari bibirnya.

"Itu akibatnya jika berurusan dengan Krisna."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status