Share

Insiden Tak Menyenangkan

Alunan musik yang menghentak dan menggoda untuk tubuh ikut bergoyang menyambut kedatangan Krisna. Di salah satu sudut ruangan, di bawah sorotan lampu penuh warna, tampak seorang DJ wanita tengah asik memainkan musiknya. Sementara di sisi lain, sekumpulan orang berbagai usia dan gender sibuk meliuk-liukkan badan mengikuti irama.

Krisna menghela napas panjang menyaksikan pemandangan tersebut. Meski para pengunjung lain terlihat sangat menikmati waktu mereka, tidak demikian halnya dengan pria itu. Klub malam, bar atau sejenisnya bukanlah tempat favorit Krisna. Kalau bukan karena mengikuti Cintya, dia tidak akan mau masuk ke tempat tersebut.

Tidak tampak sosok Cintya di antara para pengunjung bar bernama Victory tersebut. Namun, Krisna sangat yakin jika perempuan itu tadi memang masuk ke sana. Pasti saat ini Cintya masih berbaur dengan para pengunjung lain yang tengah melantai itu. Krisna bisa saja turun ke sana dan menemukan Cintya, tapi otaknya tidak menyetujui ide itu.

"Pengunjung baru?" tanya sang bartender saat Krisna akhirnya memutuskan untuk duduk di depan meja bar.

Sebuah anggukan dan senyum samar Krisna berikan sebagai jawaban. Ia segera mengeluarkan ponsel, lalu menunjukkan foto Cintya yang ia dapat dari mamanya.

"Pernah lihat perempuan ini?" tanya Krisna. Si bartender melongok ponsel pria itu, tersenyum kecil sebelum akhirnya menjawab.

"Cintya, pelanggan tetap di sini."

Sudah kuduga, batin Krisna. Ia tidak yakin bagaimana reaksi Ratih jika tahu mengenai kelakuan Cintya ini. Sebab, mamanya itu masih berpikiran jika perempuan yang baik bukanlah pengunjung tetap sebuah klub malam. Krisna tidak akan memprotes atau mengatakan Ratih berpikiran kolot, karena kriteria setiap orang memang berbeda. Lagipula, ia justru lebih senang jika nama Cintya dicoret dari daftar calon menantu mamanya.

"Siapanya?" tanya sang bartender lagi. "Cowok baru? Atau penggemar baru?"

Si bartender, pemuda yang Krisna yakini berusia di akhir dua puluhan itu menatapnya dengan tatapan menyelidik. Namun, senyum tipis terukir tatkala ia menyadari penampilan Krisna yang terbilang sangat rapi untuk datang ke bar.

Penggemar baru dari Hongkong, batin Krisna jengkel. Kalau bukan karena Cintya mengarang cerita pada orang tuanya jika perjodohan mereka berhasil, ia tidak akan repot-repot mengikutinya ke sini. Apalagi sampai harus datang ke tempat yang sangat Krisna hindari.

Bukannya Krisna sok suci, tapi ia memiliki pengalaman buruk dengan tempat-tempat semacam ini. Tidak sampai membuatnya trauma berat, tapi jika punya pilihan, Krisna lebih baik tidak menginjakkan kaki di bar dan sejenisnya.

Krisna tersenyum, tak berniat membeberkan alasannya mencari Cintya. Ia juga memutuskan untuk segera menemukan perempuan itu agar masalah mereka bisa segera diselesaikan. Segelas cocktail yang disodorkan si bartender sebagai minuman selamat datang juga ia tolak. Krisna tidak berencana untuk pulang dalam keadaan mabuk, mengingat toleransinya pada alkohol sangatlah rendah.

Namun, baru saja ia hendak bangkit dan meninggalkan meja bar, tiba-tiba gerakannya terhenti. Seorang gadis bertubuh semampai tahu-tahu sudah ada di depannya. Lebih tepatnya menghalangi tubuh Krisna untuk pergi.

"Sendirian aja, nih? Boleh, dong, aku temenin?" tanya gadis bergaun merah itu dengan nada suara menggoda.

Krisna mengumpat dalam hati. Cobaan apalagi yang harus dihadapinya kali ini. Cintya benar-benar pembawa masalah untuknya.

"Tidak, terima kasih," tolak Krisna. Ia bergeser, berniat mencari celah lain untuk beranjak dari sana. Akan tetapi, gadis itu tetap menahannya. Setiap kali Krisna bergerak, maka ia akan melakukan hal serupa. Gadis itu jelas sekali tidak ingin buruannya pergi.

"Dia ke sini mencari Cintya, Barb." Terdengar suara si bartender yang menyaksikan Krisna dan gadis itu. Tampaknya mereka sudah saling kenal. Sayangnya, Krisna tidak yakin apakah itu hal baik atau buruk. Sebab yang ingin ia lakukan hanya segera menemukan Cintya dan pergi dari sana.

Si gadis bergaun merah, yang Krisna tebak bernama Barbara mencebik mendengar nama Cintya disebut. Seakan tidak pernah mendengarnya, ia kini justru mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Krisna dengan seutas senyum sinis.

"Percayalah, aku lebih baik dari Cintya dalam banyak hal." Krisna secara refleks menjauhkan dirinya, membuat Barbara tertawa kecil, lebih tepatnya tawa meremehkan. Reaksi Krisna sama sekali tak cocok dengan penampilannya. Barbara lalu meraih gelas cocktail yang ditolak Krisna, memainkan benda itu sembari menatap Krisna penuh minat. Pria yang masih kikuk dengan sentuhannya adalah mangsa yang menggiurkan.

"Dengar, Nona. Saya hanya ingin bertemu Cintya dan menyelesaikan urusan kami. Jadi, bisakah Anda minggir?" Krisna berusaha untuk bersikap tegas. Sesuatu yang terbilang sulit mengingat dengan siapa ia berhadapan.

Barbara terlihat lebih muda dari Cintya. Lebih menggoda. Bahkan, gaun yang dikenakannya jauh lebih seksi daripada perempuan-perempuan lain yang berseliweran di sekitar mereka. Riasan wajah gadis itu tampak berani dengan lipstik merah pekat yang menghiasi bibir tebalnya.

Secara keseluruhan Barbara cantik. Namun, yang tercipta di otak Krisna justru bukan gambaran gadis penuh pesona yang bisa membuatnya mabuk kepayang. Gaun ketat dan pendek itu, lipstik merah pekat itu serta cara Barbara memainkan gelas di tangannya. Semua itu hanya mengarahkan Krisna pada memori bertahun-tahun silam, saat ia baru meninggalkan sejarahnya sebagai pemuda culun dan gendut di masa kuliah.

Kilasan kejadian itu segera memenuhi otak Krisna dan tanpa ia sadari sepenuhnya, ia sudah membungkuk dan seperti hendak muntah. Itu memalukan, tapi sayangnya Krisna tidak bisa mengontrol tubuhnya. Bayangan gadis cantik bergaun merah yang berakhir bersimbah darah waktu itu benar-benar mimpi buruk untuknya.

"Astaga, kamu nggak apa-apa?" Barbara mendadak panik melihat reaksi Krisna yang di luar dugaan. Gadis itu ikut membungkuk dan mengusap punggung Krisna perlahan.

Krisna tidak menjawab, hanya berusaha menjauhkan tangan Barbara darinya. Ia juga tidak melihat gadis itu sama sekali, berharap dengan begitu ingatan buruk yang menghampirinya bisa segera pergi.

Namun, Barbara tidak mengindahkan upaya Krisna. Gadis itu tetap bersamanya dan berusaha menenangkan Krisna yang kembali ingin muntah. Barbara kini tak lagi berniat menggodanya, melainkan prihatin melihat pria itu seperti tersiksa oleh sesuatu yang tak ia ketahui.

Krisna berusaha menegakkan badan sembari memejamkan mata. Ia harus pergi dari sana sekarang juga. Masa bodoh dengan Cintya. Ia akan membuat perhitungan dengan perempuan itu lain waktu sesegera mungkin. Namun, kepala Krisna mendadak pening dan tubuhnya terhuyung ke arah Barbara yang dengan sigap menangkap.

"Sebaiknya kamu pulang." Suara Barbara kembali terdengar. Kali ini nadanya khawatir. Usapan halus di punggung Krisna juga masih terasa. Tentu saja dalam keadaan normal Krisna akan sadar jika tingkahnya memalukan. Namun, tiba-tiba tubuhnya yang bersandar pada Barbara ditarik dengan kasar. Sebelum Krisna sempat bereaksi, sebuah tinju dilayangkan ke wajahnya. Ia yang tidak siap otomatis terhuyung seketika.

"Apa-ap---"

Krisna tidak sempat melanjutkan ucapannya karena kini sesosok pria bertubuh besar menarik kerahnya dan menatap Krisna garang. Di belakang pria itu, tampak beberapa orang dengan penampilan serupa. Seketika peningnya menghilang. Krisna tidak tahu siapa dan apa maksud dari tindakan mereka padanya. Akan tetapi, saat akhirnya si pria besar itu bersuara, Krisna tahu kalau ia ada dalam masalah.

"Kamu mau mati, ya?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status