Share

Mantan Cinta Pertama

Krisna menatap perempuan di hadapannya itu dengan pandangan datar. Selain tampak lebih dewasa, hampir tidak ada yang berubah dari perempuan bernama Cintya itu. Senyumnya masih memikat, bahkan parasnya terlihat lebih cantik dari yang terakhir Krisna ingat.

Namun, tidak ada lagi perasaan menggebu untuk menyimpan senyuman itu dalam memori. Krisna remaja yang dulu pernah tergila-gila pada Cintya telah lenyap sepenuhnya. Justru, pria itu merasa bertemu mantan cinta pertamanya itu-sekaligus patah hati pertamanya, hanya membuang waktu. Kalau bukan karena desakan Ratih, Krisna dengan senang hati akan memilih tidur saja di rumah.

"Krisna, bagaimana?" Suara Cintya kembali terdengar bersama denting garpu dan pisau yang baru saja perempuan itu letakkan. Hidangan yang disajikan tampaknya cocok dengan seleranya, karena isi piringnya terlihat tandas. "Tawaranku tadi bagus, lho. Saling menguntungkan."

Krisna mendengus. Meski tahu perjodohan di kalangan orang-orang sepertinya adalah hal lumrah, ia berprinsip untuk menjalaninya dengan serius. Jika memang tidak cocok, Krisna tidak akan terus maju, apalagi sampai harus melakukan sandiwara. Terlebih perempuannya adalah Cintya.

"Aku nggak sependapat. Tidak ada keuntungannya sama sekali buatku," tolak Krisna. "Lagipula nggak ada keharusan kita untuk lanjut."

Cintya tersenyum mendengar jawaban Krisna. Ia tahu betul pria itu pasti masih mengingat kenangan semasa mereka remaja dulu. Penolakan yang ia berikan dulu tampaknya masih membekas di hati Krisna, satu hal yang membuatnya sedikit bangga serta percaya diri akan keberhasilan perjodohan mereka.

"Krisna," Masih dengan senyum di bibir, Cintya mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu. Refleks Krisna mundur dan membuat jarak. "Aku tahu penolakanku dulu melukaimu, tapi coba lihatlah dirimu sekarang. Perubahan ini juga karena andilku, bukan?"

"Katakan saja apa yang mau kamu katakan," perintah Krisna. Ia sungguh tidak nyaman dengan sikap Cintya malam ini.

"Kamu masih tertarik padaku, Krisna. Jadi, apa salahnya kita menjalani hubungan ini?"

Yang benar saja, batin Krisna dongkol. Salah satu perubahan pada penampilannya memang penolakan Cintya, tapi soal perempuan itu merasa Krisna masih ada rasa padanya, itu jelas beda cerita. Ternyata semakin bertambahnya usia mereka, bukan hanya kadar kecantikannya tidak berkurang, tapi kesombongan perempuan itu juga bertambah.

"Silakan bermimpi. Tapi, sekali lagi aku bilang padamu, aku nggak tertarik. Mamaku memang mempertemukan kita, tapi aku bisa menolaknya. Atau jangan-jangan, kamu yang sebenarnya tertarik padaku sekarang?"

Bukannya tersinggung, Cintya justru tertawa kecil. Dengan latar belakang pemandangan malam kota yang tampak dari jendela di belakang Cintya, perempuan itu seharusnya terlihat semakin menawan. Gaun hitam ketat selutut dengan aksen gemerlap membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas. Rambut hitam ikalnya dibiarkan tergerai. Warna gelap tersebut membuat kulit putihnya semakin terekspos. Namun, Krisna sendiri tidak mengerti alasan dirinya tidak lagi tertarik pada Cintya. Ia mengakui kecantikannya, tapi hanya sebatas itu.

"Jangan terlalu percaya diri, Kris." Tiba-tiba tawa kecil Cintya berubah sinis. Nada bicaranya pun mencemooh. "Kamu boleh saja berubah sekarang, tapi bagiku kamu tetap Krisna culun dan gendut yang sama sekali tidak menarik. Aku menawarkan kesepakatan ini hanya demi keuntungan perusahaan kita."

Krisna menahan dongkol mendengar ocehan Cintya. Setahunya dulu orangtua gadis itu memang sangat sukses sebagai pengusaha garmen. Namun, seiring waktu Dahayu Group terus berkembang jauh lebih besar dari usaha keluarga Cintya. Mengingat orangtuanya yang bersahabat baik dengan Ratih dan Bagus, orangtua Krisna, sebenarnya bukan hal buruk membantu mereka. Akan tetapi, ucapan Cintya barusan justru membuat Krisna tidak lagi berminat.

"Oh, ya? Tapi aku punya saran yang lebih bagus buatmu, Cin." Krisna mengambil gelas minumannya, meneguk isi benda itu sembari menatap Cintya dengan remeh. "Berhentilah bermain-main dengan para pacarmu dan mulai bekerja. Karena aku yakin mama dan papaku tidak berminat untuk membiayai gadis manja sepertimu."

Meski tak lagi bertemu selepas SMA, Krisna tahu sepak terjang Cintya sebagai player. Dengan wajah cantik dan karirnya sebagai model, perempuan itu bisa menggaet banyak pria dengan mudah. Mulai dari pengusaha hingga aktor terkenal. Gaya hidupnya juga sangat hedon. Berita tentang kisah percintaannya sering muncul di media. Saras, kakak Krisna yang tak pernah ketinggalan berita semacam itulah yang menjadi sumber informasinya. Kakaknya itu dengan senang hati akan berbagi info tanpa diminta.

Cintya menggeram marah mendengar reaksi Krisna. Namun, sebisa mungkin ia menahan emosi dan tersenyum manis pada lawan bicaranya itu.

"Itulah untungnya menjadi cantik, Krisna. Lagipula aku bisa mendepak mereka. Bukan masalah besar."

"Lupakan saja," tolak Krisna, "aku tidak berminat diduakan dengan pacar simpananmu. Tapi sejujurnya aku memang sama sekali tidak berminat denganmu, Cin. Terima saja kenyataan kalau dugaanmu salah. Jangankan masih suka, aku bahkan nggak peduli denganmu."

"Sialan!" geram Cintya. Ia sudah kehabisan kesabaran menghadapi pria sombong di depannya itu. "Kita lihat saja nanti."

Cintya bangkit dan beranjak pergi dengan langkah cepat. Jelas sekali ia tampak kesal, tapi justru membuat Krisna tertawa senang. Karena Medusa itu akhirnya pergi juga.

Namun, kesenangan Krisna tak bertahan lama. Saat sedang asyik menikmati makanannya sendiri seperginya Cintya, ponsel pria itu berdering. Nama Saras tertera di layar sebagai pemanggil.

Tak tahu pasti alasan sang kakak menelepon, Krisna dengan santai mengambil benda tersebut dan mendekatkan ke telinga. Namun, begitu tersambung, ia tak sempat mengucap salam sebab suara lantang Saras sudah memenuhi telinga.

"Demi apa kamu serius jadian sama Cintya?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status