Share

Pria Manja Menyebalkan

Pemandangan berupa warna putih menyambut Krisna begitu pria tersebut membuka mata. Itu adalah langit-langit ruangan yang kini ia tempati. Ia lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling dan mendapati tirai biru muda tertutup mengelilinginya.

Rumah sakit. Di sanalah Krisna berada. Ia mengenal aroma yang terhidu dari sekitar, juga berbagai suara yang didominasi rintih kesakitan. Hanya saja, biasanya ia akan berada di tempat yang lebih layak jika terpaksa dirawat di rumah sakit. Bukannya ruangan sempit yang hanya muat untuk satu brankar serta sebuah meja kecil seperti saat ini. Apalagi tidak ada seorang pun bersamanya.

"Aduh." Krisna merasakan seluruh badannya sakit saat mencoba untuk bangun sehingga akhirnya kembali berbaring. Ia masih ingat dengan jelas kalau habis dipukuli beberapa orang di klub malam. Orang-orang barbar yang tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan langsung menghajarnya hingga tak sadarkan diri. Namun, pada saat itu kondisinya juga tidak memungkinan untuk melawan balik.

Apakah mereka akhirnya merasa bersalah dan kemudian membawa Krisna ke rumah sakit? Karena itulah ia berada di sana sekarang, bukannya di ruangan yang lebih besar dan lega. Mereka pasti tidak ingin mengeluarkan banyak uang dan hanya akan mengandalkan permintaan maaf.

Tiba-tiba tirai dibuka dengan kasar hingga membuat Krisna hampir terlonjak karena kaget. Ia hendak mengomeli orang yang dikiranya perawat tersebut. Namun, seketika mengurungkan niat sewaktu melihat Jingga. Meski tidak tahu nama gadis itu, Krisna belum pikun untuk mengingat jika dia adalah mantan pegawainya. Si pemilik sepatu merah yang menimpuk kepala Krisna. Dan, pertanyaannya adalah kenapa gadis itu bisa ada di sana?

"Oh, Bapak sudah siuman?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari gadis itu. Akan tetapi, tidak tampak kekhawatiran dari raut wajahnya.

"Kenapa saya ada di sini?" tanya Krisna balik, mengabaikan pertanyaan Jingga.

"Ya,karena Bapak lagi sakit. Masa' Bapak ada di sini karena mau liburan," jawab Jingga sedikit jengkel.

"Saya nanya baik-baik, lho. Kenapa kamu jawabnya begitu?" Krisna makin tidak suka karena ucapan Jingga terkesan tidak sopan, mengingat gadis itu adalah mantan pegawainya.

"Saya tadi juga nanya baik-baik, tapi Bapak malah nggak jawab." Jingga tak mau kalah.

"Pertanyaan kamu itu nggak perlu jawaban. Jelas-jelas saya sudah sadar, kenapa masih nanya? Kamu pikir saya jawab kamu sekarang ini karena ngigau?"

Jingga mencibir mendengar Krisna yang berbicara dengan nada nyinyir. Pria itu terlalu cerewet untuk ukuran seseorang yang habis dipukuli. Padahal wajahnya sudah babak belur begitu, tapi ucapannya masih saja nyelekit. Orang-orang yang menghajar Krisna benar-benar amatir karena melewatkan mulut tajam pria itu dari sasaran tinju mereka.

Jingga hendak membuka mulut untuk membalas ucapan Krisna, tapi urung saat tirai kembali dibuka dari luar. Si Jabrik yang ternyata masuk seraya membawa sebuah kantong kresek putih yang tampak penuh. Dari penampilannya, Krisna seketika menyimpulkan jika Jingga dan pemuda itu adalah komplotan lain yang harus ia waspadai.

"Ga, gorengan di kantin sini gede-gede. Dijamin kenyang deh. Tadi aku juga udah nyicip satu. Maknyus." Si Jabrik memberi laporan dengan penuh semangat, sebelum akhirnya menyadari jika pria yang mereka tolong kemarin itu sudah sadar. "Eh, Pak Bos udah sadar. Mau gorengan juga, Pak Bos? Kebetulan saya beli banyak."

Krisna tak habis pikir dengan kelakuan dua orang di depannya itu. Bisa-bisanya mereka menawarinya gorengan saat berada di rumah sakit. Bahkan saat tidak sakit pun makanan itu jelas bukan makanan yang sehat untuk dikonsumsi. Walaupun harus ia akui aroma dan uap yang tampak begitu kantong tersebut dibuka terlihat nikmat.

"Nggak bakal mau. Tenggorokannya alergi minyak yang udah dipakai berulang kali. Bukan hanya batuk, tapi suaranya nanti bisa hilang." Jingga menjawab dengan asal seraya melirik sinis pada Krisna.

Mendengar hal itu, Krisna seketika meradang. Namun, ia tidak ingin berdebat hanya karena perkara gorengan yang bahkan bukan seleranya. "Saya juga nggak berselera makan makanan begituan."

Jingga berdecak. Mantan bosnya itu benar-benar menjengkelkan bahkan saat dalam keadaan sakit. Ia jadi tidak begitu menyesal harus berhenti menjadi pegawai Krisna.

"Ya udah. Ayo, kita sarapan dulu," ajak Jingga pada si Jabrik yang dengan patuh mengikutinya. Namun, saat gadis itu membuka tirai dan hendak keluar, Krisna memanggilnya.

"Tunggu. Kenapa main pergi aja? Kalian yang bawa saya ke sini, kan?"

"Iya, Pak Bos." Si Jabrik yang menjawab.

"Saya mau pindah ke ruangan yang lebih luas." Tiba-tiba saja Krisna berkata seperti itu yang di telinga Jingga terdengar seperti perintah. Ya, kemarin gadis itu masih bekerja di perusahaan Krisna. Namun, sekarang mereka bukan siapa-siapa. Krisna boleh meminta bantuan, tapi tidak berhak memberi perintah karena jelas-jelas tidak ada kata tolong dalam kalimat pria itu.

Jingga seketika berbalik menghadap Krisna dan dengan tatapan malas membalas ucapan mantan CEO-nya itu.

"Apa susahnya bersyukur karena sudah dibawa ke sini, sih, Pak? Apa Bapak tahu kami sampai harus patungan untuk bayar biaya perawatan supaya Bapak bisa segera ditangani? Dua teman saya dan saya yang baru saja dipecat." Jingga sengaja menekankan kata terakhir untuk menyindir Krisna. "Dan, sekarang Bapak minta ruangan yang lebih luas? Yang benar saja."

"Saya bisa bayar kalian kembali. Kamu tahu, kan, kalau saya ini CEO Da---."

"Saya tahu," potong Jingga cepat. "Bapak yang nggak tahu kalau saat dilempar dari mobil kemarin malam itu, Bapak cuma punya badan. Nggak ada ponsel dan dompet. Itu alasan yang cukup bagi kami untuk rela mengeluarkan uang demi menolong Bapak."

Masuk akal. Namun, Krisna masih belum sepenuhnya percaya pada perkataan Jingga. Bisa saja gadis itu mengenal orang-orang yang menghajar Krisna kemarin dan sengaja membuat rencana sedemikian rupa untuk membalas dendam padanya. Atau bisa juga gadis itu ingin membuatnya merasa berhutang budi dan meminta imbalan. Bisa berupa uang atau permintaan kembali bekerja di butik Dahayu. Kalau benar begitu, maka ini jelas-jelas pemerasan meski bukan dalam bentuk uang.

"Dengar, kalau kamu berniat menjadikan pertolongan ini cara untuk kembali bekerja, lupakan saja."

Jingga yang bisa mencernanya seketika memelotot mendengar kata-kata Krisna. "Terserah Bapak. Saya nggak peduli."

Namun, saat Jingga hendak pergi, Krisna kembali memanggilnya. Tanpa menyembunyikan kejengkelan di wajahnya yang semakin bertambah, Jingga tetap berbalik dan bertanya dengan nada ketus.

"Apa lagi? Kebelet pipis dan butuh pispot?" Pertanyaan tak terduga Jingga sontak membuat Krisna merasa malu. Namun, karena bukan itu tujuannya mencegah gadis itu pergi, ia berusaha mengesampingkan perasaan tersebut meski tawa si Jabrik terdengar sangat menganggu.

"Saya butuh menelepon seseorang."

"Terus? Apa urusannya dengan saya?"

"Ponsel saya kan nggak ada, jadi saya mau pinjam ponsel kamu."

Jingga memutar mata dengan jengah. Pria di hadapannya ini benar-benar paket lengkap untuk manusia tidak tahu diri. Akan tetapi, gadis itu tetap mengeluarkan ponsel dan menyodorkannya pada Krisna. Lebih karena ingin segera mengakhiri urusannya dengan pria itu. "Sebelum Bapak bertanya, saya kasih tahu lebih dulu, nih. Kita sekarang ada di rumah sakit Cipta Medika."

Krisna lalu menerima ponsel Jingga yang jauh berbeda dengan miliknya itu. Model dan mereknya tergolong murah dan tidak istimewa. Miliknya jelas jauh lebih bagus. Hanya saja dalam situasi saat ini, fungsi utamanya yang lebih ia butuhkan yaitu untuk menelepon.

Dengan Jingga masih berdiri di dekatnya, Krisna pun mencoba menghubungi nomor Saras yang sudah ia hafal di luar kepala. Setelah dua kali nada tunggu panggilan tersebut akhirnya tersambung. Meski menggunakan nomor asing, Krisna bisa meyakinkan Saras dan segera memberitahu kakaknya itu mengenai keberadaannya. Begitu Saras mengonfirmasi akan segera datang ke rumah sakit tempatnya dirawat, Krisna pun mengakhiri percakapan dan mengembalikan ponsel Jingga.

"Sudah?" tanya Jingga.

"Kalau belum ya nggak akan saya kembalikan ke kamu. Kenapa kamu selalu melontarkan pertanyaan retoris, sih?"

"Sialan," umpat Jingga dengan suara pelan, tapi Krisna bisa mendengarnya.

"Berhenti memaki saya. Kamu bisa keluar untuk sarapan sekarang, tapi segera kembali supaya kakak saya nggak kebingungan saat sampai di sini."

Jingga merasa mendapat perlakuan lebih buruk dari saat ia masih menjadi pegawai di Dahayu. Namun, ia yang memang sudah kelaparan pun memilih untuk mengabaikan ucapan Krisna dan pergi begitu saja. Di luar, si Jabrik sudah menunggunya bersama si Kurus yang sudah kembali dari kamar mandi.

Mereka bertiga lalu duduk bersisian di kursi yang ada di depan ruang rawat Krisna. Bersama, ketiganya menikmati sarapan mereka dengan gorengan yang tadi si Jabrik beli. Murah meriah, mengingat uang mereka habis untuk biaya masuk Krisna kemarin. Uang untuk membeli gorengan itu saja uang terakhir si Kurus. Belum lagi badan mereka yang kaku karena semalaman tidur di kursi tunggu. Untungnya Jingga sudah mengabari keluarga di rumah sehingga mereka tidak terlalu khawatir ia tidak pulang semalaman.

Ketiganya baru saja selesai menandaskan potongan gorengan terakhir ketika seorang perempuan berpenampilan elegan muncul. Sepatu hak tingginya yang bersuara khas memenuhi lobi. Kebetulan tidak ada banyak orang saat itu. Perempuan berwajah bak artis itu berhenti tepat di depan Jingga dan kawan-kawan lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya.

Ponsel Jingga berdering setelah perempuan tadi meletakkan ponsel di telinga. Jingga seketika menebak jika sosok tersebut adalah orang yang tadi ditelepon Krisna alias Saras, kakaknya. Ia juga jadi teringat pernah melihat wajah Saras yang memang pernah datang ke butik beberapa bulan lalu.

Jingga segera bangkit dan kini bertukar pandang dengan Saras. "Ibu kakaknya Pak Krisna?"

"Benar. Jadi kamu pemilik nomor ini? Yang membawa Krisna ke sini?" Jingga segera mengangguk sebagai jawaban. "Terima kasih banyak, ya. Bagaimana keadaannya?"

Dari interaksi pertama saja Jingga sudah bisa menilai jika Saras lebih baik dari adiknya. Minimal perempuan itu mengucapkan terima kasih. Paras rupawan yang dimiliki satu keluarga memang tidak menjamin kemiripan sifat.

"Mari masuk saja, Bu. Pak Krisna sudah menunggu,"ajak Jingga segera. Saras pun mengikuti gadis itu memasuki ruang rawat. Di dalam sana hanya dua brankar yang kosong. Cukup banyak pasien lain yang membuat ruangan itu semakin terasa sempit. Namun, berbeda dengan Krisna, Saras tidak tampak terganggu dengan hal itu.

"Krisna! Apa yang sebenarnya terjadi? Mama dan Papa sampai nggak tidur semalaman gara-gara kamu nggak bisa dihubungi sama sekali tahu." Saras langsung memberondong sang adik begitu melihat keberadaan Krisna. Ia juga langsung memegang wajah sang adik untuk memeriksa keadaannya. "Astaga, kamu dipukuli orang apa gimana, sih? Muka kamu sampai kaya gini."

"Ya gitu, deh. Kita bisa bicarain itu nanti. Sekarang kamu ganti uang dia dan pindahin aku ke ruangan yang lebih besar, dong." Krisna menunjuk Jingga yang masih merasa jengkel padanya. "Jangan lupa lebihin."

Saras berpaling pada Jingga dan tersenyum tidak nyaman karena perkataan adiknya. "Oh, ya. Boleh saya tahu berapa biaya yang harus diganti?"

"Nggak perlu, Bu. Saya ikhlas, kok," tolak Jingga. Harga dirinya benar-benar direndahkan saat Krisna terang-terangan menyuruh Saras mengganti uangnya lebih dari seharusnya. Lagipula dari awal dia memang berniat membantu tanpa mengharapkan imbalan. Hanya saja sikap Krisna membuatnya merasa bisa sewaktu-waktu menyemburkan napas api.

"Tapi,.."

"Tidak apa-apa. Dan, karena sudah ada Ibu, saya dan teman-teman saya pamit pergi."

"Tunggu," cegah Sara yang merasa tak enak karena membiarkan Jingga pergi begitu saja. "Boleh saya tahu nama kamu? Atau tempat kerja kamu?"

"Nama saya Jingga. Dan, saya pengangguran."

"Oh, maaf untuk itu. Kalau begitu kamu mungkin tertarik untuk melamar di perusahaan kami? Saya bisa merekomendasikan kamu." Saras mencoba memberi solusi untuk ucapan terima kasih yang bisa Jingga terima.

"Terima kasih, Bu. Tapi, mungkin Ibu belum tahu. Saya justru baru saja dipecat dari perusahaan Ibu."

Saras seketika bengong. Otaknya berusaha mencerna jawaban Jingga, tapi sebelum ia menemukan jawabannya, gadis itu sudah beranjak pergi. Menyisakan hanya dirinya dan Krisna yang memasang wajah tidak peduli.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Maulana
cerita asyik...semangat thor up lagi.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status