"Dewi! Demi apa kita diundang ke pesta?" Seruan Sinta pada sahabatnya ikut mengejutkan Hingga yang baru saja menutup pintu lokernya. Gadis itu melambai-lambaikan kertas undangan yang baru saja mereka semua dapatkan dari Farhan.
"Demi kinerja yang baik, dong," jawab Dewi dengan nada bangga. "Aku dengar musim pertama tahun ini butik kita kasih pemasukan paling tinggi."Beberapa pegawai lain sontak ikut nimbrung membahas hal tersebut kecuali Jingga. Gadis berwajah bulat itu memang memegang benda yang sama, tapi segera memasukkannya ke tas dengan niat akan dibacanya di rumah. Namun, saat ia hendak beranjak pergi, salah satu mereka tiba-tiba memanggilnya."Ga, kamu datang, kan?" Ternyata Lina, pemilik loker di sebelah Jingga yang bertanya."Ke mana?" tanya Jingga balik."Ya, ke pesta ini." Kini Sinta yang mendekat seraya masih melambai-lambaikan undangan di tangannya. "Kamu, kan, karyawan terbaik bulan ini. Terus kamu juga jadi penolong CEO ki"Aduh!” Jingga tak dapat menahan diri untuk berseru kaget sewaktu melihat tampilannya di cermin sekarang. Ia yang biasanya hanya memulas make up seadanya, itu pun hanya saat bekerja, kini tampak jauh berbeda. Gadis itu hampir tidak bisa mengenali dirinya sendiri. “Kenapa mukaku jadi aneh begini, Vio?” protesnya pada sang juru rias yang tak lain adalah adik bungsunya.“Ish, aneh gimana, sih? Ini tuh style make up yang oke. Cocok buat Kak Jingga. Salah satu style Jenie Blackpink, nih,” balas Violet yang masih sibuk menyempurnakan riasan mata sang kakak. “Ya, jangan disamain, dong. Dia, kan, idol, mau pakai riasan model apa juga nggak masalah.” Jingga memelototi wajahnya sendiri di cermin. Matanya tampak bold dengan warna biru atau hitam yang Violet gunakan sebagai eye shadow. Belum lagi eyeliner yang membuat mata gadis berpipi tembam itu terlihat semakin tegas. Untungnya Violet memulaskan lipstick dengan warna yang tidak terlalu menyolok. Namun, tetap saja secara ke
"Serius, deh. Ada apa, sih, dengan Pak Krisna?" gumam Jingga setelah meninggalkan bosnya itu. Di awal pertemuan mereka dulu, pria itu bersikap menyebalkan, lalu berubah baik dan perhatian beberapa waktu setelah pertolongan Jingga. Dan, sekarang Krisna malah mirip orang bodoh. Meski mereka tidak sering bertemu, bagaimanapun juga seharusnya Krisna tahu kalau Jingga adalah pegawainya. Sikapnya tadi saat ditolong oleh gadis itu seolah pria tersebut belum pernah melihatnya saja. Yah, bisa jadi hal itu dikarenakan penampilan Jingga yang berbeda dari biasanya. Juga karena Krisna pasti tidak pernah memerhatikan gadis itu dengan seksama, sehingga tidak bisa mengenali Jingga yang sebenarnya tidak berubah-berubah amat. Namun, Jingga tak berniat memikirkannya lebih jauh. Bukan hal penting dan ia juga tidak rugi apa pun. Krisna mungkin tidak mengenalinya tadi, tapi setidaknya pria itu masih berusaha bersikap sopan.Jingga pun kembali fokus ke acara. Tadi saat baru datang ia su
Jingga, Jingga, Jingga.Krisna mengulang nama itu seraya berjalan cepat menuju pintu keluar. Meski awalnya tidak percaya dan merasa yang terjadi pada hatinya malam ini adalah kutukan dari sang mama, tak butuh waktu lama untuk pria itu menyadari jika dugaan konyolnya tidaklah penting.Memangnya kenapa kalau gadis yang berhasil membuat Krisna terpesona setelah sekian lama adalah Jingga, pegawainya? Gadis yang sebelumnya dengan sadar ia sebut jelek dan munafik. Kutukan, karma atau apa pun sebutannya, Krisna tak lagi peduli. Sebab, tidak setiap hari ia terpaku menatap seorang gadis dengan detak jantung yang seolah berhenti di awal lalu mendadak bertambah cepat hanya dengan melihatnya tersenyum.Karena itulah begitu acara utama tadi selesai, Krisna bergegas meninggalkan sang kakak untuk mencari Jingga. Ia harus bergerak cepat untuk mendekatinya, jika tidak ingin orang lain yang mendapat kesempatan itu. Mengingat penampilan cantik Jingga malam ini, bukan tidak m
"Ga, ada yang pengin kenalan sama kamu, nih." Lina berbicara pada Jingga yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setahu gadis itu, Lina tadi masih sibuk melayani seorang pengunjung saat ia pergi ke toilet. Namun, tahu-tahu sekarang sudah ada di depan pintu kamar mandi. Padahal Jingga hanya sebentar di sana."Hah?" Respon Jingga lebih seperti orang tuli yang butuh pengulangan kata dari lawan bicara. Namun, ia tidak berhenti dan tetap berjalan sehingga Lina terpaksa mengikutinya."Ada yang pengin kenalan sama kamu," ulang Lina."Oh," balas Jingga yang masih belum sadar dengan hal yang disampaikan temannya. Ia masih sibuk membenahi seragamnya yang agak kusut setelah dari toilet tadi. Akan tetapi, beberapa detik kemudian gadis itu akhirnya tersadar. "Eh, kamu nggak salah orang, Lin?"Seingat Jingga ia tidak pernah tebar pesona pada siapa pun. Lagipula ia memang tidak punya waktu untuk melakukannya. Baginya mencari kekasih tidak lebih penting dari menc
"Aku cuma minta nomor teleponnya, Ras, bukan minta jatah warisanmu. Susah banget, sih?" Rengga melirik bosnya yang tampak ngotot berbicara dengan sang kakak di telepon. Sejak dari kantor tadi, ia menyadari jika sikap Krisna agak berbeda. Biasanya pria itu akan menyibukkan diri dengan laptop atau tabletnya jika mereka sedang perjalanan ke tempat yang agak jauh. Namun, sejak mobil mulai melaju meninggalkan bangunan kantor Dahayu, Krisna sudah tampak gelisah, bergumam sendiri dan uring-uringan tidak jelas. Sama sekali bukan tipikal Krisna yang Rengga kenal selama ini. Tadinya Rengga pikir bosnya itu sedang memikirkan masalah penting di perusahaan. Akan tetapi, jika memang benar begitu ia pasti sudah tahu. Rengga adalah asistennya, bukan? Selama terkait perusahaan, Rengga juga punya akses yang sama dengan Krisna, bahkan seringkali tahu lebih dulu agar bisa segera menyampaikannya pada sang bos. Apa
Hari ini sepertinya tidak sebaik kemarin-kemarin. Jika biasanya Jingga bisa mendapatkan minimal satu pembelian dan satu pelanggan baru, maka belum ada satu pun yang ia raih hari ini. Hanya ada seorang pelanggan lama yang belum bisa memberikan kepastian untuk membeli.Jingga mengembuskan napas panjang seraya berjalan menuju ruang istirahat. Meski kecewa, tidak sepantasnya ia mengeluh. Naik turun dalam hal apa pun itu sudah biasa. Lagipula ia baru satu hari ini merasakan hal tersebut, sedangkan teman-temannya seringkali bahkan tak mendapat satu pun pembeli. Jingga lebih patut untuk tetap bersyukur karena seridaknya ia masih punya pekerjaan tetap.Ingatan akan menu bekal yang tadi Jingga bawa akhirnya berhasil mengalihkan hal tersebut dari pikirannya. Hari ini gadis itu memasaknya sendiri. Omelet sayur, tumis bayam dan sambal yang lumayan pedas. Menu yang terbilang sederhana, tapi membayangkannya di saat perut lapar membuat makanan tersebut terasa enak berkali lipat, bahkan sebelum ia be
Terdengar ketukan di pintu kamarnya ketika Jingga sedang sibuk memotong kain untuk bahan sepatu pesanannya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Baik Lembayung atau Violet sedang tidak ada di rumah sekarang. Jadi sosok yang tengah berasa di depan pintu kamarnya pastilah Riani."Ga, Mama masuk, ya?" Benar saja, tak lama kemudian suara perempuan yang sudah dianggapnya seperti ibu sendiri itu pun terdengar."Iya, Ma. Nggak dikunci, kok. Masuk aja." Jingga menjawab sembari tetap sibuk dengan kegiatannya. Kain yang tengah dipegangnya itu adalah lace untuk melapisi permukaan sepatu, sebab begitulah permintaan kliennya kali ini. Teman Lembayung yang sudah menentukan pilihan dari dua desain yang Jingga tunjukkan. Jingga bahkan sudah memiliki cetakan kaki gadis itu, yang kini tergeletak di sampingnya, berbaur dengan bahan dan peralatan lain.Kamar tidur Jingga sejatinya tak luas, tapi karena tak memiliki ruang lain dan halaman rumah mereka juga mepet, maka terpaksa gadis
"Sampai di sini dulu meeting hari ini. Saya harap untuk pertemuan berikutnya semua aspek yang kita bahas tadi sudah siap." Krisna menutup meeting mingguannya dengan para manajer dan kepala departemen. "Terima kasih."Setelah memberi salam, para bawahan Krisna tersebut pun satu persatu meninggalkan ruangan, kecuali Rengga dan sang COO alias Saras, kakaknya sendiri. Krisna tahu pasti alasan Saras belum beranjak dari sana. Karena itu, ia membiarkan saja kakaknya itu dan berlagak tidak peduli dengan keberadaannya."Seingatku kamu nggak suka olahraga, deh, Kris," ujar Saras. Tatapan penasarannya tertuju pada kening Krisna yang membiru dan agak benjol. Hasil dari mencium tiang lampu jalan kemarin. "Terus itu benjol darimana asalnya?"Krisna tahu benjolan dan memar yang tak seberapa itu membuat penampilannya jadi tidak maksimal. Bayangkan saja seorang pria yang tampak menawan dengan setelan jas apik dan rambut keren, tapi wajahnya yang tampan harus terganggu deng