Katanya sepatu yang bagus akan membawa pemiliknya ke tempat yang bagus. Namun, bagaimana jika sebelah sepatu butut Jingga justru berakhir di kepala Krisna, CEO tempatnya bekerja? Apakah itu menjadi cerita cinta terhalang kasta yang akan berakhir indah? Atau kisah Cinderella yang hanya dongeng semata dan justru membawa hidup Jingga menuju kesialan?
View MoreKrisna terlonjak kaget sewaktu pintu di hadapannya yang tadi terbuka kini menutup dengan sangat keras. Lebih tepatnya dibanting dengan keras. Ia bahkan belum sempat mengucapkan apa pun pada sang tuan rumah."Dia pasti sangat suka kejutanku sampai bereaksi begitu," gumam Krisna yang sama sekali tak berpikiran buruk. Pria itu malah merasa bangga karena bisa membuat Jingga yang tak lain penghuni rumah di depannya sekarang, terlihat sangat terkejut. Dengan kata lain, kejutan yang ia buat berhasil.Krisna mengulurkan tangan ke daun pintu, hendak mengetuk lagi. Akan tetapi, sebelum sempat melakukannya, seorang perempuan yang tampak sedikit lebih muda dari Ratih muncul dan berjalan ke arahnya."Eh, ada tamu," ujar perempuan yang ternyata Riani itu. "Cari siapa, ya?"Krisna menebak Riani adalah kerabat atau siapa pun dari keluarga Jingga yang juga tinggal di sana. Sebab dugaan perempuan itu adalah ibunya Jingga agak sulit ia terima. Tidak ada kemiripan antara Riani dan Jingga. Sama sekali."J
Jingga menggeliat dengan nyaman bersamaan dengan layar televisi yang menampilkan credit title dari film yang baru selesai ia tonton. Punggungnya pegal duduk selama hampir dua jam menatap layar, tapi cukup terbayar dengan filmnya yang tidak mengecewakan. Sejauh ini ia selalu mengambil rekomendasi film-film bagus dari sebuah situs di internet dan sejauh ini pula belum pernah kecewa dengan pilihan mereka.Berdiri dan berjalan menuju dapur, Jingga mengendus-endus aroma masakan yang sayangnya tidak ada. Kemudian ia teringat jika hari ini Riani tengah pergi menjenguk salah satu tetangga mereka yang sakit dan belum pulang. Saat ini hanya ada dirinya dan Lembayung di rumah, tapi adiknya itu masih sibuk di kamarnya sendiri mengerjakan sesuatu. Jingga menebak Lembayung sedang kebanjiran tugas kuliah. Walaupun sebenarnya gadis itu memang lebih suka bersemedi di kamarnya setiap kali ada waktu.Perut Jingga mengeluarkan bunyi gemuruh kecil, menandakan sang pemilik kelaparan. Film bagus memang berh
"Eh, Ga. Gimana kencan kamu sama Pak Krisna?" Santi bertanya pada Jingga yang baru saja memakan bekalnya. "Cerita, dong."Jingga menatap temannya itu malas. Sekarang setiap jam istirahat ia bukannya bisa makan dan beristirahat dengan tenang, tapi malah harus menghadapi rasa penasaran teman-temannya. Tidakkah mereka mengerti kalau Jingga ingin menyimpan sendiri kebersamaannya bersama Krisna? Lagipula, tidak ada yang menarik dari itu. Kalau bukan pria itu yang merayu, maka mereka akan berdebat yang selalu dimulai oleh Jingga. "Nggak ada yang perlu diceritain," jawab Jingga enggan. Ia masih berusaha menikmati kunyahan nasi di mulutnya yang jadi terasa tak enak gara-gara kekepoan Santi. Belum lagi kalau rekannya, Dewi, ikut serta mengulik tentangnya. "Ih, Jingga pelit. Bilang aja mau bikin kita iri." Santi tiba-tiba saja merajuk, membuat Jingga kembali menatapnya, kali ini dengan heran. "Mentang-mentang kamu bisa bikin Pak Krisna bucin sama kamu."Jingga memutar mata jengah. Ia tidak pe
Rengga hanya bisa terheran sewaktu memasuki ruangan Krisna dan mendapati sang bos tengah senyum-senyum sembari menatap layar laptop. Sebenarnya tidak aneh karena bisa saja Krisna sedang menonton film komedi. Masalahnya ini masih jam kantor dan hal semacam itu bukan sesuatu yang wajar dilakukannya."Pak Krisna," tegur Rengga sewaktu sudah berada di depan sang bos. "Ada dokumen yang perlu Bapak tandatangani."Rengga menyerahkan map yang ia bawa, tapi Krisna masih fokus pada layar di hadapannya dan tak menoleh. "Taruh di situ saja. Nanti saya lihat," perintahnya."Baik, Pak." Sang asisten menurut lalu melakukan yang disuruh Krisna. Sayangnya, sang bos masih sibuk sendiri, bahkan kini tertawa. Mengetahui beberapa kebiasaan Krisna, Rengga hanya bisa mengernyit melihat keanehan tersebut tapi tak berniat bertanya. Dan, karena tak ada hal lain yang perlu ia sampaikan, pria berkacamata itu hendak undur diri.Awalnya Krisna mengangguk mengiakan, masih
Krisna menggeleng setiap kali teringat kejadian barusan. Terus mempertanyakan bagaimana bisa ia bertindak memalukan seperti itu di depan Jingga. Mau ditaruh mana mukanya sekarang."Pak Krisna." Panggilan Jingga memutus lamunan Krisna. Gadis itu terlihat khawatir. "Bapak beneran nggak papa? Nggak ada yang sakit? Kepalanya gitu?"Krisna memegangi kepalanya, kembali merasa malu atas ingatan jurus seruduk yang tadi ia keluarkan untuk menyerang si preman. Sejujurnya, Krisna memang tidak bisa berkelahi, tapi tindakannya tadi benar-benar tidak keren. Sepayah-payahnya ia memberi pukulan, itu pasti akan terlihat lebih baik daripada menyundulkan kepala ke perut preman."Oh, saya nggak papa, kok." Krisna akhirnya membalas. Kini ia dan Jingga sedang duduk di tepi jalan, tepatnya di pinggir trotoar tempat mereka tadi dihadang. Dua pria pemalak tadi sudah diamankan oleh si Jabrik dan kawan-kawannya yang kebetulan melintas dan melihat Jingga. Setelahnya hanya tersisa Jin
Baju, oke. Wajah dan rambut, oke. Hadiah, oke.Krisna tersenyum puas setelah memastikan baik penampilan maupun benda yang harus dibawa telah siap. Lengkap. Untuk kesekian kali, Krisna bercermin pada kaca mobil, membenahi kerah kemeja yang sejatinya tidak bermasalah. Juga rambut gaya pompadour-nya yang masih tampak keren.Sembari mengeratkan kembali genggamannya pada buket mawar merah dan sebuah kotak kecil, Krisna lalu menegakkan badan. Bersiap menyambut gadis yang membuatnya tampil spesial malam ini. Penantiannya tak membutuhkan waktu lama, karena sejurus kemudian Jingga tampak bersama teman-temannya keluar dari gedung.Senyum Krisna seketika mengembang. Namun, hal yang sama tidak berlaku pada Jingga. Gadis itu sontak melotot alih-alih balas tersenyum begitu melihat kehadiran Krisna. Sementara teman-teman gadis itu justru senyum-senyum sembari menggodanya."Cie, ditungguin Pak Bos, tuh, Ga.""Buruan disamperin, gih. Udah ganteng pakai ba
“Memangnya kenapa?” Lembayung bertanya dengan nada datar pada Jingga. Mereka berdua sedang berada di kamar Jingga. Sang pemilik kamar tengah rebah di kasur setelah selesai menceritakan hal yang seharian ini dialaminya serta tentang Krisna. Sementara Lembayung duduk tenang di sampingnya sembari melihat-lihat beberapa sketsa sepatu yang baru dibuat sang kakak.“Dia tertarik padaku karena malam itu aku kelihatan cantik. Dia bahkan sampai nggak mengenaliku.” Jingga menjawab pertanyaan sang adik seraya menatap langit-langit kamarnya.“Nggak masalah, kan? Memang malam itu kamu kelihatan lebih cantik, kok. Wajar aja kalau dia tertarik.”“Tapi, itu berarti dia nggak suka padaku apa adanya, kan? Dia cuma mandang penampilan, sama seperti saat kami pertama bertemu dulu. Dia menghina dan meremehkanku salah satunya karena penampilanku yang menurutnya jelek.” Jingga selalu teringat pertemuan pertamanya dengan Krisna. Padahal kejadian itu sama sekali tidak berkesan.
Ratih tiba di kantor Krisna dengan harapan bisa makan siang bersama putra bungsunya itu. Namun, informasi yang disampaikan Mira, sekretaris Krisna mau tak mau membuatnya bertanya-tanya."Mohon maaf, Bu. Pak Krisna sudah keluar bersama Pak Rengga sejak sebelum waktu istirahat makan siang tadi""Apa mereka makan siang di luar?""Saya kurang tahu, Bu. Sepertinya begitu.""Jam berapa biasanya mereka kembali ke kantor?" Ratih bertanya lagi, berniat menunggu sang putra dan bertemu dengannya meski tak bisa makan siang bersama."Biasanya tidak lama, Bu. Sebelum waktu istirahat berakhir, Pak Krisna sudah kembali.""Oke, saya akan tunggu di ruangannya kalau begitu." Ucapan Ratih diangguki Mira sebagai jawaban ya. Lagipula gadis itu mana berani melarang sang bos besar.Begitu sudah ada di dalam ruangan Krisna, Ratih segera menempati sofa di salah satu sisi ruangan dan mengeluarkan ponsel dari tas. Dikirimnya sebuah pesan untuk Kris
"Eh, kamu nggak dapet kiriman bunga atau makanan lagi, Ga?" Dewi bertanya dengan suara nyaring saat Jingga dan teman-temannya berkumpul di ruang istirahat. Mereka baru saja hendak membuka kotak bekal masing-masing, saat rasa ingin tahu Dewi membuat perhatian semuanya teralihkan.Jingga berdecak sebal dalam hati. Kadang ia berharap teman-temannya lebih memilih makan siang dengan membeli makanan di luar, bukannya membawa bekal sendiri sehingga saat makan semuanya berkumpul di sana. Bukan karena ia tidak menyukai kebersamaan tersebut, tapi saat-saat seperti sekarang inilah yang Jingga benci. Momen di mana ada yang ingin menyimpan sendiri masalahnya, tapi orang lain justru dengan senangnya terus membahas hal tersebut di depan banyak orang."Mungkin dia bosan, habis Jingga nggak ngerespon apa-apa," celetuk Sinta."Mau ngerespon gimana, Sin? Orangnya aja nggak tahu yang mana." Lina ikut berkomentar."Lho, katanya Pak Krisna?" Sinta bertanya lagi.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.