Share

Hari Yang Sial

"Kamu pernah ketemu Pak Krisna, CEO kita, nggak? Katanya dia ganteng banget, lho."

"Belum. Tapi, gosipnya beliau memang ganteng dan yang paling penting masih lajang."

Celetukan dua temannya, Santi dan Dewi, terdengar jelas saat Jingga berpapasan dengan keduanya di pintu masuk ruang istirahat. Mereka memang sudah kembali lebih dulu, sementara Jingga baru selesai karena melayani pengunjung terakhir yang bersamanya. Dan, CEO mereka memang akan datang sehingga jadilah pria yang katanya tampan itu menjadi bahan rumpi dua rekan kerjanya tersebut.

Mendengar celetukan dua rekannya itu, Jingga merasa sedikit lega karena bukan dirinya yang jadi bahan pembicaraan. Karena meski bukan artis dan kurang cantik untuk jadi selebgram idola kaum adam, Jingga adalah bahan rumpian favorit mereka. Mereka iri, itu yang Jingga pikir. Bukan hal aneh mengingat Jingga pegawai baru dan sudah berkali-kali menjadi karyawan terbaik sementara mereka tidak.

"Biar ganteng juga nggak bakal lirik kalian kali," gumam Jingga seraya mengambil bedak dari tasnya. Ia perlu melakukan sedikit touch up agar wajahnya tetap tampak segar saat acara nanti. Namun, melihat pantulan dirinya di cermin, Jingga tiba-tiba saja tertawa sendiri. "Nggak bakal ngelirik aku juga, sih."

Jingga sadar diri dengan keadaan dan tidak berharap hal yang muluk-muluk. Lagipula dia tidak begitu tertarik dengan asmara, karena sudah terlalu sibuk mencari uang. Mungkin akan beda cerita kalau pria yang menaruh hati padanya nanti adalah si World Wide Handsome alias Jin, idola Violet yang kalau dilihat-lihat oleh Jingga memang ganteng. Sayangnya, hal itu justru menjadikannya tambah gila karena Jin dan Jingga hanya nama yang berawalan huruf sama, bukannya pasangan di undangan pernikahan.

Jingga menggeleng menyadari khayalannya yang berlebihan. Pasti itu efek dari kelelahan. Dengan bergegas, ia menyelesaikan niat awalnya sehingga bisa bergabung bersama yang lain tepat waktu. Namun, saat baru saja keluar dari ruangan, Jingga melihat sosok yang tak asing berjalan ke arahnya.

Pria yang tadi pagi Jingga lempari sepatu itu ada di sana. Berjalan bersama seorang pria berkacamata dan Farhan, manajer butik. Mendadak Jingga dipenuhi kecemasan.

"Astaga, apa jangan-jangan dia CEO Dahayu? Mati aku." Jingga menepuk dahinya dan buru-buru masuk kembali ke ruangan. Sungguh celaka kalau benar begitu. Ia tidak peduli jika predikat karyawan terbaik tidak jadi disematkan padanya. Tapi, ia sudah kehilangan sebelah sepatu kesayangannya, apa ia harus kehilangan uang bonus juga?

Oh, tunggu, batin Jingga. Ia segera mecubit pipinya, berharap semua ketakutan yang ia rasakan hanya mimpi. Namun, ia berakhir dengan mengaduh kesakitan. Ternyata bukan mimpi buruk, tapi kenyataan buruk.

Jingga mondar mandir di ruangan, sesekali menepuk kepala dan menggaruk lehernya yang tidak gatal. Mencoba menemukan cara untuk menghadapi situasi yang dihadapinya sekarang. Namun, setelah pusing karena terus bergerak berkeliling, Jingga tetap tak bisa menemukan solusi selain muncul dan menemui si CEO. Lagipula, tadi ada dua orang, bukan? Bisa saja pria berkacamata tadi CEO yang asli.

"Tapi si sombong tadi berjalan paling depan, paling terlihat berkuasa. Dia pasti benar si CEO." Jingga bermonolog, tidak sadar jika sudah banyak menghabiskan waktunya dengan hanya berdiam di sana. "Ah, masa bodoh. Pura-pura nggak inget aja. Atau sekalian ngaku punya amnesia retrogade."

Bukan Jingga namanya kalau tidak punya nyali. Tadi pagi dia berani karena benar. Krisna tidak punya alasan untuk membawa masalah tersebut ke ranah pekerjaan. Maka, dengan langkah mantap dia akhirnya pergi keluar. Di sana semua pegawai sudah berkumpul dan menantikan dirinya.

Jingga menunjukkan gestur maaf pada Farhan seraya segera bergabung. Bisa ia rasakan tatapan terkejut Krisna saat melihatnya. Namun, Jingga berlagak tidak tahu hingga tiba waktunya Krisna memberikan piagam dan mereka berhadapan secara langsung. Hal yang akhirnya meyakinkan Jingga jika Krisna memang CEO tempatnya bekerja.

"Jadi, kamu kerja di sini?" tanya Krisna retoris. Mereka berfoto berdampingan sebagai dokumentasi dan pria itu bertanya dengan suara pelan yang hanya bisa didengar oleh Jingga. "Kebetulan sekali."

Jingga tidak mengerti yang terjadi dengan dirinya. Jika tadi ia bertekad mengaku hilang ingatan, saat ini yang keluar dari mulutnya justru sebuah permintaan maaf. Tiba-tiba saja terlintas di pikirannya jika ia tidak sama dengan Krisna. Jingga masih ingat untuk meminta maaf saat melakukan sebuah kesalahan.

"Saya minta maaf, Pak. Tadi pagi saya tidak bisa menahan emosi."

Acara foto bersama telah selesai saat Jingga mengutarakan permintaan maafnya. Namun, reaksi Krisna tidak seperti yang ia duga. Pria itu hanya tersenyum singkat dan berkata.

"Tidak apa-apa. Mari kita lupakan saja."

Bolehlah Jingga merasa lega? Apakah ia harus curiga bosnya itu tengah merencanakan sesuatu padanya? Atau justru ia terlalu percaya diri pria itu akan peduli dengannya?

Apa pun itu, saat ini Jingga hanya berharap jika dengan meminta maaf, ia juga bisa mendapatkan kembali sepatunya.

"Terima kasih, Pak." Jingga akhirnya bisa merasa lega. Ternyata pria itu tak searogan yang dilihatnya tadi pagi. Sayangnya, saat ia hendak menanyakan sebelah sepatunya, asisten Krisna mengajaknya pergi. Tak ingin kehilangan kesempatan, Jingga pun mengejar dua pria tersebut. Bahkan dengan berani menghadang langkah mereka saat berada di depan ruang istirahat pegawai. "Maaf, Pak. Bolehkah saya bertanya sesuatu?"

Krisna yang terpaksa berhenti memandang Jingga dengan tatapan yang jauh berbeda dari sikapnya saat berfoto tadi. Keramahan yang sempat terekam memori Jingga tadi hilang dan berganti dengan ekspresi jengkel.

"Ada apa? Saya ada urusan lain yang lebih penting." Bahkan nada bicaranya pun berbeda. Arogan. Mau tak mau Jingga pun balas menatapnya heran. Apa tadi Krisna mengonsumsi sesuatu yang salah?

"Apa sepatu saya yang tadi pagi masih ada pada Bapak?"

Melihat Jingga yang tampak mengharapkan jawaban ya membuat Krisna justru mengatakan sebaliknya. "Sudah saya buang."

Mengabaikan ekspresi dingin Krisna saat menjawabnya, Jingga pun tetap bertanya. "Di buang ke mana, Pak?"

"Tempat sampah."

"Tepatnya tempat sampah di mana, Pak?"

Krisna melotot mendapat pertanyaan terakhir Jingga. "Kamu pikir saya nggak ada pekerjaan sampai harus mengingat letak tempat sampah di jalanan?"

Bukannya takut, Jingga justru masih menatap Krisna tanpa kedip. Terlihat amarah di sorot matanya yang kini menyadari jika sikap manis Krisna tadi hanya topeng semata. Jika pada akhirnya membuang sepatu Jingga, kenapa harus membawanya dan tidak langsung melemparkannya kembali pada sang pemilik? Namun, Jingga sadar saat ini bukan waktu yang tepat untuk melampiaskan emosi.

"Oh, maaf. Saya tidak bermaksud begitu, Pak. Tapi, terima kasih atas jawabannya."

Krisna merasa permintaan maaf Jingga hanya basa basi. Sebab, ia bisa melihat gadis itu tengah berusaha menahan amarah karena sikapnya barusan. Akan tetapi, apa pedulinya? Siapa suruh gadis itu melempari kepalanya dengan sepatu? Butut pula.

Jingga lalu undur diri, tapi saat melihat Santi keluar dari ruang istirahat sembari membawa segelas besar coklat, tiba-tiba saja terlintas cara untuk menumpahkan emosinya tanpa harus pakai otot. Ia yang tadinya sudah bertolak belakang dengan Krisna kini berbalik, berjalan cepat menuju Krisna seolah hendak memanggil pria itu. Namun, Jingga justru menabrak Santi yang kebetulan berada dalam jarak cukup dekat dengan Krisna. Alhasil, mereka bertabrakan dan coklat milik Santi tadi sukses mengotori kemeja serta jas sang CEO. Beruntung minuman tersebut dingin, tapi tetap saja meninggalkan noda di setelan mahal milik Krisna.

Santi yang terperanjat segera meminta maaf dengan takut-takut. Akan tetapi, tatapan marah Krisna justru tertuju pada Jingga yang pura-pura membantu menyeka noda di bajunya. Ia tahu yang baru saja terjadi bukan sebuah ketidaksengajaan.

"Jangan sentuh saya!" hardik Krisna.

"Maaf, Pak. Saya hanya mencoba membantu." Jingga tetap pada yang ia lakukan sehingga Krisna segera mencekal tangan gadis itu dan menjauhkannya dari dadanya. Tindakan tersebut berhasil membuat Jingga merasa tidak nyaman, tetapi memilih untuk tak protes.

Cukup sudah, batin Krisna. Ia mencoba berbuat baik pada pegawainya yang kurang ajar itu, tapi Jingga justru semakin menjadi. Apa dia pikir Krisna tidak bisa bersikap tega? Atau kejadian tadi pagi belum membuatnya jera?

"Kalau kamu benar-benar ingin membantu, mulai besok tidak perlu datang lagi ke butik," ujar Krisna dingin.

"Maksud Bapak?" Mendadak Jingga takut dugaannya benar, dan ucapan Krisna selanjutnya berhasil membuatnya mematung.

"Kamu dipecat."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status