Share

CEO dan Pengangguran

"Duh, ini nggak ada diskon akhir pekan gitu? Atau beli dua gratis satu?" Jingga menghitung uang kembalian dari penjual di warmindo langganannya dengan cepat. Dua lembar uang dua ribuan dan satu koin lima ratusan. Totalnya empat ribu lima ratus rupiah.

"Itu udah aku korting buat gorengannya lima ratus rupiah," balas si penjual, seorang perempuan sebaya Jingga, tetapi sudah menikah dan memiliki dua orang anak. "Itu juga karena kamu pelanggan setia."

"Hadeh, nanggung amat diskonnya. Bikin hari tambah bete aja," keluh Jingga.

"Minyak goreng masih mahal, Ga. Lagian segitu juga kamu udah kenyang, kan. Kalau makan di restoran mana bisa. Lima belas ribu palingan dapat kerupuknya doang," celetuk seorang pria yang muncul kemudian. Dia adalah suami si pemilik warung. Sama seperti sang istri, pria itu juga sudah mengenal Jingga dengan baik.

Jingga bukan pemilih dalam hal makanan, kecuali untuk urusan harga. Dan, warung mi tempatnya berada sekarang adalah pilihan yang sangat cocok untuknya. Dengan uang kurang dari dua puluh ribu rupiah, ia bisa mengenyangkan perut dengan semangkok mi goreng instan beserta lauk dua potong gorengan. Murah meriah. Mereka juga menyediakan nasi dengan pilihan beberapa lauk lain yang tak kalah murah, sehingga usus Jingga tidak lantas keriting karena hanya mengonsumsi mi.

Namun, sama seperti penjual makanan lainnya, kenaikan harga bahan makanan, yang kali ini minyak, membuat pasangan suami istri pemilik warung itu harus ikut menaikkan harga. Memang tidak seberapa, tapi bagi Jingga menghemat satu rupiah saja adalah sebuah kebahagiaan.

"Timbang makan kerupuk aja nggak usah ke restoran kali. PPn-nya cuma bikin isi dompetku merintih."

Pasangan pemilik warung itu hanya tertawa kecil mendengar ucapan Jingga. Memaklumi sifat gadis itu, tapi tak berminat untuk menanggapi lebih jauh.

"Aku do'ain segera dapat kerjaan baru, Ga." Si istri berucap tatkala Jingga sibuk memasukkan uang kembalian tadi ke dompet. "Tapi, kalau gajinya gede, jangan pindah tempat makan, ya. Di sini aja."

"Beres," balas Jingga cepat. Ia lalu berpamitan dan bergegas meninggalkan warung tersebut. Saat keluar dari sana, langit sudah gelap. Melihat hal itu, Jingga mengembuskan napas panjang. Rasanya aneh berada di luar pada jam itu saat ia sedang tidak bekerja, mengingat Jingga tipikal orang yang malas pergi malam-malam, kecuali untuk urusan yang benar-benar penting. Jika sedang libur, ia lebih memilih berdiam di rumah dan menggambar sebanyak mungkin desain sepatu.

Jingga melihat jam di ponsel. Pukul delapan malam lebih. Biasanya ia baru keluar dari butik sekitar jam sepuluh dan hanya butuh waktu sekitar lima belas menit untuk berjalan pulang. Akan tetapi, semenjak keluar dari butik setelah jam makan siang tadi ia memilih untuk tidak langsung pulang. Jingga tidak ingin bercerita lebih dulu pada mamanya jika ia sudah dipecat. Sebab, ia berencana bilang saat kedua adiknya juga sudah ada di rumah.

Maka dari itu, setelah membeli sepasang sandal jepit sebagai pengganti sepatunya yang tinggal sebelah, Jingga hanya berkeliling tanpa tujuan. Menghabiskan waktunya dengan mengomeli sosok CEO Dahayu yang membuatnya jengkel setengah mati, dan berakhir seperti orang gila karena ia bahkan tidak punya lawan bicara.

Masa bodoh, pikir Jingga. Ia benar-benar tidak percaya Krisna yang tadinya bersikap ramah justru langsung memecatnya hanya karena noda cokelat. Kesalahan Jingga adalah ia memang melakukannya dengan sengaja, tapi apalah arti sebuah setelan untuk seorang CEO Dahayu? Krisna pasti bisa membeli lagi, lebih bagus dan mungkin lebih banyak. Ia hanya perlu menegur atau memberi sanksi, bukannya membuat Jingga kehilangan pekerjaan di hari ia mendapat predikat karyawan terbaik.

Namun, kalau dipikir-pikir lagi Jingga berhak marah. Krisna membawa sebelah sepatunya begitu saja setelah bersikap arogan dengan kekayaannya. Itupun Jingga sudah meminta maaf. Ia tidak menyangka jika Krisna ternyata pendendam. Kalau begitu setidaknya ia bisa merasa sedikit lega karena tak harus berurusan lagi dengan pria seperti itu.

Jalanan menuju rumah Jingga cukup ramai, tapi suasananya akan berbeda begitu ia mulai memasuki gang-gang kecil yang tersebar di daerah sekitar rumahnya. Gadis itu hafal semua rutenya, sehingga tidak pernah mengambil jalur yang sama setiap hari. Hitung-hitung jalan-jalan. Ia juga tidak pernah merasa takut mengenai tindak kejahatan, sebab Jingga bisa dibilang mengenal hampir semua warga di sana, tak terkecuali para preman-premannya. Kenal dalam arti yang baik tentunya.

"Woi, Ga. Tumben jam segini udah pulang?" tanya seorang pemuda kurus berikat kepala. Di sebelahnya berdiri pemuda seumuran dengan model rambut jabrik. Mereka adalah beberapa pemuda kampung yang mengenal Jingga. Bisa dibilang mereka adalah preman sana, meski sebenarnya hanya pennapilan keduanya saja yang mencerminkan hal tersebut. Aslinya dua pemuda itu hanya penikmat musik akustik malam alias pemain gitar dadakan yang sukarela menjadi penunggu pos ronda.

"Eh, kalian juga tumben jalan-jalan? Biasanya ngejogrok aja di pos sampai membatu," balas Jingga asal. "Bahan bakar abis?"

Paham jika yang dimaksud Jingga adalah makanan, keduanya pun mengangguk dan menunjukkan sebuah kantong kresek putih yang terlihat penuh.

"Iya, nih. Ini barusan balik dari warungnya Mpok Munah." Si rambut jabrik yang kini menjawab, menyebutkan warung penjual gorengan yang tak jauh dari sana. "Mau, Ga? Kamu kan doyan banget gorengan."

"Nggak deh, makasih. Baru aja tadi nge-mi sama lauk gorengan," tolak Jingga. Kalau perutnya belum terisi, ia jelas-jelas tidak akan membiarkan tempe mendoan Mpok Munah tidak mampir ke lambungnya.

"Ya udah, kebetulan. Jadinya jatah kita nggak berkurang," celetuk si kurus yang disambut tawa temannya dan Jingga. "Eh, tapi belum dijawab yang tadi. Kamu tumben jam segini udah pulang?"

"Udah nggak kerja," jawab Jingga singkat. Mereka bertiga lalu berjalan beriringan menuju arah yang sama. Kebetulan pos ronda terletak tidak jauh dari rumahnya. "Makanya kelayapan."

"Eh, padahal tadi pagi masih berangkat kerja, kan?" tanya si Jabrik bingung, sebab pagi tadi sempat melihat Jingga bersama Lembayung hendak berangkat.

"Iya. Pagi masih kerja, tapi siang udah nggak. Hebat, kan, aku."

Kedua pemuda itu sontak mengernyit mendengar ucapan Jingga. "Wong nggak kerja kok hebat? Aneh."

Jingga cekikikan melihat reaksi dua pemuda itu. "Ya, pokoknya hebat, lah. Soalnya yang mecat langsung CEO-nya."

"Wow, kok bisa gitu?"

"Tahu deh. CEO-nya baperan. Atau mungkin lagi PMS." Jingga menjawab asal yang disambut tawa dua pemuda teman seperjalanannya. Mereka sering kebetulan bertemu di jalan saat Jingga pulang kerja, sehingga bercengkrama sepanjang jalan bukan hal aneh bagi ketiganya.

"Pasti dia nyesel udah mecat kamu, Ga." Si jabrik kembali berkomentar.

"Aamiin." Jingga mengamini dengan lantang, padahal yang diucapkan sebagai harapan bukan pekerjaan baru, hal yang lebih dibutuhkan oleh Jingga saat ini. "Eh, tapi udah ah. Nggak usah bahas itu. Nanti orangnya keselek lagi pas minum gara-gata kita gibahin."

Tawa kembali terdengar, bertepatan dengan ketiganya berada di mulut gang. Di hadapan mereka terbentang jalan yang lebih lebar dari gang, kira-kira bisa dilewati satu mobil. Di seberang jalan tempat tujuan mereka sudah menanti.

Suasana jalan tersebut agak sepi. Ketiganya melongok ke seliling sebelum mulai melangkah menyebrangi jalan. Namun, baru selangkah, mereka tiba-tiba mematung. Di ujung jalan yang menuju ke jalan raya, tampak sebuah mobil BMW berhenti mendadak. Dan, sebelum ketiga orang tersebut menyadari apa yang terjadi, sesosok tubuh dilemparkan begitu saja dari dalam mobil tersebut ke jalan.

"Woi! Berhenti!" Spontan Jingga dan dua temannya berteriak lantang seraya berlari mendekat. Namun, mobil tersebut sudah melaju pergi sebelum mereka tiba dan melihat pengemudinya.

Dengan napas terengah-engah Jingga dan dua pemuda itu kini saling berpandangan. Bingung. Akan tetapi, tatapan ketiganya segera beralih pada tubuh yang tergeletak di depan mereka. Seorang laki-laki dengan wajah babak belur.

"Aduh, ini masih hidup apa udah jadi mayat, ya?" tanya si Kurus takut-takut. Ia memang berniat menolong, tetapi butuh keberanian lebih jika harus berurusan dengan mayat.

Si Jabrik yang masih menggenggam kresek berisi gorengan tiba-tiba menyenggol lengan Jingga. "Lihat deh, kali aja masih hidup."

Jingga seketika memelotot. Bisa-bisanya dua pemuda berpenampilan bak preman itu malah menyerahkan urusan semacam ini padanya.

"Kenapa bukan kamu aja? Kamu yang deket juga," tanya Jingga yang melihat jika posisi si Jabrik memang lebih dekat dengan tubuh tadi.

Menyadari hal tersebut, si Jabrik segera bergeser sehingga kini bertukar posisi dengan Jingga.

"Lihat, tanganku sibuk bawa ini, nih. Jangan sampai ini terkontaminasi." Kantong kresek berisi gorengan tadi langsung menjadi alasan.

"Sialan!" umpat Jingga yang merasa dua temannya itu penakut. Terpaksa ia memberanikan diri untuk melihat tubuh tadi. Sekadar memastikan orang itu masih hidup, sekaligus berharap mereka benar-benar tidak harus berurusan dengan mayat. Lagipula penjahat macam apa yang buang korban di jam segini? Dasar amatiran.

Perlahan Jingga menghampiri tubuh tersebut. Hal pertama yang gadis itu lihat adalah pakaiannya. Penampilan orang itu acak-acakan meski baju yang dipakai tampaknya mahal. Lalu, dengan sok berani gadis itu meraih tangan orang tersebut untuk memastikan nadinya masih berdenyut.

Namun, bertepatan dengan itu, Jingga akhirnya bisa melihat wajah orang tersebut. Dan, meski ia bisa merasakan denyut nadi, reaksi pertama Jingga justru berteriak seraya reflek melompat mundur.

"Eh, kenapa, Ga? Udah mati, ya?" Si Kurus dan si Jabrik mendadak merapatkan diri begitu melihat reaksi Jingga.

Namun, Jingga menggeleng. Gadis itu terduduk di aspal sembari berusaha menenangkan diri.

"Terus kenapa?" tanya dua penuda tadi bersamaan.

"Si orang baperan, yang lagi PMS."

"Heh?" Ucapan Jingga sontak membuat dua pemuda tadi keheranan. "Apaan, sih?"

Akan tetapi, rasa penasaran mereka segera terjawab begitu Jingga kembali bersuara. Kali ini dengan mantap.

"Orang itu CEO yang mecat aku tadi."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status