Jingga, Jingga, Jingga.
Krisna mengulang nama itu seraya berjalan cepat menuju pintu keluar. Meski awalnya tidak percaya dan merasa yang terjadi pada hatinya malam ini adalah kutukan dari sang mama, tak butuh waktu lama untuk pria itu menyadari jika dugaan konyolnya tidaklah penting.Memangnya kenapa kalau gadis yang berhasil membuat Krisna terpesona setelah sekian lama adalah Jingga, pegawainya? Gadis yang sebelumnya dengan sadar ia sebut jelek dan munafik. Kutukan, karma atau apa pun sebutannya, Krisna tak lagi peduli. Sebab, tidak setiap hari ia terpaku menatap seorang gadis dengan detak jantung yang seolah berhenti di awal lalu mendadak bertambah cepat hanya dengan melihatnya tersenyum.Karena itulah begitu acara utama tadi selesai, Krisna bergegas meninggalkan sang kakak untuk mencari Jingga. Ia harus bergerak cepat untuk mendekatinya, jika tidak ingin orang lain yang mendapat kesempatan itu. Mengingat penampilan cantik Jingga malam ini, bukan tidak m"Ga, ada yang pengin kenalan sama kamu, nih." Lina berbicara pada Jingga yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setahu gadis itu, Lina tadi masih sibuk melayani seorang pengunjung saat ia pergi ke toilet. Namun, tahu-tahu sekarang sudah ada di depan pintu kamar mandi. Padahal Jingga hanya sebentar di sana."Hah?" Respon Jingga lebih seperti orang tuli yang butuh pengulangan kata dari lawan bicara. Namun, ia tidak berhenti dan tetap berjalan sehingga Lina terpaksa mengikutinya."Ada yang pengin kenalan sama kamu," ulang Lina."Oh," balas Jingga yang masih belum sadar dengan hal yang disampaikan temannya. Ia masih sibuk membenahi seragamnya yang agak kusut setelah dari toilet tadi. Akan tetapi, beberapa detik kemudian gadis itu akhirnya tersadar. "Eh, kamu nggak salah orang, Lin?"Seingat Jingga ia tidak pernah tebar pesona pada siapa pun. Lagipula ia memang tidak punya waktu untuk melakukannya. Baginya mencari kekasih tidak lebih penting dari menc
"Aku cuma minta nomor teleponnya, Ras, bukan minta jatah warisanmu. Susah banget, sih?" Rengga melirik bosnya yang tampak ngotot berbicara dengan sang kakak di telepon. Sejak dari kantor tadi, ia menyadari jika sikap Krisna agak berbeda. Biasanya pria itu akan menyibukkan diri dengan laptop atau tabletnya jika mereka sedang perjalanan ke tempat yang agak jauh. Namun, sejak mobil mulai melaju meninggalkan bangunan kantor Dahayu, Krisna sudah tampak gelisah, bergumam sendiri dan uring-uringan tidak jelas. Sama sekali bukan tipikal Krisna yang Rengga kenal selama ini. Tadinya Rengga pikir bosnya itu sedang memikirkan masalah penting di perusahaan. Akan tetapi, jika memang benar begitu ia pasti sudah tahu. Rengga adalah asistennya, bukan? Selama terkait perusahaan, Rengga juga punya akses yang sama dengan Krisna, bahkan seringkali tahu lebih dulu agar bisa segera menyampaikannya pada sang bos. Apa
Hari ini sepertinya tidak sebaik kemarin-kemarin. Jika biasanya Jingga bisa mendapatkan minimal satu pembelian dan satu pelanggan baru, maka belum ada satu pun yang ia raih hari ini. Hanya ada seorang pelanggan lama yang belum bisa memberikan kepastian untuk membeli.Jingga mengembuskan napas panjang seraya berjalan menuju ruang istirahat. Meski kecewa, tidak sepantasnya ia mengeluh. Naik turun dalam hal apa pun itu sudah biasa. Lagipula ia baru satu hari ini merasakan hal tersebut, sedangkan teman-temannya seringkali bahkan tak mendapat satu pun pembeli. Jingga lebih patut untuk tetap bersyukur karena seridaknya ia masih punya pekerjaan tetap.Ingatan akan menu bekal yang tadi Jingga bawa akhirnya berhasil mengalihkan hal tersebut dari pikirannya. Hari ini gadis itu memasaknya sendiri. Omelet sayur, tumis bayam dan sambal yang lumayan pedas. Menu yang terbilang sederhana, tapi membayangkannya di saat perut lapar membuat makanan tersebut terasa enak berkali lipat, bahkan sebelum ia be
Terdengar ketukan di pintu kamarnya ketika Jingga sedang sibuk memotong kain untuk bahan sepatu pesanannya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Baik Lembayung atau Violet sedang tidak ada di rumah sekarang. Jadi sosok yang tengah berasa di depan pintu kamarnya pastilah Riani."Ga, Mama masuk, ya?" Benar saja, tak lama kemudian suara perempuan yang sudah dianggapnya seperti ibu sendiri itu pun terdengar."Iya, Ma. Nggak dikunci, kok. Masuk aja." Jingga menjawab sembari tetap sibuk dengan kegiatannya. Kain yang tengah dipegangnya itu adalah lace untuk melapisi permukaan sepatu, sebab begitulah permintaan kliennya kali ini. Teman Lembayung yang sudah menentukan pilihan dari dua desain yang Jingga tunjukkan. Jingga bahkan sudah memiliki cetakan kaki gadis itu, yang kini tergeletak di sampingnya, berbaur dengan bahan dan peralatan lain.Kamar tidur Jingga sejatinya tak luas, tapi karena tak memiliki ruang lain dan halaman rumah mereka juga mepet, maka terpaksa gadis
"Sampai di sini dulu meeting hari ini. Saya harap untuk pertemuan berikutnya semua aspek yang kita bahas tadi sudah siap." Krisna menutup meeting mingguannya dengan para manajer dan kepala departemen. "Terima kasih."Setelah memberi salam, para bawahan Krisna tersebut pun satu persatu meninggalkan ruangan, kecuali Rengga dan sang COO alias Saras, kakaknya sendiri. Krisna tahu pasti alasan Saras belum beranjak dari sana. Karena itu, ia membiarkan saja kakaknya itu dan berlagak tidak peduli dengan keberadaannya."Seingatku kamu nggak suka olahraga, deh, Kris," ujar Saras. Tatapan penasarannya tertuju pada kening Krisna yang membiru dan agak benjol. Hasil dari mencium tiang lampu jalan kemarin. "Terus itu benjol darimana asalnya?"Krisna tahu benjolan dan memar yang tak seberapa itu membuat penampilannya jadi tidak maksimal. Bayangkan saja seorang pria yang tampak menawan dengan setelan jas apik dan rambut keren, tapi wajahnya yang tampan harus terganggu deng
Hari ini Jingga pulang kerja dengan perasaan lebih baik dari kemarin. Tidak ada kiriman bunga, makanan atau benda lain yang selama ini menjadi sumber pertanyaan dan rasa ingin tahu teman-temannya. Walaupun ia hampir sepenuhnya yakin siapa sosok orang yang menjadi pengirim benda-benda itu, bukan berarti Jingga ingin membahasnya di tempat kerja, dengan rekan-rekan kerjanya pula. Maka dari itu, dengan absennya benda-benda tersebut, hidupnya terasa lebih tenang untuk hari ini. Ia harap, sih, untuk seterusnya.Fakta tersebut membuat Jingga keluar dari butik dengan senyum lebar di bibir. Masa bodoh dengan kecurigaannya pada Krisna dan asistennya. Hari ini ia tidak ingin merusak ketenangan yang didapatnya dengan berpikiran tentang CEO-nya yang labil itu. Membayangkan gorengan dan mi goreng instan di warmindo langganannya jauh lebih menyenangkan. Apalagi sudah beberapa hari ini ia tidak mampir ke sana.Bayangan makanan favoritnya selain masakan Riani tersebut membuat air l
"Halo, Amira," sapa Krisna pada Amira, keponakannya yang sedang asyik bermain boneka di ruang tamu rumah Saras. Seperti biasa, gadis cilik itu langsung berlari pergi dengan raut ketakutan setiap kali melihat Krisna. Boneka panda yang ia bawa tak berhasil membuat Amira mendekat pada omnya. "Astaga, sebenarnya apa sih yang diceritakan si Saras sama anaknya tentang aku?"Mengembuskan napas panjang, Krisna terpaksa membawa boneka panda tersebut bersamanya menuju ruang makan, arah yang dituju Amira. Pastilah kedua orangtuanya ada di sana, apalagi memang sudah mendekati waktunya makan siang. Biasanya Saras selalu memasak sendiri pada akhir pekan.Benar saja, di ruang makan yang menyatu dengan dapur tersebut tampak Saras sedang sibuk mengaduk-aduk sesuatu dalam panci di atas kompor. Terlalu sibuk hingga tidak menyadari kedatangan sang adik. Tarikan Amira pada bajunya pun tidak dianggapnya sebagai sinyal bahwa orang yang gadis kecil itu takuti ada di sana."Masak
"Eh, kamu nggak dapet kiriman bunga atau makanan lagi, Ga?" Dewi bertanya dengan suara nyaring saat Jingga dan teman-temannya berkumpul di ruang istirahat. Mereka baru saja hendak membuka kotak bekal masing-masing, saat rasa ingin tahu Dewi membuat perhatian semuanya teralihkan.Jingga berdecak sebal dalam hati. Kadang ia berharap teman-temannya lebih memilih makan siang dengan membeli makanan di luar, bukannya membawa bekal sendiri sehingga saat makan semuanya berkumpul di sana. Bukan karena ia tidak menyukai kebersamaan tersebut, tapi saat-saat seperti sekarang inilah yang Jingga benci. Momen di mana ada yang ingin menyimpan sendiri masalahnya, tapi orang lain justru dengan senangnya terus membahas hal tersebut di depan banyak orang."Mungkin dia bosan, habis Jingga nggak ngerespon apa-apa," celetuk Sinta."Mau ngerespon gimana, Sin? Orangnya aja nggak tahu yang mana." Lina ikut berkomentar."Lho, katanya Pak Krisna?" Sinta bertanya lagi.