"Sampai di sini dulu meeting hari ini. Saya harap untuk pertemuan berikutnya semua aspek yang kita bahas tadi sudah siap." Krisna menutup meeting mingguannya dengan para manajer dan kepala departemen. "Terima kasih."
Setelah memberi salam, para bawahan Krisna tersebut pun satu persatu meninggalkan ruangan, kecuali Rengga dan sang COO alias Saras, kakaknya sendiri. Krisna tahu pasti alasan Saras belum beranjak dari sana. Karena itu, ia membiarkan saja kakaknya itu dan berlagak tidak peduli dengan keberadaannya."Seingatku kamu nggak suka olahraga, deh, Kris," ujar Saras. Tatapan penasarannya tertuju pada kening Krisna yang membiru dan agak benjol. Hasil dari mencium tiang lampu jalan kemarin. "Terus itu benjol darimana asalnya?"Krisna tahu benjolan dan memar yang tak seberapa itu membuat penampilannya jadi tidak maksimal. Bayangkan saja seorang pria yang tampak menawan dengan setelan jas apik dan rambut keren, tapi wajahnya yang tampan harus terganggu dengHari ini Jingga pulang kerja dengan perasaan lebih baik dari kemarin. Tidak ada kiriman bunga, makanan atau benda lain yang selama ini menjadi sumber pertanyaan dan rasa ingin tahu teman-temannya. Walaupun ia hampir sepenuhnya yakin siapa sosok orang yang menjadi pengirim benda-benda itu, bukan berarti Jingga ingin membahasnya di tempat kerja, dengan rekan-rekan kerjanya pula. Maka dari itu, dengan absennya benda-benda tersebut, hidupnya terasa lebih tenang untuk hari ini. Ia harap, sih, untuk seterusnya.Fakta tersebut membuat Jingga keluar dari butik dengan senyum lebar di bibir. Masa bodoh dengan kecurigaannya pada Krisna dan asistennya. Hari ini ia tidak ingin merusak ketenangan yang didapatnya dengan berpikiran tentang CEO-nya yang labil itu. Membayangkan gorengan dan mi goreng instan di warmindo langganannya jauh lebih menyenangkan. Apalagi sudah beberapa hari ini ia tidak mampir ke sana.Bayangan makanan favoritnya selain masakan Riani tersebut membuat air l
"Halo, Amira," sapa Krisna pada Amira, keponakannya yang sedang asyik bermain boneka di ruang tamu rumah Saras. Seperti biasa, gadis cilik itu langsung berlari pergi dengan raut ketakutan setiap kali melihat Krisna. Boneka panda yang ia bawa tak berhasil membuat Amira mendekat pada omnya. "Astaga, sebenarnya apa sih yang diceritakan si Saras sama anaknya tentang aku?"Mengembuskan napas panjang, Krisna terpaksa membawa boneka panda tersebut bersamanya menuju ruang makan, arah yang dituju Amira. Pastilah kedua orangtuanya ada di sana, apalagi memang sudah mendekati waktunya makan siang. Biasanya Saras selalu memasak sendiri pada akhir pekan.Benar saja, di ruang makan yang menyatu dengan dapur tersebut tampak Saras sedang sibuk mengaduk-aduk sesuatu dalam panci di atas kompor. Terlalu sibuk hingga tidak menyadari kedatangan sang adik. Tarikan Amira pada bajunya pun tidak dianggapnya sebagai sinyal bahwa orang yang gadis kecil itu takuti ada di sana."Masak
"Eh, kamu nggak dapet kiriman bunga atau makanan lagi, Ga?" Dewi bertanya dengan suara nyaring saat Jingga dan teman-temannya berkumpul di ruang istirahat. Mereka baru saja hendak membuka kotak bekal masing-masing, saat rasa ingin tahu Dewi membuat perhatian semuanya teralihkan.Jingga berdecak sebal dalam hati. Kadang ia berharap teman-temannya lebih memilih makan siang dengan membeli makanan di luar, bukannya membawa bekal sendiri sehingga saat makan semuanya berkumpul di sana. Bukan karena ia tidak menyukai kebersamaan tersebut, tapi saat-saat seperti sekarang inilah yang Jingga benci. Momen di mana ada yang ingin menyimpan sendiri masalahnya, tapi orang lain justru dengan senangnya terus membahas hal tersebut di depan banyak orang."Mungkin dia bosan, habis Jingga nggak ngerespon apa-apa," celetuk Sinta."Mau ngerespon gimana, Sin? Orangnya aja nggak tahu yang mana." Lina ikut berkomentar."Lho, katanya Pak Krisna?" Sinta bertanya lagi.
Ratih tiba di kantor Krisna dengan harapan bisa makan siang bersama putra bungsunya itu. Namun, informasi yang disampaikan Mira, sekretaris Krisna mau tak mau membuatnya bertanya-tanya."Mohon maaf, Bu. Pak Krisna sudah keluar bersama Pak Rengga sejak sebelum waktu istirahat makan siang tadi""Apa mereka makan siang di luar?""Saya kurang tahu, Bu. Sepertinya begitu.""Jam berapa biasanya mereka kembali ke kantor?" Ratih bertanya lagi, berniat menunggu sang putra dan bertemu dengannya meski tak bisa makan siang bersama."Biasanya tidak lama, Bu. Sebelum waktu istirahat berakhir, Pak Krisna sudah kembali.""Oke, saya akan tunggu di ruangannya kalau begitu." Ucapan Ratih diangguki Mira sebagai jawaban ya. Lagipula gadis itu mana berani melarang sang bos besar.Begitu sudah ada di dalam ruangan Krisna, Ratih segera menempati sofa di salah satu sisi ruangan dan mengeluarkan ponsel dari tas. Dikirimnya sebuah pesan untuk Kris
“Memangnya kenapa?” Lembayung bertanya dengan nada datar pada Jingga. Mereka berdua sedang berada di kamar Jingga. Sang pemilik kamar tengah rebah di kasur setelah selesai menceritakan hal yang seharian ini dialaminya serta tentang Krisna. Sementara Lembayung duduk tenang di sampingnya sembari melihat-lihat beberapa sketsa sepatu yang baru dibuat sang kakak.“Dia tertarik padaku karena malam itu aku kelihatan cantik. Dia bahkan sampai nggak mengenaliku.” Jingga menjawab pertanyaan sang adik seraya menatap langit-langit kamarnya.“Nggak masalah, kan? Memang malam itu kamu kelihatan lebih cantik, kok. Wajar aja kalau dia tertarik.”“Tapi, itu berarti dia nggak suka padaku apa adanya, kan? Dia cuma mandang penampilan, sama seperti saat kami pertama bertemu dulu. Dia menghina dan meremehkanku salah satunya karena penampilanku yang menurutnya jelek.” Jingga selalu teringat pertemuan pertamanya dengan Krisna. Padahal kejadian itu sama sekali tidak berkesan.
Baju, oke. Wajah dan rambut, oke. Hadiah, oke.Krisna tersenyum puas setelah memastikan baik penampilan maupun benda yang harus dibawa telah siap. Lengkap. Untuk kesekian kali, Krisna bercermin pada kaca mobil, membenahi kerah kemeja yang sejatinya tidak bermasalah. Juga rambut gaya pompadour-nya yang masih tampak keren.Sembari mengeratkan kembali genggamannya pada buket mawar merah dan sebuah kotak kecil, Krisna lalu menegakkan badan. Bersiap menyambut gadis yang membuatnya tampil spesial malam ini. Penantiannya tak membutuhkan waktu lama, karena sejurus kemudian Jingga tampak bersama teman-temannya keluar dari gedung.Senyum Krisna seketika mengembang. Namun, hal yang sama tidak berlaku pada Jingga. Gadis itu sontak melotot alih-alih balas tersenyum begitu melihat kehadiran Krisna. Sementara teman-teman gadis itu justru senyum-senyum sembari menggodanya."Cie, ditungguin Pak Bos, tuh, Ga.""Buruan disamperin, gih. Udah ganteng pakai ba
Krisna menggeleng setiap kali teringat kejadian barusan. Terus mempertanyakan bagaimana bisa ia bertindak memalukan seperti itu di depan Jingga. Mau ditaruh mana mukanya sekarang."Pak Krisna." Panggilan Jingga memutus lamunan Krisna. Gadis itu terlihat khawatir. "Bapak beneran nggak papa? Nggak ada yang sakit? Kepalanya gitu?"Krisna memegangi kepalanya, kembali merasa malu atas ingatan jurus seruduk yang tadi ia keluarkan untuk menyerang si preman. Sejujurnya, Krisna memang tidak bisa berkelahi, tapi tindakannya tadi benar-benar tidak keren. Sepayah-payahnya ia memberi pukulan, itu pasti akan terlihat lebih baik daripada menyundulkan kepala ke perut preman."Oh, saya nggak papa, kok." Krisna akhirnya membalas. Kini ia dan Jingga sedang duduk di tepi jalan, tepatnya di pinggir trotoar tempat mereka tadi dihadang. Dua pria pemalak tadi sudah diamankan oleh si Jabrik dan kawan-kawannya yang kebetulan melintas dan melihat Jingga. Setelahnya hanya tersisa Jin
Rengga hanya bisa terheran sewaktu memasuki ruangan Krisna dan mendapati sang bos tengah senyum-senyum sembari menatap layar laptop. Sebenarnya tidak aneh karena bisa saja Krisna sedang menonton film komedi. Masalahnya ini masih jam kantor dan hal semacam itu bukan sesuatu yang wajar dilakukannya."Pak Krisna," tegur Rengga sewaktu sudah berada di depan sang bos. "Ada dokumen yang perlu Bapak tandatangani."Rengga menyerahkan map yang ia bawa, tapi Krisna masih fokus pada layar di hadapannya dan tak menoleh. "Taruh di situ saja. Nanti saya lihat," perintahnya."Baik, Pak." Sang asisten menurut lalu melakukan yang disuruh Krisna. Sayangnya, sang bos masih sibuk sendiri, bahkan kini tertawa. Mengetahui beberapa kebiasaan Krisna, Rengga hanya bisa mengernyit melihat keanehan tersebut tapi tak berniat bertanya. Dan, karena tak ada hal lain yang perlu ia sampaikan, pria berkacamata itu hendak undur diri.Awalnya Krisna mengangguk mengiakan, masih