“Juyan? Miya?” sahut sang bayi dengan suara kecil yang melengking.
Mendapat respon yang sangat menggemaskan, si wanita hamil sontak melepas tawa. “Apa kabar, Cayden?”
“Fine ...” jawab Pangeran Kecil sembari mengangguk hingga hampir membentur kamera.
Mendengar kemajuan bicara sang bayi, Julian otomatis mendesah. “Astaga, keponakanku sungguh pintar.”
Merasa dirinya dipuji, Cayden otomatis tertawa. Dengan kedua tangan memegang ponsel, ia tidak bisa menutupi deretan gigi mungil yang menambah kesan lucu pada dirinya.
“Di mana Mama dan Papa-mu, Pangeran Kecil?” tanya Mia sembari mengangkat alis. Ia bingung karena Gabriella tak kunjung mengambil alih ponsel dari sang bayi. Bukankah Cayden dilarang menatap layar yang menyala tanpa pengawasan demi menjaga kesehatan mata?
“Mama Papa piping,” jawab sang bayi seraya melihat ke arah lain.
Mendapat jawaban yang kurang jelas, Julian sontak bertatapan dengan istrinya. “Apa katan
“B-bukankah itu peramal yang dulu?” gumam si wanita hamil dengan napas tertahan. Matanya bergetar selagi kengerian melingkupi pikiran. Sadar bahwa sekujur tubuh Mia telah berubah tegang, Julian sontak memindahkan tangannya untuk menggosok lengan dingin sang istri. “Ya, dia memang peramal waktu itu. Tapi, kau tidak perlu khawatir. Kali ini, kita tidak usah menggubris omongannya. Ayo berjalan seolah menganggapnya tak ada.” Mendengar sugesti sang suami, Mia pun menelan ludah. Setelah menghirup napas dalam-dalam, ia mengangguk. “Baiklah,” desahnya sembari mengeratkan genggaman. Sedetik kemudian, pasangan itu lanjut melangkah. Keduanya sama-sama menghindar dari tatapan si peramal. Julian memandang ke arah samping, sedangkan Mia berpura-pura sibuk mengamati gerak kaki. Paham dengan apa yang sedang dilakukan oleh majikannya, Lena pun turut menyibukkan mata. “Siapa sebenarnya perempuan itu, Nyonya?” bisik si pelayan muda selagi mengatur ulang tas yang ditente
“Kenapa kau tidak mengajak Lena ke sini?” tanya Julian sembari menoleh ke arah wanita yang berjalan di sisinya. Dalam sekejap, Mia berhenti memperhatikan susunan mawar kuning dan putih di tangannya. Sembari menaikkan sudut bibir, ia membalas tatapan teduh sang suami. “Aku sedang membutuhkan privasi. Tanpa Lena, kita bisa berbincang lebih bebas dan menyampaikan apa saja kepada Papa,” ucap wanita itu, sukses menerbitkan rasa bangga dalam hati sang pria. “Kau memang istri yang sangat pengertian, Mia,” puji Julian sembari mengusap punggung si wanita hamil. Seraya melebarkan senyuman, Mia mengalungkan sebelah lengan ke pinggang sang pria dan menyandarkan kepala sejenak di pundak lebar suaminya itu. “Aku tahu, kau pasti malu jika Lena melihat air matamu.” Tak menduga sang istri dapat meledek seperti itu, tawa hambar spontan terlepas dari mulut Julian. “Kau berpikir aku akan menangis tersedu-sedu, hm?” Ditemani tawa kecil, Mia mengangguk. “Ya
“Tidak apa-apa. Kau masih dalam proses belajar. Suatu saat nanti, kau pasti akan menjadi sangat tegar,” bisik sang wanita, menanamkan sugesti. Sembari mengangguk, Julian memejamkan mata dan menghirup napas dalam. Aroma rambut Mia selalu berhasil menenangkan kegundahan hati. Namun, belum sempat pasangan itu mengendurkan dekapan, ponsel dalam saku sang pria tiba-tiba berdering. Merasa terusik, Julian sontak meringis. “Siapa yang menelepon di saat yang tidak tepat seperti ini?” gerutu sang CEO, membuat Mia mengulum tawa. Namun, begitu mata sang wanita menangkap nama yang muncul pada layar, keheranan sontak membebani alisnya. Keceriaan tidak lagi terukir di wajahnya. “Kenapa Alice menelepon di akhir pekan begini?” bisiknya tanpa berkedip. Setelah menggeleng samar, Julian menerima panggilan. “Ada apa, Alice?” tanya CEO itu di bawah kerutan alis. “Selamat pagi, Tuan. Maaf mengganggu waktu santai Anda,” sapa si sekretaris kedua dengan nada cemas. “Ad
“Siapa itu, Nyonya?” bisik Lena, penasaran dengan ponsel Mia yang baru saja berdering. “Gabriella,” sahut sang wanita sambil mengangkat alis. Seketika, si pelayan muda menyedot udara dari mulutnya. “Apakah mereka diam-diam sudah kembali?” desahnya penuh harap. Sembari menaikkan bahu singkat, Mia menerima panggilan. Ia tidak ingin terlalu berharap. “Ada apa, Gaby?” sapanya ramah. “Mia, apakah kau sedang di kantor?” tanya wanita dari seberang ponsel dengan nada ceria. “Ya. Kami baru saja kembali dari membeli makan siang. Jadi, kenapa kau menelepon di jam ini? Bukankah di sana sudah hampir tengah malam?” selidik si wanita berperut buncit sambil melirik ke arah pelayan yang menanti kabar darinya. Tiba-tiba saja, suara tawa Gabriella terdengar renyah. “Tengah malam? Di sini matahari sedang terik. Cayden bahkan senang masih sempat melihat bunga-bunga musim ini.” Dalam sekejap, helaan napas lega berembus dari mulut si wanita hamil. “T
“N-nyonya Evans?” desah wanita yang mendadak pucat. Keringat dingin mulai membutir di keningnya. “Apakah kau yakin bahwa kinerjamu bagus?” tanya Mia dengan nada menantang. Semua yang mendengar suara lantangnya spontan menelan ludah. Mereka belum pernah melihat Nona Sekretaris segarang itu. Bukankah Mia Sanders adalah wanita pendiam yang anggun? Apakah semenjak mengganti nama menjadi Mia Evans, wanita itu tertular kegalakan sang CEO? “T-tentu saja, Nyonya. Saya tidak pernah mendengar keluhan dari atasan ataupun mendapat teguran. Semua tugas selalu saya kerjakan tepat waktu dengan hasil yang memuaskan,” jawab wanita yang mendadak ciut. Dagunya sudah tidak menantang langit, sementara pundaknya turun terbebani kekhawatiran. Tanpa mengubah sorot mata tajamnya, Mia menggeser pandangan menuju karyawan yang berambut lebih panjang. “Apakah yang dia katakan benar? Belum pernah ada yang menegurnya?” Sambil meringis, wanita yang bergeser menjauhi rekannya
“Apa yang tadi kalian diskusikan, Julian? Kenapa wajah Alice masam begitu?” tanya Mia dengan senyum yang dipaksakan. Sang suami tidak boleh tahu bahwa ia sedang tidak nyaman dengan tekanan dalam perutnya. Mendapat pertanyaan semacam itu, Julian cepat-cepat mengalihkan tatapan dari tablet dan memasang tampang lugu. “Aku tidak memarahinya—hanya memberi saran untuk bekerja sedikit lebih teliti,” jawabnya datar. Sambil berjalan menuju meja sang suami, Mia menaikkan alis. “Bukankah Alice sudah banyak berkembang? Kerjanya jauh lebih cepat dan rapi.” “Ya, tapi masih belum cukup teliti. Masih ada berkas yang tidak dia susun sesuai dengan skala prioritas,” sahut sang CEO seraya beranjak dari kursi. Setelah mengitari meja, ia mendaratkan kecupan hangat di kening Mia. “Jadi, apa yang kau beli untuk siang ini?” Sembari menekan pinggang, si wanita hamil melirik ke samping. Tanpa aba-aba, Lena menunjukkan isi tentengan. “Kami membeli roti lapis,” ujar Mia s
“Bagaimana detak jantung janin?” tanya sang dokter dengan alis berkerut. “Masih aman, Dok.” Selang satu kedipan, wanita berpakaian hijau itu mempertemukan pandangan dengan wanita yang sudah sangat pucat. “Apakah Anda masih kuat, Nyonya?” Di sela desah yang tak beraturan, Mia mengangguk lemah. “Ya.” “Kalau begitu, mari kita coba sekali lagi. Kali ini, kerahkan seluruh tenaga Anda,” ujar sang dokter diiringi anggukan meyakinkan. “Anda pasti bisa.” Selagi si petugas medis kembali duduk di kursi, Julian membelai rambut sang istri yang telah basah oleh keringat. Mata pria yang juga berpakaian hijau itu telah terlapisi air mata. “Ayo, Mia. Aku tahu kau kuat. Putri Kecil sudah tidak sabar ingin bertemu kita.” Sedetik kemudian, Mia menjawab lewat gerak kepala. Ia harus menghemat energi untuk bisa mengeluarkan bayi yang terus menekan panggulnya. “Mulai atur napas lagi,” tutur sang dokter, mengeratkan kepalan tangan pasiennya. “Tarik nap
“Grace memiliki mata yang sangat indah, Julian,” desah Mia kagum. Sebelumnya, ia menduga bahwa sang bayi akan bermata gelap seperti dirinya. “Tunggulah sampai warnanya berubah menjadi hazel. Kau akan semakin terpukau,” gumam sang pria sambil tersenyum simpul. “Kau sedang memuji Putri Kecil atau dirimu sendiri?” selidik wanita yang kini menyipitkan mata. Setelah tertawa ringan, Julian kembali mengecup kepala istrinya. “Aku tidak mengatakan kalau Grace mewarisi mataku.” “Kau menyatakannya secara tersirat,” protes Mia sebelum mengembalikan fokus kepada putrinya. Selang satu tarikan napas panjang, lengkung bibir wanita itu kembali melebar. “Tapi aku senang Putri Kecil memiliki warna mata yang sama denganmu.” “Kenapa?” tanya sang pria sembari meninggikan alis. “Warna hazel selalu berhasil mencuri hatiku,” sahut Mia, sukses mengundang desah tawa suaminya. Tanpa mereka ketahui, tiga orang yang mengintip ikut tersenyum. Tak ingin mengg