Cita tersenyum kecil, ketika membaca sebuah pesan dari Mai. Wanita itu mengabarkan, ganti rugi dari keluarga Atmawijaya tahap kedua sudah ditransfer ke rekeningnya. Cita sengaja tidak datang ke bank, karena sudah tidak mau lagi bertemu dengan orang-orang dari keluarga Atmawijaya. Karena itulah, ia memberi kuasa sepenuhnya pada Mai, untuk mengurus hal tersebut.“Kenapa Papa setuju dengan rencana kak Kasih?” Cita memasukkan ponselnya ke tas ransel, sembari menghampiri Harry yang duduk santai di ruang keluarga. Pria itu sedang menonton berita sore, yang disiarkan oleh seorang presenter cantik. “Kenapa harus mas Arya yang handle Sagara Citra? Bukannya di sana masih ada orang yang kompeten? Tapi, kenapa harus mas Arya?”“Memang ada yang sangat kompeten, tapi semua orang di sana posisinya nggak akan bisa sebanding dengan pak Pras.”“Memang mas Arya sebanding?” tanyanya lalu duduk di samping Harry.Jika diingat lagi, Arya justru merasa “takut” jika berhadapan dengan Pras. Karena itu, Cita be
“Baru mau pulang?” Cita tersenyum ramah pada Rashi, ketika melihat gadis itu berada di lift yang akan ia masuki. Sebelum beranjak dari kubikelnya, Cita sempat melihat jam dinding di ruang redaksi yang menunjukkan pukul tujuh malam. “Lembur?”“Dikit.” Rashi mengangguk lelah.Sejak pembicaraan singkatnya dengan Cita tempo hari, hubungan mereka sudah jauh lebih baik. Meskipun, keduanya sama-sama belum memiliki waktu kosong, untuk sekadar pergi makan berdua pada jam kantor. Jadwal mereka selalu saja bentrok, sehingga belum bisa melakukan sesuatu yang pernah mereka rencanakan.“Oia, kamu besok sudah nggak kerja, ya?” lanjut Rashi setelah mengingat isi surat pengunduran diri Cita minggu lalu. “Persiapan buat nikah.”“Iya,” jawab Cita setelah masuk ke dalam lift dan berdiri di samping Rashi. “Tapi persiapannya nggak ribet, karena aku nggak ngundang orang banyak. Nggak nyampe 50 sepertinya. Itu kalau nggak ditambahin lagi sama papa atau mami.”“Sekali lagi selamat, ya,” ucap Rashi tulus dan s
“Kamu datang ke sini mau pamer?” Nando berdecih. Menarik kasar kursi yang berseberangan dengan Arya, lalu menjatuhkan tubuhnya di sana. “Kamu menang, Ar. Me-nang.”Arya menggaruk kepala. Tidak menduga, jika reaksi Nando akan seperti ini.“Mas—”“Waktuku nggak banyak,” sela Nando sambil menggeleng dan mengangkat telapak tangannya, pada pelayan yang sigap menghampirinya. Meskipun kedatangan Arya tepat di jam makan siang, tetapi Nando tidak tertarik makan satu meja dengan pria itu. “Cepat bicara.”“Kenapa kamu emosi, Mas?” tanya Arya bingung. “Bukan salahku kalau Cita lebih memilih balik sama aku, daripada sama kamu.”“Jangan sombong.”“Aku ke sini datang baik-baik,” balas Arya berusaha bersabar. “Aku mau ngajak kamu makan siang dan bicara.”“Nggak ada yang perlu kita bicarakan.”“Mas, jangan seperti anak kecil.”Nando menarik napas panjang. Arya mungkin benar, sikap Nando kali ini agak kekanakan. “Bicaralah, tapi aku nggak akan makan siang denganmu.”“Aku ada janji sama pak Pras jam satu
“Selamat.”Nando mengulurkan tangan pada Cita dengan senyum kecil yang harus ia tunjukkan. Meskipun kembali terluka, tetapi Nando tidak mampu berbuat apa-apa.“Makasih ... sudah datang, Mas,” balas Cita menyambut uluran tangan Nando dengan canggung, tetapi tetap mengulas senyum. Bagaimanapun juga, Nando adalah pria pertama yang bersemayam di hati Cita dan tetap memiliki satu tempat khusus di dalam sana. Awalnya, Cita tidak menduga Nando akan memenuhi undangan pernikahannya. Namun, pria itu terlihat memasuki ruang resepsi, setelah Cita dan Arya selesai menandatangani berkas pernikahan.Nando masih bisa tersenyum dan mengangguk tanpa kata saat membalas perkataan Cita. Setelah jabat tangan mereka terlepas, giliran Nando menyalami Arya dan kembali berucap kata yang sama.“Selamat,” kata Nando sekali lagi.“Makasih, Mas.” Arya menyambut uluran tangan Nando dan dengan segera memeluk pria itu. “Aku tunggu undanganmu.”Nando tertawa singkat seraya mengurai pelukan Arya. Namun, ia hanya memb
“Rinai?” gumam Cita setelah mengambil ponsel Arya yang berdering di nakas. Untuk apa gadis itu menelepon Arya sepagi ini?Atau, jangan-jangan Rinai memang sering menelepon Arya?Kejadian di masa lalu bersama Almira, tiba-tiba saja terlintas di kepala Cita. Getirnya luka yang pernah Cita rasakan, kembali menyeruak karena ingatan itu datang dengan rasa sakit yang sudah mulai Cita tepis.“Mas, Rinai nelpon.” Cita mengulurkan ponsel Arya, ketika pria itu baru keluar dari kamar mandi. Bertepatan dengan itu, dering ponsel Arya pun terhenti.“Rinai?” Arya menghabiskan jarak, lalu mengambil alih ponselnya dari Cita. Membuka layar, lalu melihat history panggilannya. Kemudian, ia memperlihatkan daftar nama yang ada di sana pada Cita. “Dia memang masih suka nelpon, tapi nggak pernah aku angkat karena kami sudah nggak ada kontrak kerja sama lagi.”Kali ini, Arya mencoba untuk lebih terbuka pada Cita. Tidak ada lagi yang ia sembunyikan, agar pernikahannya kali ini tidak berakhir seperti dahulu kal
“Papa ada ngomong, kalau rumah opa mau dikasih ke kamu?”Cita mengangguk ragu setelah menelan makanannya. Ia khawatir, Kasih menemuinya pagi ini karena ingin mengutarakan protes pada Cita. Mungkinkah Kasih tidak terima, karena Harry memberi rumah mewah dengan tanah yang luas itu pada Cita?“Papa baru bilang tadi malam.”“Apa papa juga ngomong tentang saham perusahaan?” tanya Kasih lagi.“Nggak ada.” Cita menggeleng semakin tidak nyaman. “Masalah rumah, kalau Kak Kasih mau ambil, ambil aja. Aku nggak papa.”Dahi Kasih mengerut melihat sikap Cita. Sepertinya, ia mengerti ke mana arah pemikiran adiknya itu. Namun, baru saja Kasih membuka mulut, Awan sudah lebih dulu menyerobotnya.“Kasih nggak pernah mempermasalahkan itu semua,” ucap Awan sambil menyuapkan sepotong semangka pada Kasih. “Kasih cuma mau bilang, dalam waktu dekat papa akan merombak surat wasiatnya.”“Surat wasiat?” Kenapa perasaan Cita mendadak tidak nyaman. “Kenapa, papa bikin surat wasiat? Memangnya kapan papa ngomong itu
“Aku mau tidur. Cuma tidur, pokoknya tidur.”Tanpa membuka jaket, Cita merebahkan tubuh di tempat tidur. Rasa lelah itu semakin terasa, setelah mereka sampai di vila yang disewa Arya untuk menghabiskan bulan madu mereka.“Iya, iya.”Arya tidak membantah. Istrinya itu masih saja ngambek, karena rencana tidur siangnya batal gara-gara perihal pijat-memijat. Bahkan, mereka tidak sempat pergi menemui Leon, untuk mengambil travel bag yang berisi sebagian kado pernikahan mereka.“Malam ini kita cuma tidur,” sambung Arya ikut merebahkan diri di samping Cita. Namun, beberapa saat kemudian ia bangkit. Melepas jaket, lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sambil kembali berbaring, Arya melempar jaketnya dengan asal. “Aku nggak akan ganggu.”Melihat Arya tengah membuka layar ponsel, Cita mendekat. Merapatkan diri, lalu menjadikan sang suami sebagai guling. Bukan tanpa alasan Cita melakukan hal tersebut, karena ia ingin melihat apa yang sedang dilakukan Arya dengan ponselnya.Ternyata, rasa curiga
“Mas, di sekitar perumahan mama, ada nggak rumah yang dijual? Atau ruko kosong di deket-deket situ?”“Nggak ngerti,” jawab Arya sambil terus bermain game di ponselnya. “Aku nggak pernah merhatiin.”Cita yang berbaring memeluk Arya, sedang memikirkan lokasi rumah yang mungkin akan dibelinya. Memang tidak sekarang, karena Arya sudah mengontrak sebuah rumah untuk mereka tinggali selama satu tahun ke depan. Namun, Cita mulai memikirkan hal tersebut dan ingin mencari lokasi yang dekat dengan kantor Arya. Kalau bisa, lokasinya juga tidak jauh dari kediaman Arkatama karena Cita tidak memiliki siapa-siapa di Surabaya kecuali keluarga sang suami.“Nanti kalau pulang ke Surabaya, coba dilihat-lihat, Mas,” ujar Cita sambil memandang televisi yang sejak tadi terus menyala. Mereka masih berada di sofa ruang tamu dan berada dalam selimut yang sama sejak menyelesaikan sarapan pagi. Tidak hanya menyelesaikan sarapan pagi, tetapi juga sudah menyelesaikan kegiatan panas sebagai pengantin baru.“Mau nga