“Papa ada ngomong, kalau rumah opa mau dikasih ke kamu?”Cita mengangguk ragu setelah menelan makanannya. Ia khawatir, Kasih menemuinya pagi ini karena ingin mengutarakan protes pada Cita. Mungkinkah Kasih tidak terima, karena Harry memberi rumah mewah dengan tanah yang luas itu pada Cita?“Papa baru bilang tadi malam.”“Apa papa juga ngomong tentang saham perusahaan?” tanya Kasih lagi.“Nggak ada.” Cita menggeleng semakin tidak nyaman. “Masalah rumah, kalau Kak Kasih mau ambil, ambil aja. Aku nggak papa.”Dahi Kasih mengerut melihat sikap Cita. Sepertinya, ia mengerti ke mana arah pemikiran adiknya itu. Namun, baru saja Kasih membuka mulut, Awan sudah lebih dulu menyerobotnya.“Kasih nggak pernah mempermasalahkan itu semua,” ucap Awan sambil menyuapkan sepotong semangka pada Kasih. “Kasih cuma mau bilang, dalam waktu dekat papa akan merombak surat wasiatnya.”“Surat wasiat?” Kenapa perasaan Cita mendadak tidak nyaman. “Kenapa, papa bikin surat wasiat? Memangnya kapan papa ngomong itu
“Aku mau tidur. Cuma tidur, pokoknya tidur.”Tanpa membuka jaket, Cita merebahkan tubuh di tempat tidur. Rasa lelah itu semakin terasa, setelah mereka sampai di vila yang disewa Arya untuk menghabiskan bulan madu mereka.“Iya, iya.”Arya tidak membantah. Istrinya itu masih saja ngambek, karena rencana tidur siangnya batal gara-gara perihal pijat-memijat. Bahkan, mereka tidak sempat pergi menemui Leon, untuk mengambil travel bag yang berisi sebagian kado pernikahan mereka.“Malam ini kita cuma tidur,” sambung Arya ikut merebahkan diri di samping Cita. Namun, beberapa saat kemudian ia bangkit. Melepas jaket, lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sambil kembali berbaring, Arya melempar jaketnya dengan asal. “Aku nggak akan ganggu.”Melihat Arya tengah membuka layar ponsel, Cita mendekat. Merapatkan diri, lalu menjadikan sang suami sebagai guling. Bukan tanpa alasan Cita melakukan hal tersebut, karena ia ingin melihat apa yang sedang dilakukan Arya dengan ponselnya.Ternyata, rasa curiga
“Mas, di sekitar perumahan mama, ada nggak rumah yang dijual? Atau ruko kosong di deket-deket situ?”“Nggak ngerti,” jawab Arya sambil terus bermain game di ponselnya. “Aku nggak pernah merhatiin.”Cita yang berbaring memeluk Arya, sedang memikirkan lokasi rumah yang mungkin akan dibelinya. Memang tidak sekarang, karena Arya sudah mengontrak sebuah rumah untuk mereka tinggali selama satu tahun ke depan. Namun, Cita mulai memikirkan hal tersebut dan ingin mencari lokasi yang dekat dengan kantor Arya. Kalau bisa, lokasinya juga tidak jauh dari kediaman Arkatama karena Cita tidak memiliki siapa-siapa di Surabaya kecuali keluarga sang suami.“Nanti kalau pulang ke Surabaya, coba dilihat-lihat, Mas,” ujar Cita sambil memandang televisi yang sejak tadi terus menyala. Mereka masih berada di sofa ruang tamu dan berada dalam selimut yang sama sejak menyelesaikan sarapan pagi. Tidak hanya menyelesaikan sarapan pagi, tetapi juga sudah menyelesaikan kegiatan panas sebagai pengantin baru.“Mau nga
“Bulan madu makan mi instan.” Arya geleng-geleng menatap cup mi instan miliknya di meja makan. “Harusnya—”“Aku nggak mood keluar dan pesan makan,” sela Cita lalu meniup juntaian mi yang baru diangkatnya dari cup. Hatinya masih saja terluka, karena Almira menghubungi Arya siang tadi. Namun, Cita sudah tidak mau lagi membicarakan wanita itu atau mengungkitnya. “Lagian sayang, sudah disediain sama yang ngurus vila, tapi nggak dimakan-makan.”Dari percakapan yang Cita dengar di telepon siang tadi, sangat terlihat jika Almira memang memiliki perasaan pada Arya. Namun, pada akhirnya perasaan itu tidak berbalas karena Arya masih mencintai Cita. Bahkan, Almira sampai memberikan waktu pada Arya, dengan harapan pria itu akan membalas perasaannya.“Kalau mama tahu, pasti aku kena omel.” Arya belum berniat memakan mi instannya karena masih terlalu panas. Ia hanya mengaduk-aduknya dan mengangkat minya sesekali untuk menghilangkan uap panasnya.Sementara untuk perihal Almira, Arya tidak berani men
“Kalian ...” Arya menunjuk Duta dan Leoni yang berjalan berdampingan memasuki ruang keluarga. “Sejak kapan? Kenapa aku nggak tahu apa-apa?”“Apanya yang sejak kapan?” sambar Leoni lalu mempersilakan Duta duduk di salah satu sofa di ruang tersebut.“Pacaran!” Arya berdecih dan segera menarik Duta agar duduk di sebelahnya di sofa panjang. “Mas, aku sering nginap di rumahmu, tapi kamu nggak pernah bilang kalau pacaran sama si ikan lele ini!”“Mas Arya!” Leoni menghampiri Arya, lalu memukul lengan sang kakak hingga berkali-kali.Sambil duduk di sofa tunggal yang berjarak dengan Arya, Cita menutup mulut guna menahan tawa. Ternyata, kakak dan adik itu tidak seakur seperti yang biasa terlihat.“Sakit, Le, sakit!” seru Arya tidak membalas dan hanya meringis nyeri dengan pukulan Leoni.“Kamu itu! Bikin malu aja!” Leoni menghempas tubuh di samping Arya. Namun, sebelum itu ia menginjak keras kaki sang kakak karena masih merasa kesal.Sementara Duta, hanya bisa terkekeh kecil melihat pertengkaran
Leoni berbalik ketika mobil Leon yang dibawa Duta sudah berlalu dari rumah. Saat mulai berjalan menuju teras, tatapannya tertuju malas pada Arya yang berdiri di teras sambil bertolak pinggang. Gayanya sudah seperti orang tua, yang tengah mengawasi anak perempuan yang sedang bersama kekasihnya.“Apa lagi?” ujar Leoni juga bertolak pinggang dan tidak mau kalah dengan Arya. “Kamu nggak setuju aku nikah sama mas Duta?”“Kapan aku bilang nggak setuju.” Arya mundur satu langkah, ketika melihat Leoni bersikap garang padanya. “Aku cuma ...” Dengan cepat Arya menangkup lengan Leoni ketika gadis itu melewatinya. “Kamu serius nggak ada pacaran sama mas Dut? Masa’ tahu-tahu nikah gitu aja? Kalian backstreet, ya? Ngakulah, Le.”“Nggak.” Leoni melotot pada Arya sembari menginjak kaki kiri pria itu. “Kami nggak pacaran.”“Aduduh!” Arya melepas tangannya lalu menjaga jarak. Namun, ia tidak membiarkan Leoni pergi begitu saja dan kembali menghalangi langkah sang adik. “Terus, kamu langsung bilang iya,
“Apa aku harus belajar masak?” gumam Cita sambil menatap telur yang baru dipecahnya di atas wajan anti lengket.Libur bulan madu mereka telah selesai dan sudah waktunya kembali pada kehidupan nyata. Mau tidak mau, kali ini Cita benar-benar menjalankan peran sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga pada umumnya. Tidak ada asisten rumah tangga ataupun sang mami yang menyiapkan sarapan seperti biasanya. Karena itulah, Cita agak terbebani dengan tugas barunya sebagai istri.“Kamu nggak bisa masak sama sekali?” Arya baru ingat, jika Cita selama ini hidup menempel pada Sandra.“Bisa, tuh.” Bibir bawah Cita mencebik ke arah wajan. “Aku bisa goreng telur, masak air, masak mi instan. Terus ... bikin makanan yang dimakan papa.”Arya menghampiri Cita sambil menghela samar. Ia mengambil alih spatula dari tangan sang istri, lalu membalik telurnya. Kalau hanya menggoreng telur, masak air dan mi instan, Arya juga bisa melakukannya.“Ahh ... makanan western ala-ala.” Sempat tinggal bersama keluarga
“Rumahnya nggak banyak berubah,” ujar Cita setelah melihat semua sudut rumah yang pernah ditempatinya dahulu kala.Banyak kenangan manis sekaligus pilu, ketika mengingat kondisinya pasca keluar dari rumah sakit. Lumpuh, terluka, tidak percaya diri, dan masih banyak hal lain yang tersimpan rapi di ingatan. Di antara semua luka itu, Cita juga masih mengingat banyak hal manis yang dilakukannya bersama Arya. Di masa-masa terpuruknya dahulu kala, pria itulah yang selalu berada di samping Cita dan tidak lelah menyemangatinya.Jika dipikir lagi, pada dasarnya Arya adalah pria yang baik. Bahkan terlalu baik. Mungkin karena itulah, Arya bisa berempati pada Almira sehingga sempat melupakan perannya sebagai seorang suami kala itu.“Memang nggak ada yang berubah,” ujar Arya memperjelas. “Cuma diisi perabotan kantor sama yang penting-penting. Sisanya masih sama untuk menghemat pengeluaran. Kalau furniture lama, yang nggak dipake di jual dan yang masih bisa dipake di taruh di atas.”Cita mendekat k