Ketika aku terbangun di pagi hari, mataku langsung menangkap soosk David yang sedang duduk ditemani oleh komputer jinjingnya. Sesekali ia menyesap teh, uap hangatnya dapat kulihat dari tempat tidurku.Aku berdehem pelan untuk menyadarkan David bahwa aku sudah bangun. Pas sekali, setelah aku berdehem David memandangku dengan senyumannya.“Kamu sudah bangun? Bagaimana, apa perutmu sakit sekarang?” tanya David dengan suara seraknya, nampak seksi sekali di mataku.Dengan memakai baju berbahan kain satin berwarna cokelat cream, sedang jakun yang naik turun ketika tengah meneguk teh panasnya. Aku meneguk ludahku susah payah.“Ah, i-iya s-sepetinya perutku t-terasa sakit.” Ah, sial sekali mengapa aku harus terbata-bata sekarang?“Tentu saja perutmu akan sakit, kamu sangat mabuk tadi malam.” Mendengar perkataannya, aku mengangguk kaku, dalam hati aku mengiyakan pernyataannya tadi.David berjalan mendekatiku, belum sempat ia duduk di ranjang, aku segera menjauh lalu pergi ke kamar mandi. Perut
Perkataan David membuatku tak bisa berkata-kata, walau begitu aku tetap tersenyum. Seolah aku menyukai perkataan yang keluar dari mulutnya.“Jangan bercanda terlalu berlebihan!” ujarku pelan. Pria yang di seberang sana terkikik geli, ia kembali berkata, “Siapa yang bercanda, aku serius!”Selama tiga menit, obrolan tersebut menjadi hening. Aku diam, begitu pula David.Pria di seberang sana berdehem pelan, itu membuatku sadar jika aku sudah diam terlalu lama. “Ah, iya. David aku dipanggil Joana. Sampai nanti!”Cepat-cepat aku mengakhiri panggilan itu.Tanganku terangkat menuju dada sebelah kiri, aku dapat merasakan dengan sangat jelas jantungku tengah berdebar. Aku menggelengkan kepalaku berusaha menghapus apa yang sedang kupikirkan sekarang.“Apa yang aku pikirkan? Aku tidak boleh seperti ini!”Tatapanku masih terarah pada ponsel yang masih menyala, aku melihat tampilan ruang obrolan itu dan mendapati David mengirimiku pesan singkat di sana.“Aku sudah memesan tiket untuk berlibur. Mau
“Kamu ingin makan sesuatu?” David berkata lembut, tangan pemuda itu memegang ujung rambutku, tatapannya begitu menggoda.Aku mengangguk. “Boleh.”“Aku sudah reservasi, tempatnya bagus.”Aku mengangguk antusias. “Wah, kamu sudah menyiapkannya dengan sangat baik, David!”David terbahak akan candaanku. Setelah bersiap-siap, kami berangkat menuju tempat yang dituju.“Di sini terkenal daging sapinya yang enak. Cobalah!” David menyodorkan satu potong daging sapi yang sudah pria itu siapkan. Aku menerimanya dengan senyuman tipis.“Kamu benar, dagingnya sangat enak!” aku membenarkan ucapannya. Daging yang sedang aku makan benar-benar terasa lezat. Kualitas daging mahal memang berbeda.Wajahku menghangat ketika David kembali menyuapiku, aku menahan diri untuk tidak berteriak senang di sini. “Makan yang banyak, Alice.” Katanya pelan. Matanya memandangku dengan intens.Aku tertawa mencoba mengalihkan perhatiannya, jika tidak aku tidak tahu lagi harus apa. Jantungku berdebar setiap kali berdekata
Aku berniat untuk melupakan segalanya, baik itu perasaanku pada David maupun perasaan bersalahku.Setelah pulang bekerja, aku berniat untuk datang ke makam ayahku. Rasanya sudah sangat lama aku tidak menemui ayahku. Aku jadi sangat merindukannya.“Ayah, aku harap ayah bahagia di sana. Aku, Javin, dan Joana sangat merindukan ayah.” Aku menunduk, tubuhku bergetar. Aku terisak, tanganku segera menghapus cairan bening itu dari wajahku.“Ayah, aku sangat merindukan ibu. Aku sudah berusaha untuk mencari keberadaan ibu, tapi aku tidak bisa menemukannya. Ayah maafkan aku.”Saat aku berjalan menuju mobil yang terparkir, tanpa sadar mataku menatap seseorang yang sedang berjalan sambil menunduk. Sesaat aku berpikir jika itu adalah ibuku, aku mendekatinya untuk meyakinkan hatiku.“Permisi?” ujarku pelan.Saat wanita itu memperlihatkan wajahnya, aku tahu wanita itu bukanlah ibuku. Aku mengangguk tak enak hati, “Maafkan aku, kupikir Anda adalah wanita yang kukenal.”Kakiku melangkah menjauhinya, ak
Ketika aku terbaring di atas ranjang, bayangan tentang suara itu menghantuiku. Tubuhku bergetar, walau sudah lama tidak mendengar suara itu, tapi aku cukup yakin jika suara itu adalah suara ibuku.Walau sudah tengah malam, aku tidak bisa terpejam tidur. Aku masih saja sadar dan enggan untuk tidur dengan pulas.Aku mendengus kesal, aku memutuskan untuk keluar kamar untuk sekadar minum air dingin.Aku melangkah pelan, aku tidak ingin menggangguk adikku yang sedang terlelap. Saat aku hendak masuk ke kamarku, samar-samar aku mendengar suara Javin.Aku berjalan mendekat berniat untuk mendengar perkataan itu lebih jelas. Aku menutup mulutku, merasa senang karena Javin tengah bertelpon dengan seorang gadis.“Tidurlah, jangan begadang.” Aku terkikik geli begitu Javin mengucapkan kalimat itu.“Aku akan menemanimu sampai tidur, jadi jangan takut.”Aku jadi membayangkan siapa gadis yang Javin sukai. Aku penasaran.Aku menggeleng, memilih untuk merahasiakan ini dan berjalan menuju kamarku. Dalam
Aku masih memikirkan perkataan mama Adam. Aku tidak tahu mengapa mama Adam berpikiran seperti itu padaku.Sekali pun, aku tidak pernah memikirkan untuk menjadi pasangan Adam. Bagiku, pria itu adalah pria yang sangat baik. Aku … tidak pernah memandang Adam sebagai lelaki.Aku meneguk minuman yang ada di hadapanku. Mataku terpejam menikmati cairan itu yang mengalir di tenggorokan.Mataku terbuka ketika seseorang mengucapkan namaku. “Alice ….”Aku mendongak lalu mengangguk pelan. “Hai!” ujarku dengan wajah yang ceria.Orang itu mengangguk dengan senyuman merekah. Ia duduk di hadapanku, tangannya langsung mengambil makanan ringan yang menjadi cemilanku malam ini.“Ada apa? Wajahmu nampak sedih. Ada yang mengganggumu?” tanyanya penasaran.Aku menggeleng, memilih enggan untuk bercerita. “Tidak ada, aku hanya ingin minum saja.”“Hei, ayolah. Ceritakan saja padaku, jangan dipendam sendiri.” Katanya sekali lagi sembari mencomot makanan ringan milikku.Aku menghembuskan napas lalu menatapnya. “
Aku menengadah menatap langit yang mulai kelabu. Rintik air hujan jatuh ke bumi, tanah dan pepohonan mulai basah olehnya.Embusan napas berat keluar dari mulutku, “Huh.”Aku berjalan menuju ruanganku, pekerjaan sudah menumpuk lantaran kemarin aku sempat cuti sesaat karena ada urusan. Melihat pekerjaan yang menumpuk, aku jadi tersenyum kecut.“Semangat bekerja, Alice!” teriakku pada diriku sendiri.Aku mengangkat kedua tanganku untuk mengikat rambut. Mataku menajdi fokus memandang layar monitor, tidak peduli pada kegiatan orang-orang di sekelilingku.“Alice!” teriakkan kencang itu membuatku terperanjat kaget.Aku menoleh menatap sumber suara. “Ada apa?” tanyaku dengan suara pelan.Adam berjalan mendatangi mejaku, ia tersunggut-sunggut. “Alice, tolong bantu aku.”Aku menatapnya mencoba memahaminya. “Ada apa, Adam? Apa yang terjadi denganmu?”Ia menarik lenganku. “Kita harus berbicara, aku mohon.”Aku mengangguk setuju. “Baiklah, ayo.”Ketika berada di atap gedung, cekalan pada lenganku
Ucapan David itu masih membekas diingatanku. Aku tak bisa menghilangkan bayangan dia memintaku untuk menikah dengan adiknya.Aku tidak bisa menyetujuinya, aku tidak menyukai Adam sebagai seorang lelaki. Aku hanya memandangnya sebagai seorang teman. Tidak lebih.Dan pada akhirnya, setelah pulang bekerja cepat-cepat aku pergi meninggalkan gedung. Aku tidak ingin baik Adam ataupun David mencegatku nantinya.Kepalaku terasa pening memikirkan itu. Tanganku terkepal, sekali lagi aku menegak minuman keras hingga habis tak bersisa.Aku menenggelamkan kepalaku pada lipatan tangan yang berada di atas meja. Tanpa sadar aku berkata, “Mengapa orang memintaku untuk menikah? Aku tidak menyukai pria itu dan tidak memiliki keinginan untuk menikah.”“Aku tidak ingin menikah!”Aku kembali menuangkan cairan di dalam botol dan menegukknya hingga habis dalam satu kali tegukan. Pandanganku mulai memburam, samar-samar aku melihat ada seseorang yang berjalan mendekatiku.“Hai, mau bermain denganku?” suara pri