“Nicha, karena aku sudah punya tanggungan sekarang, jadi aku tidak boleh membiarkan kulkas kosong, makanya aku akan memberikanmu uang untuk keperluan sehari-hari.” Laki-laki dengan kaos orange itu mengeluarkan dompetnya.Nicha dapat melihat dompet yang cukup tebal dengan isi uang dan beberapa kartu kredit didalamnya. Mungkin ekspektasinya terlalu tinggi ketika ia malah membayangkan jika setengah uang tersebut akan diberikan padanya.“Ini untuk belanja bahan makanan hari ini.” Rangga memberikan Nicha uang seratus ribu rupiah.Nicha tentu keberatan, ia mulai mengemukakan pendapatnya. “Ini hanya untuk hari ini?” tanyanya yang langsung diangguki Rangga.“Bagaimana jika berikan aku uang untuk seminggu, maksudku kita harus mengisi kulkas itu sampai penuh agar aku tidak usah setiap hari keluar rumah untuk belanja di pasar.”Nicha berpikir akan lebih baik begitu, ia tidak akan lelah dan juga repot.“Sayang, apa sih susahnya ke pasar, lagian itu kan tugasmu.” Rangga tersenyum lalu duduk di sofa
BAB 44“Gilang Adriano, aku mencintaimu.”Yeri dan Henry melongo dan mata mereka sama-sama membulat sempurna. Sedangkan untuk orang yang dituju hanya diam saja tanpa ekspresi sedikit pun.Gilang menyimpan tangannya di kedua saku celananya lalu kembali berjalan seperti tidak pernah terjadi apapun. Ia melewati Zia begitu saja.Sikapnya membuat Zia begitu kesal penuh dengan emosi, tangan wanita dengan dress hitam itu mengepal dengan keras hingga terlihat jelas buku-buku tangannya.Napasnya memburu menahan emosi yang ingin meledak. Bukan cuma itu namun juga ia menahan malu didepan Henry dan kekasihnya.“Kau tidak dengar!” Zia berbalik melihatnya.Gilang berhenti melangkah. Bukan karena ucapan dari Zia namun karena dokter Izzam kini berada dihadapannya.Mata mereka bertemu. Izzam tersenyum miring, apalagi saat melihat adiknya sedang mengemis cinta dari lelaki didepannya. “Besok-besok kau tak usah ke sini lagi kalau pemandangannya seperti ini, bikin sakit mata saja,” ujarnya sambil memegang
Bulan-bulan telah terlewati, pernikahan yang dijalani Nicha mungkin lebih hambar dari pada sebuah sayur yang lupa digarami. Tidak ada rasa manis sama sekali, hingga membuat Nicha bertanya-tanya, apa sebenarnya Rangga tidak pernah mencintainya.Hidup yang ia jalani hanya membersihkan rumah setiap hari, menyiapkan makanan, dan mencoba mencari hobi yang dapat membuatnya tidak bosan. Ia selalu bertanya, apakah kehidupan seorang istri seperti ini?Tentu saja tidak, karena ia bahkan tidak pernah disentuh oleh suaminya sendiri.Hal yang membuat Nicha sangat berubah adalah ketika belum menikah, ia bisa marah dan kesal pada Rangga tapi setelah menikah, Rangga menjadi sangat dominan dari padanya, apapun yang Rangga katakan meski Nicha sebenarnya keberatan, wanita itu akan menurutinya.Semua pertanyaan yang ingin Nicha sampaikan hanya bisa terpendam begitu saja, Rangga selalu memberikan ucapan manis yang dapat membuat hatinya luluh tapi Rangga tidak pernah membuktikan apapun padanya.Sungguh per
“Aku –“Gilang menatap lawan bicaranya dengan tajam.Rangga menyerigai. “Sebegitu curiganya kah kau denganku. Kau harus tahu, jika aku suka bermain-main, contohnya mempermainkanmu dengan Nicha haha.”Gilang mengepalkan tangannya dengan keras. Ia menatapnya dengan tidak percaya. “Hidup bukan permainan Rangga, kau telah menikahi seorang perempuan yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, ayahnya sudah mempercayakan dia padamu. Aku tidak apa-apa kau sakiti, tapi jangan dia,” jelas Gilang.Rangga menepuk tangannya dan tertawa keras mendengar ucapan Gilang. “Nicha adalah tanggung jawabku sekarang, apa hakmu mengatakan itu, karena kau mencintainya!?”“Ya! aku mencintainya!” Gilang spontan mengatakan hal tersebut dengan emosi.Rangga terdiam mematung. “Sayangnya dia milikku sekarang,” katanya dengan senyuman puas. Pria berjas hitam tersebut mengelus bahu Gilang sebelum meninggalkan tempat itu.Bodoh sekali. Pria itu hanya berniat memanas-manasi dirinya tapi kenapa ia malah terbawa suasa
“Nicha!!!”Wanita itu segera berdiri setelah mendengar namanya disebut dengan lantang. Adrenalinnya meningkat, jantungnya berdebar sangat cepat, seolah ia telah tertangkap basah.Nicha menunduk dan terdiam seperti patung, tangannya ia genggam sendiri setelah rasa takut menghantuinya. Kenapa ia jadi seperti ini, setelah tinggal beberapa bulan dengan Rangga ia jadi sangat penakut.Di depannya kini berdiri laki-laki besar yang menatapnya dengan tajam. “Apa yang kau lakukan, sudah ku bilang jangan sekali-kali mendekat di kamar ini!” bentak Rangga yang baru saja pulang kantor.“Kau masih ku diamkan ya. Jika aku bertindak, kau akan tahu akibatnya sendiri,” ancam Rangga.“Lihat aku!” Nicha masih menunduk karena ketakutan yang semakin menghantuinya.Tangan besar Rangga langsung memegang dagu Nicha dengan kasar agar wanita itu mau melihatnya. Nicha membulatkan matanya saat mata mereka bertemu, mata Rangga sangat menakutkan, seakan ia mengintimidasi Nicha dengan sangat keras.“Aku beritahu seka
Suara melengking dari kereta api terdengar cukup keras di stasiun kereta api Yogyakarta. Stasiun utama kota Yogyakarta tersebut dekat dengan objek wisata serta pusat perbelanjaan kawasan Malioboro.Itulah mengapa tempat tersebut tidak pernah tidak ramai dikunjungi apalagi malam hari seperti ini. Sekitar pukul sembilan malam, kereta yang ditumpangi oleh Gilang sampai dengan selamat.Gilang baru saja pulang dari Jakarta menghadiri sebuah pertemuan dan pelatihan selama seminggu. Gilang berjalan melewati beberapa orang di stasiun itu, tangannya ia simpan di saku celana jeansnya lalu dengan santainya ia mendengarkan musik dengan earphone yang melekat di telinganya.Di gedung putih bertuliskan stasiun Yogyakarta bercahaya terang itu. Gilang berhenti sejenak setelah ia melihat seorang wanita telah berdiri tersenyum melihatnya sembari melambaikan sebelah tangannya.Wanita itu menghampiri Gilang. “Kau menungguku, Zia?” tanya pria itu.Zia mengangguk. “Tentu, aku sudah sejam lebih di sini,” jaw
“Apa tujuan Rangga mendekatiku karena ia tahu soal hari itu?”Mata berbinarnya melirik kotak kayu jadul yang berdebu itu, sebuah seragam sekolah terlipat sangat rapi di sana, bahkan masih lengkap dengan topi dan juga dasi berwarna biru.Tapi sayangnya, di kemeja putih itu terdapat bekas darah yang membuat Nicha sontak terjatuh saking traumanya.Ia sadar jika sekarang ini ia sedang dihadapkan dengan bekas kecelakaan yang membuat hidupnya berubah drastis.“Ma-maafkan aku, maafkan aku, Adnan.” Wanita itu banjir air mata.Ia bersujud di depan seragam sekolah milik Adnan sambil terus mengucapkan kata maaf yang tidak ada gunanya.Nicha kembali tersentak kaget setelah mendengar suara pintu yang cukup keras, ia tahu pasti Rangga datang untuk memberinya pelajaran karena telah lancang membuka ruangan yang tidak boleh ia buka.Nicha yang tadinya bersujud itu langsung bangkit dan berusaha menutup pintu kamar tersebut. Namun sayangnya, Rangga sudah lebih dulu ada di depan sana dan langsung menyere
Rangga mengatur kembali isi kotak kayu yang tadinya Nicha buka. Ia terdiam saat melihat photo-photo keluarganya yang kini telah tiada, ia sebatang kara setelah Adnan meninggal, ibunya menjadi sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia, beberapa tahun kemudian ayahnya juga ikut berpulang setelah berjuang dengan penyakitnya.Wajahnya tak berekspresi. Setelah melihat kamar adiknya yang sudah berantakan karena Nicha. “Gara-gara wanita sialan itu, semuanya mati,” gumamnya dengan tatapan kosong.Ia berdiri dan mulai menyimpan barang sesuai apa yang ia ingat. Tapi ingatannya seperti terhapus membuat ia marah dan mulai menendang meja belajar yang terletak di ujung dekat jendela kamar.Sudah 12 tahun ia membiarkan semuanya tapi hari ini semua rusak karena Nicha. Tidak ada yang sama lagi, suasana kamar dan juga suasana hati Rangga.Di lain sisi, Nicha melingkuk seperti seorang bayi di lantai yang dingin itu. Mungkin air matanya telah habis, sudah beberapa jam ia tidak pernah bergerak di tempatn