“Aku –“Gilang menatap lawan bicaranya dengan tajam.Rangga menyerigai. “Sebegitu curiganya kah kau denganku. Kau harus tahu, jika aku suka bermain-main, contohnya mempermainkanmu dengan Nicha haha.”Gilang mengepalkan tangannya dengan keras. Ia menatapnya dengan tidak percaya. “Hidup bukan permainan Rangga, kau telah menikahi seorang perempuan yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, ayahnya sudah mempercayakan dia padamu. Aku tidak apa-apa kau sakiti, tapi jangan dia,” jelas Gilang.Rangga menepuk tangannya dan tertawa keras mendengar ucapan Gilang. “Nicha adalah tanggung jawabku sekarang, apa hakmu mengatakan itu, karena kau mencintainya!?”“Ya! aku mencintainya!” Gilang spontan mengatakan hal tersebut dengan emosi.Rangga terdiam mematung. “Sayangnya dia milikku sekarang,” katanya dengan senyuman puas. Pria berjas hitam tersebut mengelus bahu Gilang sebelum meninggalkan tempat itu.Bodoh sekali. Pria itu hanya berniat memanas-manasi dirinya tapi kenapa ia malah terbawa suasa
“Nicha!!!”Wanita itu segera berdiri setelah mendengar namanya disebut dengan lantang. Adrenalinnya meningkat, jantungnya berdebar sangat cepat, seolah ia telah tertangkap basah.Nicha menunduk dan terdiam seperti patung, tangannya ia genggam sendiri setelah rasa takut menghantuinya. Kenapa ia jadi seperti ini, setelah tinggal beberapa bulan dengan Rangga ia jadi sangat penakut.Di depannya kini berdiri laki-laki besar yang menatapnya dengan tajam. “Apa yang kau lakukan, sudah ku bilang jangan sekali-kali mendekat di kamar ini!” bentak Rangga yang baru saja pulang kantor.“Kau masih ku diamkan ya. Jika aku bertindak, kau akan tahu akibatnya sendiri,” ancam Rangga.“Lihat aku!” Nicha masih menunduk karena ketakutan yang semakin menghantuinya.Tangan besar Rangga langsung memegang dagu Nicha dengan kasar agar wanita itu mau melihatnya. Nicha membulatkan matanya saat mata mereka bertemu, mata Rangga sangat menakutkan, seakan ia mengintimidasi Nicha dengan sangat keras.“Aku beritahu seka
Suara melengking dari kereta api terdengar cukup keras di stasiun kereta api Yogyakarta. Stasiun utama kota Yogyakarta tersebut dekat dengan objek wisata serta pusat perbelanjaan kawasan Malioboro.Itulah mengapa tempat tersebut tidak pernah tidak ramai dikunjungi apalagi malam hari seperti ini. Sekitar pukul sembilan malam, kereta yang ditumpangi oleh Gilang sampai dengan selamat.Gilang baru saja pulang dari Jakarta menghadiri sebuah pertemuan dan pelatihan selama seminggu. Gilang berjalan melewati beberapa orang di stasiun itu, tangannya ia simpan di saku celana jeansnya lalu dengan santainya ia mendengarkan musik dengan earphone yang melekat di telinganya.Di gedung putih bertuliskan stasiun Yogyakarta bercahaya terang itu. Gilang berhenti sejenak setelah ia melihat seorang wanita telah berdiri tersenyum melihatnya sembari melambaikan sebelah tangannya.Wanita itu menghampiri Gilang. “Kau menungguku, Zia?” tanya pria itu.Zia mengangguk. “Tentu, aku sudah sejam lebih di sini,” jaw
“Apa tujuan Rangga mendekatiku karena ia tahu soal hari itu?”Mata berbinarnya melirik kotak kayu jadul yang berdebu itu, sebuah seragam sekolah terlipat sangat rapi di sana, bahkan masih lengkap dengan topi dan juga dasi berwarna biru.Tapi sayangnya, di kemeja putih itu terdapat bekas darah yang membuat Nicha sontak terjatuh saking traumanya.Ia sadar jika sekarang ini ia sedang dihadapkan dengan bekas kecelakaan yang membuat hidupnya berubah drastis.“Ma-maafkan aku, maafkan aku, Adnan.” Wanita itu banjir air mata.Ia bersujud di depan seragam sekolah milik Adnan sambil terus mengucapkan kata maaf yang tidak ada gunanya.Nicha kembali tersentak kaget setelah mendengar suara pintu yang cukup keras, ia tahu pasti Rangga datang untuk memberinya pelajaran karena telah lancang membuka ruangan yang tidak boleh ia buka.Nicha yang tadinya bersujud itu langsung bangkit dan berusaha menutup pintu kamar tersebut. Namun sayangnya, Rangga sudah lebih dulu ada di depan sana dan langsung menyere
Rangga mengatur kembali isi kotak kayu yang tadinya Nicha buka. Ia terdiam saat melihat photo-photo keluarganya yang kini telah tiada, ia sebatang kara setelah Adnan meninggal, ibunya menjadi sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia, beberapa tahun kemudian ayahnya juga ikut berpulang setelah berjuang dengan penyakitnya.Wajahnya tak berekspresi. Setelah melihat kamar adiknya yang sudah berantakan karena Nicha. “Gara-gara wanita sialan itu, semuanya mati,” gumamnya dengan tatapan kosong.Ia berdiri dan mulai menyimpan barang sesuai apa yang ia ingat. Tapi ingatannya seperti terhapus membuat ia marah dan mulai menendang meja belajar yang terletak di ujung dekat jendela kamar.Sudah 12 tahun ia membiarkan semuanya tapi hari ini semua rusak karena Nicha. Tidak ada yang sama lagi, suasana kamar dan juga suasana hati Rangga.Di lain sisi, Nicha melingkuk seperti seorang bayi di lantai yang dingin itu. Mungkin air matanya telah habis, sudah beberapa jam ia tidak pernah bergerak di tempatn
Laki-laki itu mengerutkan alisnya, mencoba menajamkan penglihatannya. Sebuah rumah yang agak jauh berdiri di sana dengan kokohnya, pagar besi setinggi tubuh manusia mengitari seluruh bagian dari rumah bertingkat dua tersebut dan juga beberapa tanaman besar tumbuh tak terurus di dalamnya, membuat yang melihat akan berpikir jika rumah tersebut tak berpenghuni sama sekali.Ia bingung setelah melihat rumah tersebut, tampilannya sudah sangat berubah dari yang dulu Gilang ingat, rumah bertingkat satu dengan halaman yang luas penuh dengan kehijauan.Gilang menurunkan kaca mobilnya lalu matanya tampak memperhatikan jendela lantai dua yang gelap sekali, sepertinya kaca dari jendela itu terbuat dari kaca Maxicool yang sulit untuk melihat ke dalam namun akan sangat mudah untuk melihat keluar.“Untuk apa kaca tersebut di pasang di sana?”Gilang masih berpikir, ia pun menaikkan kembali kaca mobilnya. Ia takut jika ada orang di dalam dan melihatnya ada di depan rumah.“Apa dia ada di dalam?”Bodoh.
Mungkin inilah definisi "perasaan itu habis di satu orang saja" ketika wanita itu memberikan seluruh tempat di hatinya tanpa menyisakan tempat lain pun untuk orang lain.Matanya sayu memperhatikan pria yang sedang sibuk dengan satu pasien di ruang pemeriksaan. Dia duduk dengan nyaman di sana sambil menunggu, matanya tak luput memperhatikan bagaimana pria tersebut menatap pasiennya saat berbicara, bagaimana ia mengangguk paham dan tersenyum.Tapi Zia tidak cemburu dengan orang di dalam sana. Berbeda dengan wanita yang ia temui tempo hari lalu, tentang bagaimana Gilang memandang wanita tersebut penuh dengan rasa cinta.Tubuh kurusnya berdiri setelah pasien itu pulang dan Gilang juga keluar dari ruangannya. “Kak,” panggilnya.Gilang sepertinya tak menyadari jika Zia sedari tadi sudah ada di depan. “Zia, ada apa?”“Apa kak Gilang ada waktu malam ini sehabis klinik tutup?”Gilang menggeleng pelan.”Sepertinya tidak, kenapa?” tanyanya.Zia membuka tasnya lalu mengambil sesuatu dalam sana, ia
Tangannya dengan perlahan memegang gang pintu, ia mencoba menariknya namun sesuai dugaannya itu benar terkunci.Pintu, jendela dan semua akses untuk keluar dari rumah tersebut di kunci dengan sangat rapat.Wanita itu terdiam dan masih berpikir, sudah semalaman ini, ia terus saja berpikir soal jalan keluar terbaik untuknya. “Pasti ada jalan, Nicha, pasti ada,” gumamnya pelan.Ia tahu pastinya Rangga akan mengawasinya melalui CCTV, makanya ia harus berpura-pura membersihkan agar bisa mengelabui Nicha. Nicha berjalan lalu terduduk di sofa, untuk beberapa menit ia terdiam di sana, hingga ia menemukan sesuatu yang mencurigakan.“Berkas kantor?”Ia berdiri dan melihat-lihat berkas tersebut. “Aku kira apaan,” gumamnya lagi dengan lemah.Tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka, Nicha segera kembali ke tempat duduknya semula, padahal baru setengah satu siang tapi Rangga kembali.Terlihat pria itu berjalan dan mengambil berkas tersebut, satu orang karyawan juga ada bersamanya. “Kenapa aku