“Aku mencintaimu, Nicha. Aku ingin bersamamu selamanya, kumohon mengertilah.”Setelah mengatakan hal diluar dugaan itu, laki-laki tersebut melepaskan tangannya dari kedua pipi mulus Nicha. Kini Gilang berjalan menuju tembok kayu lalu menyandarkan kepalanya di sana.Frustasi, malu dan emosional setelah mengungkapkan semuanya pada wanita yang ia cintai. Tapi ini sudah terlanjur terjadi, Gilang pasrah dengan keputusan Nicha sekarang.“Pasti kau kesal bukan, karena mengetahui kalau aku menolongmu karena punya perasaan. Ya, itu semua benar, jauh dilubuk hatiku, aku butuh imbalan darimu –““Apa.” Nicha seakan menatapnya tidak percaya.“Kau pasti tahu apa yang aku inginkan, jadi jangan menyiksaku agar mengatakannya untuk kesekian kali. Maafkan aku telah egois, jika kau ingin pergi setelah mengetahui fakta ini, aku… tidak apa-apa.”Gilang menunduk, ia masih membelakangi Nicha.Air mata perempuan itu kembali mengalir, ia tidak percaya akan semua yang ia dengar.“Setelah… setelah kau memohon pa
Sebuah handphone keluaran terbaru hanya tergeletak di atas nakas begitu saja. Sepasang mata terus melihatnya dengan penuh keraguan, sudah sehari berlalu namun mereka sama sekali belum bicara.Di samping ranjang pria itu, terdapat lukisan yang juga tidak sempat diperlihatkan, padahal mereka berdua sudah saling berjanji akan hal tersebut.Ia memijit pelipisnya. Setelah kecanggungan yang tak tahu di mana akhirnya ini, Gilang memutuskan untuk dewasa, melupakan kejadian memalukan itu tapi bahkan hanya sekedar mengatakan hai saja ia tidak sanggup.Sedangkan wanita itu, masih tidak tahu diri. Dia hanya termenung sepanjang hari tanpa melakukan apapun, ia mencari sebuah arti dari apa yang telah ia jalani ini.Namun tak ada jawaban sama sekali.Terdengar suara langkah kaki yang berhenti tepat di depan pintu kamar Nicha yang tertutup. Nicha menoleh, mencoba melihat seberapa beraninya laki-laki itu.Tak ada suara ketukan pintu, hingga laki-laki itu akhirnya pergi tanpa pamit lagi.Nicha menghela
Perempuan dengan baju terusan berwarna biru polos itu masih asyik dengan kucing yang ia gendong seperti seorang bayi.Rambutnya tampak terurai indah, membiarkannya nari dengan angin desa yang sejuk, bibirnya tersenyum simpul setelah melihat langit yang mulai berubah menjadi orange.Dia mulai suka senja setelah tinggal di desa ini, ia suka bau sawah dan ketenangan saat berdiri di aspal yang menuju rumah yang ia tinggali.“Shiru lihatlah, pemandangan di sini memang sangat indah, tidak seperti di kota.”Tak ada balasan dari kucing tersebut, hanya sebuah pemberontakan kecil minta dilepaskan.“Hei, jangan lari lagi, nanti aku tak bisa menemukanmu,” ujar Nicha mencoba memegang erat Shiru.Terpaksa Nicha melepaskan Shiru namun ia tetap memantau kucing tersebut bermain. Matanya tak sengaja menangkap sosok pria yang begitu ia kenal dari kejauhan.Tampak jika pria tersebut mendekat padanya dengan wajah khawatir, Nicha terus saja menatapnya, memperhatikan setiap helaian rambut hitam pria tersebu
Gilang begitu serius memperbaiki keran air di belakang rumahnya. Kemeja putihnya mulai basah akibat percikan air yang mulai naik.“Airnya sudah deras, Gilang,” ucap Nicha masih terus memperhatikan selang berwarna biru itu.“Benarkah?” Gilang berbalik.“Iya, lihatlah.” Gilang refleks menghindar setelah Nicha menyodorkan selang air tersebut kearahnya. “Hei, jangan begitu.”Keduanya saling bertatapan, itu memunculkan ide gila pada wanita dengan rambut yang diikat ke belakang menyisakan poni tipis tersebut.Ia kembali mendekatkan selang tersebut membuat kemeja dan juga celana jeans hitam Gilang mulai basah. “Nicha, hentikan!”Nicha tertawa puas setelah mengerjai pria itu. “Awas kau ya!” Gilang berlari mengejar Nicha mencoba merebut selang tersebut dari tangannya. Dress putih selutut milik Nicha, ikut basah akibat Gilang yang akhirnya berhasil merampas selang itu.Perang air tak bisa dihelai lagi, keduanya saling bergantian menyerang membuat seluruh tubuh mereka ikut basah.“Gilang, buatla
Gilang masih memperhatikan wanita yang sedang menangis itu. Entah apa yang harus ia lakukan, entah bagaimana ia harus menyikapi hal ini, dia tidak tahu.Suara tangisan itu masih terdengar, bahkan belum berhenti sedikit pun sejak Rangga memutuskan untuk pergi.“Nicha, kau ingin aku mengantarmu ke ibumu?”Nicha menggeleng.Gilang mengangguk. Ia paham, mungkin Nicha ingin sendiri, apalagi ia baru saja meminta cerai pada suaminya.Mungkin Nicha sedang patah hati, bagaimana pun juga, dia pernah bermimpi untuk hidup bahagia dengan pria itu. Gilang sungguh paham bahwa Nicha, ingin sendirian.Perlahan ia mundur dan mulai bersandar di pinggir pintu yang masih terbuka, Gilang hanya diam tapi suara Nicha membuatnya ikut sakit hati.Hanya mengetahui kalau wanita yang dicintainya menangis untuk pria lain saja, Gilang sudah kesal mengetahuinya. Apalagi jika wanita itu meninggalkannya.“Gilang, kau bisa mengantarkan aku pada ibuku?”Nicha sepertinya berubah pikiran. Keduanya saling menatap seolah be
“Hei, tunggu!”Nicha dan Gilang menoleh melihat siapa orang yang memanggil mereka di rumah sakit itu.Seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang terurai indah berdiri tepat dibelakang mereka. Matanya berkaca-kaca saat melihat tangan Gilang sedang memegang erat tangan wanita lain.“Zia?”“Kakak dari mana? tumben ke rumah sakit, apa kakak dipanggil?”“Emm tidak.. kami baru saja menjenguk seseorang di rumah sakit ini.”Zia mengerutkan alisnya tak paham, dari kejauhan Gilang bisa melihat kakak Zia yaitu Izzam juga sedang memantau mereka dari kejauhan.“Zia, aku harus mengantar Nicha pulang, kalau begitu sampai jumpa ya,” pamit Gilang.Tanpa persetujuan Zia, Gilang menarik tangan Nicha untuk menjauh dari wanita tersebut. Zia mengepalkan tangannya erat, kenapa sulit sekali baginya. “Harusnya aku yang di sana, bukan dia…”Jika dipikir-pikir lagi, Nicha bukanlah wanita baru dihidup Gilang, justru Zia lah yang menjadi wanita baru itu.Jika saja waktu bisa di ubah, Zia ingin bertukar deng
Photo-photo di kebun binatang yang dulunya mereka kunjungi kini mulai terbakar sedikit demi sedikit, bersamaan dengan air mata photo itu menjadi abu.“Sial, kau benar-benar sialan Gilang.”Satu photo yang masih berada ditangannya, photo yang diambil pertama kali saat itu. Sebuah photo setelah Gilang berhasil melewati sidang skripsinya.Dia masih tak sanggup untuk menyingkirkan photo tersebut.“Kenapa aku melakukan ini, bahkan setelah wanita itu menikah rasa cintanya masih sama, ku pikir dia akan menyerah.”“Sepertinya sudah tidak ada harapan bagiku ya.”Zia mematikan lilin tersebut membiarkannya tetap di atas meja kerjanya. Ia menatap kertas sketsa yang masih kosong, Zia baru sadar jika kesedihannya ini sudah berlarut-larut hingga menganggurkan kerjaannya lagi.Jika kakaknya tahu, dia akan kembali dimarahi seperti anak kecil.“Apa benar yang di bilang pria itu?” Sudah beberapa kali Zia bertemu dengan Rangga, Zia tentu tahu permasalahan yang terlibat dengan Gilang, tapi ia tidak bisa m
“Kau serius ingin pergi ke rumah orang tua Gilang?” Suara itu terdengar tidak meyakinkan.“Aku benar-benar serius!” tekan Zia.“Tapi aku benar-benar lupa, itu sudah 15 tahun lalu Zia!” Henry sungguh frustasi.“Aku tidak pernah suruh kak Henry untuk mengingatnya, aku punya rencana lain.” Henry yang tadi menyandarkan punggungnya di kursi langsung menegakkan punggungnya menghadap gadis itu.Henry menatap Zia dengan penasaran.“Rencana?”“Ya, kita buntuti saja dia, Saat dia pulang kerja.”“Kau gila! Maksudmu kita akan berada dibelakangnya, dan dia akhirnya menyadari kita lalu dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan jadilah kita mengejarnya makin kencang melewati seluruh mobil yang ada dijalanan seperti di film-film.”“Tidak seperti itu juga bodoh!” Zia ingin sekali mencubit perut Henry saking kesalnya, bagaimana bisa orang sejenius Gilang punya sahabat gila seperti Henry ini.“Lalu seperti apa?” tanya Henry.“Seperti biasa saja, kita ikuti dia tanpa ketahuan,” jawab Zia enteng.