Mobil Afnan sudah sampai di halaman pondok pesantren Kiyai Latief. Suasana perdesaan sangat kentara. Suasananya sangat asri. Bahkan santri putra biasa mandi di sungai yang airnya masih jernih.Afnan melihat ke arah ndalem, melihat Abah dan Ummi temu kangen dengan sahabatnya itu. Di sana juga ada Hambali, Yulia dan Syafaah yang ikut membaur bersama. Ikut merasakan nostalgia ke empat orang itu.Afnan teringat saat itu untuk mempererat persahabatan abahnya dan kiyai Latief. Ia sempat dijodohkan dengan putri kiyai Latief, Neng Latifah. Namun, ia menolaknya karena belum siap dan harus mengejar cita-citanya melanjutkan S2nya ke Mekkah. Sebenarnya saat itu Afnan juga tertarik dengan kecantikan dan kepintaran Neng Latifah. Namun, ia lebih memilih melanjutkan cita-citanya dan akan meminang gadis itu setelah dirinya kembali dari Mekkah. Namun, sayang satu tahun di Mekkah, ia mendapat kabar kalau Neng Latifah sudah menikah dengan putra kiyai Usman. Afnan sempat patah hati, Namun, hanya sesaa
Setelah berbincang banyak dengan Kiyai Latief. Afnan izin pada semuanya untuk mengajak Azril jalan-jalan di area pondok pesantren. Tujuannya untuk mengenalkan lingkungan pondok, Afnan tidak sendiri dirinya bersama Kang Muis, salah satu kang ndalem kepercayaan Kiyai Latief.“Selama Ramadhan kegiatan Diniyah diliburkan dan diganti kegiatan Ramadhan seperti di pesantren-pesantren lain, Kiyai,” ujar Kang Muis pada Afnan.“Iya, Kang. Boleh saya tahu apa saja kitab yang diajarkan di sini selama Ramadhan, Kang?”“Tentu, Kiyai. Monggo nanti ikut saya di kantor sekretariat pesantren ini untuk melihat langsung jadwal di pesantren ini selama di pondok.”Azril hanya diam saja tak bersemangat. Ia mengerti dan sangat mengerti apa yang dibahas sang Abi sejak tadi, dan hal itu hanya membuatnya bosan. Di pesantren keluarganya saja dirinya sudah jenuh dengan seabrek kegiatan yang ada di sana yang sering tidak dirinya ikuti, malah sekarang dirinya harus mengikuti kegiatan di pesantren kilat ini.Saat in
Afnan dan sang putra kembali ke ndalem setelah selesai melihat jadwal kitab kuning yang akan dipelajari sang putra selama satu bulan ini di pesantren.Azril melihat beberapa santri yang sudah mulai berdatangan ke pesantren ini diantar keluarga mereka.“Bi, katanya ngajak Abang ke sungai. Ayo, Bi!” rengeknya ternyata Azril menagih janjinya tadi. Anak itu memang cerdas sekali selalu mengingat setiap apa yang diucapkan seseorang padanya.“Iya, Sayang. Kita temui Bunda dulu ya, sekalian ngajak Bunda ke sungainya. Pasti dia sangat suka.”Afnan teringat 25 tahun yang lalu saat pertama kali mondok Ramadhan di sini sebelum di pondokkan ke pesantren Kiyai Umar mertua Gus Achmad, kakaknya Azzam.Dirinya sering bermain di sungai bersama Neng Latifah yang masih berusia 12 tahun sedangkan dirinya sama seperti Azril berusia 16 tahun saat itu.“Bi, Ayo temui Bunda! Abang sudah enggak sabar main ke sungai.”“Astaghfirullahal Adziim, kenapa aku malah nostalgia waktu kecil,” batin Afnan. Azril berhasil
Masalah terbesar wanita adalah mengingat terlalu banyak, sedangkan masalah terbesar pria adalah melupakan terlalu cepat.(Cinta dalam Balutan Doa)Azril masih menangis sesenggukan. Pemuda itu akan terus berlari mengejar mobil sang Abi kalau saja Kang Muis tidak mencegahnya. Kang Muis langsung mendekapnya lembut supaya pemuda itu sedikit tenang.“Aku mau pulang, aku enggak mau di sini!” tangisnya.“Gus Azril harus di sini, hanya satu bulan kok. Di sini banyak temannya juga, nanti Gus Azril bisa bermain dan sharing bersama mereka. Jangan takut ... Gus Azril di sini tidak sendiri banyak santri lain, seperti halnya di pesantren keluarganya jenengan di sini juga banyak santri yang berasal dari luar jawa dan luar kota, kok.”“Aku mau pulang, hiks ... hiks ... hiks ...,” lirihnya masih berurai air mata.“Nanti malam tarawih bersama, saya jamin Gus Azril akan suka suasananya, nanti pukul 2 juga ada kentongan keliling desa dengan para santri putra lainnya, jadi Gus Azril harus bisa bangun jam
“Abi tahu Bunda belum tidur, Abi hanya ingin Bunda tahu kalau Abi sangat mencintai Bunda. Tidak ada wanita lain di hati Abi, atau pun niat untuk menduakan Bunda. Kalau Bunda berpikir Abi memondokkan Azril ke tempat Kiyai Latief karena ingin dekat dengan Neng Latifah itu salah besar. Abi tidak suka Bunda menilai buruk Neng Latifah, karena yang Abi tahu, Neng Latifah itu wanita Sholehah tidak mungkin ia merendahkan dirinya hanya untuk memiliki Abi. Abi lebih mengenalnya, bahkan Abi yakin di tangan Kiyai Latief dan Neng Latifah Azril akan bisa berubah,” ucap Afnan lembut, tapi menyakitkan untuk Arni.Dadanya semakin sesak mendengar itu. Tatapan memuja dari Neng Latifah pada Afnan terpampang jelas di netranya. Bahkan sang suami memuji dan mengagungkan wanita itu. Dan dengan kata lain menuduh Arni suudzon dan berpikiran buruk pada wanita itu. Dan apa itu ucapan Afnan yang seperti itu sama saja Afnan menganggap Arni salah didikan dalam mendidik putra dan putrinya.Arni hanya bisa terisak.
Afnan masuk melangkahkan kakinya menuju atas, niatnya ingin berganti pakaian karena sebentar lagi harus mengimami santri-santrinya sholat subuh berjamaah setelah itu dilanjutkan mengaji kitab kuning tafsir jalalain.Ia membuka pintu kamarnya ternyata pintu itu dikunci dari dalam. Ia pun mengetuk pintu itu supaya Arni membukakannya. Tiga kali mengetuk Arni baru membuka pintu itu tanpa bicara sepatah kata pun wanita itu melangkah menuju sofa sambil membawa alquran. Ia melihat di ranjang sudah tersedia koko dan sarung untuknya. Ia tersenyum meskipun semarah-marahnya sang istri, Arni selalu mengerjakan kewajibannya dengan baik.Afnan mengganti bajunya setelah itu ia menghampiri sang istri yang masih mengaji. Ia duduk di karpet bawah meletakkan kepalanya di paha Arni.“Aku minta maaf ... maaf sudah sangat menyakitimu ... maaf ...,” lirihnya sambil meneteskan air matanya. Entah sejak pulang dari pesantren Kiyai Latief kemarin emosi Afnan sangat tidak stabil.Arni menghela napasnya panjang.
Azril masih berjalan untuk mencari tumpangan untuk mencapai jalan raya. Maklum pesantren Kiyai Latief berada di pelosok perdesaan, sehingga jauh dari jalan raya. Ia harus berjalan cukup jauh untuk mencapai jalan raya. Sekitar satu jam kalau ditempuh dengan jalan kaki.Azril sudah berjalan cukup jauh. Suara marbot masjid di sekitar kampung itu membangunkan warga untuk makan sahur. Ia teringat sang bunda. Biasanya setelah semua siap sang bunda akan mengetuk pintu kamar anak-anaknya dan mengajaknya makan sahur.Azril langsung meneteskan air matanya. Ia sangat merindukan keluarganya. Terutama sang bunda.Azril duduk di bawah pohon. Ia membuka tas ranselnya mengambil makanan dari dalam tas itu untuk ia jadikan sahur. Air matanya masih merembes mengingat wajah sang bunda yang tersenyum lembut padanyaSetelah mengisi perutnya dengan roti kesukaannya dan air mineral yang ia bawa, Azril segera melanjutkan perjalanannya. Ia harus segera keluar dari desa ini sebelum pihak pesantren menyadari dir
Arni masih menangis sejak tadi. Ia takut terjadi sesuatu pada sang putra. Dirinya sangat khawatir, bagaimana tidak? Selama ini sang putra tidak pernah keluar sendiri dari rumah, sedangkan saat ini dia sedang sendirian di luar sana.Afnan masuk ke dalam kamar. Ia sudah melihat Arni sudah berganti gamis. Wanita cantik yang teramat ia cintai itu terlihat sangat sedih matanya sudah sembab, sejak dirinya mendengar sang putra kabur, Arni menangis.“Sayang, ayo keluar! Ummi dan Abah sudah menunggu. Kalian akan diantar Kang Dedik dan Mbak Ratna. Maaf ... Abi tidak diperkenankan Abah ikut karena masalah tadi pagi, tapi aku tidak akan tinggal diam kok, Abi akan tetap mencari keberadaan Azril ke rumah teman dan sahabatnya dan juga keluarga kita. Gus Achmad, dan semuanya. Abi akan menanyakannya pada mereka. Kamu tenang, ya. Baca sholawat terus. Abi yakin Azril tidak akan apa-apa,” ujarnya sambil memeluk tubuh Arni memberi ketenangan pada wanita itu.“Iya, Abi. Benar yang dikatakan Abah , sebaikn