Share

Permintaan ke dua

Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.

“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.

“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.

“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.

“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.

“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.

“Ya udah, kita berangkat sekarang, Mang. Udah malam soalnya, kasihan Ana,” ucap Bang Rafan sembari menatap ke arahku. Tak perlu buang waktu, Mang Amir langsung mengambil alih barang-barang kami dan memasukkannya ke dalam mobil.

Setelah perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya kami tiba di depan Rumah. Namun, saat itu juga aku sedikit terkejut. Pasalnya rumah yang aku tinggalkan 7 bulan lalu kini benar-benar berbeda. Rumahku kini sangat mewah bak istana kerajaan.

“Ayo masuk, kok malah bengong,” ucap Bang Rafan yang menyadarkanku dari ke tidak sadaran. 

“A... Apa ini benar rumah Abi, Bang?” tanyaku tak percaya.

“Adek pikir rumah siapa? Tetangga. Ayo ah, masuk udah malam, enggak baik lama-lama di luar, “ ucap bang Rafan seraya menarik tanganku untuk masuk.

“Kapan di renovasinya? Kok Ana enggak tahu,” tanyaku seraya mengekor Bang Rafan.

“1 bulan yang lalu. Gimana mau tahu, Adeknya juga enggak ada di sini,” tuturnya seraya mencubit pipiku yang kini tengah berada di sampingnya.

“Ya, senggaknya kasih tahu di telepon kek,” ucapku.

“Enggak ada waktu, sibuk,” ucap Bang Rafan.

“Nyebelin,” ucapku sembari mencubit tangan kekar Bang Rafan hingga meringis kesakitan.

“Sakit tahu, Dek,” ucap Bang Rafan sembari mengelus-elus tangannya yang aku cubit.

“Rasa in,” ketusku

“Silakan Den, Neng,” ucap mbok Sri dan beberapa maid lainnya. Lalu di ambil barang-barang yang sudah ada di ambang pintu.

“Terima kasih, Mbok,” ucapku seraya membungkukkan sedikit badanku sebagai tanda terima kasih.

“Nah, itu si Abang sama Adek, Bi. Umi udah sangat merindukannya!” Umi yang sudah tidak sabar langsung menghampiriku.

“Umi,” teriakku. Bang Rafan yang mendengar suaraku segera menutup telinganya, sedangkan Abi hanya tertawa melihatku dan Umi yang tengah berlari.

“Bukannya ucap salam, malah teriak-teriak,” seru Bang Rafan yang aku hiraukan.

“Sayang,” ucap Umi seraya mencium semua inci wajahku dan berlanjut memelukku. Buliran likuid terlihat di pelupuk matanya.

“Ana sangat merindukan Umi,” ucapku yang masih setia memeluk Umi. Tak terasa tetesan demi tetesan air jatuh begitu saja dari pelupuk mata.

“Umi juga sangat merindukan Ana,” ucap Umi seraya mendongkrak wajahku, “kamu baik-baik sajikan?” tanya Umi seraya memutar-mutarkan badanku.

“Umi, Ana pusing kalau terus-terusan Umi putar-putar. Lagian Ana enggak papa kok,” ucapku. Sontak, Abi, Umi dan Bang Rafan tertawa mendengar ucapanku.

“Ajak duduk dulu dong Adeknya, kasihan baru datang, pasti dia capek,” ucap Abi yang sedang duduk di ruang keluarga.

Kami kemudian berjalan menuju ruang keluarga. Aku yang masih setia memeluk Umi, sedangkan Bang Rafan sudah lebih dulu berjalan di depan kami untuk menghampiri dan menyalami tangan Abi.

“Yang katanya enggak mau pulang, tapi masih aja setia peluk Uminya dari tadi,” sindir Umi. Aku hanya memasang muka datar dan terus mencari sisi nyaman di pelukan Umi yang sedang duduk.

“Kalau terus Umi peluk Umi, terus kapan peluk Abi?” tanya Abi dengan nada cemburu.

“Besok aja,” ucapku asal.

“Gini nih kalau udah ketemu Umi, Abi pasti di lupa in. Apa harus Abi umpetin dulu Uminya, supaya Adek ingat sama Abi,” tanya Abi seraya mengangkat-angkatkan alisnya.

“Ih, enggak boleh, Abi,” ucapku sembari memper erat pelukanku kepada Umi.

“Abi juga kan mau di peluk sama Ana,” goda Abi.

“Abi di peluknya sama Bang Rafan aja dulu,” usulku sembari melirik ke arah Bang Rafan.

“Bosan peluk Abang terus, mana lagi si Abang jarang mandi lagi, bau,” ejek Abi seraya terkekeh.

“Ih, asal aja Abi kali ngomong. Abang mandi 7 kali sehari, mana ada bau,” jawab bang Rafan. Abi hanya makin terkekeh mendengar ucapan Bang Rafan di ikuti Umi yang terkekeh.

“Kalau Adek enggak mau peluk Abi, biarin Umi aja yang peluk Abi,” ucap Abi.

“Kata Ana kan enggak boleh, Abi,” tegasku.

“Tapi Abi mau. Ayok Bang!” ucap Abi seraya memberi kode kepada Bang Rafan dengan menaikkan dua alisnya. Aku hanya terheran-heran melihat mereka, entah apa yang akan mereka lakukan.

“Ayok, Bi,” Bang Rafan merespons kode dari Abi.

Tidak menunggu lama, Abi dan Bang Rafan menghampiriku dan Umi. Memaksa kami untuk saling melepaskan pelukan. Abi menarik Umi, sedangkan Bang Rafan menarikku. Karena kekuatanku yang tidak seberapa di bandingkan kekuatan bang Rafan, akhirnya pelukanku dan Umi lepas.

“Ih, Abang apaan sih, lepasin,” ucapku yang kini berada di pelukan Bang Rafan.

“Hmmm,”

“Umi,” lirihku yang berusaha melepaskan diri dari pelukan Bang Rafan. Di sisi lain, Umi sedang menatapku dengan posisi di peluk oleh Abi dari belakang.

“Apaan sih, Dek. Ini Abangmu kali, bukan culik,” ucap Bang Rafan.

Hiks... Hiks... Hiks...,

“Udah ah, kasihan Adek,” ucap Umi seraya menghampiriku yang tengah di peluk oleh Bang Rafan dan mengambil alihku. Di ikuti Abi yang mengekor di belakang umi dan ikut memelukku bersama Umi.

“Di Kairo udah 7 tahun ditambah lulus S1, dikira udah berubah, eh masih aja kek bocah,” ucap Bang Rafan.

“Hus, Ana bakal tetap jadi Putri kecil Umi,” ucap Umi seraya mengelus-elus pucuk kepalaku yang terhalang hijab.

“Kapan gedenya, Mi,” tanya Bang Rafan sembari memijit pelipisnya.

“Nanti kalau udah Abi nikahin,” ujar Abi.

Mataku membulat sempurna setelah mendengar penuturan Abi. Entah apa yang sebenarnya Abi rencanakan. Rasanya aku masih terlalu kecil untuk melangsungkan pernikahan.

“Ana istirahat gih, udah malam,” suruh Umi. Aku mengangguk setuju. Pasalnya aku sudah capek dan ngantuk.

“Udah jangan nangis, maaf in Abi sama Bang Rafan. Abi dan Abang hanya rindu bermain-main dengan Ana, itu saja,” ucap Abi sembari mengusap sisa-sisa air di pipiku. Aku hanya mengangguk.

“Iya, maaf in Abang ya,” ucap Bang Rafan membenarkan ucapan Abi. Elusan lembut kembali mendarat di pucuk kepalaku.

“Ya udah sana tidur, biar Umi antar ke kamar,” titah Abi sembari mencium keningku.

Aku dan Umi pun berlalu meninggalkan Abi dan Bang Rafan di ruang keluarga dan berjalan menuju ke lantai atas. Setelah mengantarkanku sampai kamar, Umi memutuskan untuk pergi kembali.

Aku Baringkan tubuhku di ranjang King size milikku yang sudah 7 bulan aku tinggalkan. Tapi tidak ada yang berbeda, semua tampak sama sebelum aku pergi. Aku Amati setiap sudut, tidak ada yang berbeda dari kamarku. Hanya saja tembok yang sudah cat dengan warna yang sama, terlihat dari warnanya yang masih cerah.

Tak terasa, rasa kantuk kini kian menguasa tubuhku, hingga akhirnya kesadaranku pergi ke alam mimpi.

“Adek, bangun udah siang, ayo kita sarapan,” ajak Umi seraya  membuka gorden kamarku, yang membuat cahaya sang Surya masuk begitu saja ke kamarku.

“Eughk...,”

“Ayo cepat mandi, Abi udah nunggu di meja makan,” ucap Umi yang berlalu begitu saja.

Tak butuh waktu lama, akhirnya aku selesai dengan ritual mandiku. Hari ini aku memakai baju gamis berwarna Moca dengan kerudung senada. Aku poles sedikit wajahku dengan make-up tipis. Pasalnya, hari ini Bang Rafan akan mengajakku jalan-jalan sebagai permintaan ke duanya.

“Lama,” ketus Bang Rafan. Aku hanya beroharia saja, takku pedulikan Bang Rafan yang berada di hadapanku. 

Hanya ada bunyi sendok dan piring yang menemani sarapan pagi ini. Tak butuh waktu lama, kami pun selesai sarapan. Dengan gesitnya, mbok Sri membereskan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur untuk dicuci.

“Kita pergi dulu, Abi, Umi,” pamit Bang Rafan seraya menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Aku mengekor dari belakang.

Kurang lebih 30 menit, akhirnya Bang Rafan menghentikan mobilnya tepat di depan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Ya, kini kami sudah berada di kawasan HK grouf, perusahaan milik Abi Miftah Hengkara yang kini di pimpin oleh Rafan Putra Hengkara, Abangku.

“Loh, kok kita ke sini sih. Bukannya Abang mau mengajak Ana jalan-jalan?” tanyaku.

“Betul sekali. Memang Abang membawa Adek ke sini buat jalan-jalan,” jawab bang Rafan.

“Mana ada jalan-jalan ke kantor. Jalan-jalan tuh ke mal, taman, pantai, aneh banget sih. Kalau tahu gini, Ana enggak bakalan ikut deh,” ucapku sebal.

“Lupa, ya. Inikan permintaan ke dua Abang,” ucap Bang Rafan mengingatkan.

“Ta-,”

“Adek kan udah janji. Sedangkan janji itu kan,” ucap Bang Rafan yang terhenti karena aku potong.

“Ancam aja terus,” gerutuku kesal.

“Abang hanya mengingatkan, bukannya mengancam,”  ucap Bang Rafan membenarkan.

“Oke, Ana ACC permintaan ke duanya,” pasrahku

“Oke, mulai sekarang, Adek resmi jadi sekretaris Abang,” ucap Bang Rafan seraya merangkul pundakku.

“Terserah,” ketusku.

“Yang ikhlas, biar jadi pahala,” ucap Bang Rafan.

“Iya, ini juga ikhlas kok,” jawabku sembari memberi senyum manis kepada Bang Rafan meskipun  sedikit terpaksa.

“Ayo masuk,” ajak Bang Rafan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status