Erika terbangun dari tidur kala dering gawainya tak henti mengganggu. Ia duduk di tepi ranjang, menyadarkan jiwa yang masih di alam mimpi. Perlahan gadis seksi itu menggeser layar berwarna hijau pada gawai. Suara tangis dari balik telepon terdengar. Membuat separuh nyawanya tersadar.
[Mel? Kamu kenapa?]
[Kak, Ayah…]
[Ayah kenapa?]
Tidak ada jawaban dari Meli, hanya tangis dari balik telepon terdengar jelas dan semakin sendu.
[Kamu tenangkan diri dulu. Ayo, cerita pelan-pelan. Mana bisa aku paham kalau kamu sambil menangis seperti ini.]
Erika mencoba menenangkan adiknya tetapi gadis itu masih tersedu. Ia meminta adiknya minum air putih terlebih dulu agar lebih tenang. Kini Erika mulai panik dan penasaran dengan kejadian yang sedang menimpa ayahnya. Ia mulai berjalan mondar-mandir tak karuan menanti penjelasan Meli.
[Ayah seperti orang tak bernyawa. Aku nggak tahu harus apa. Sejak pulang sekolah, aku menemukannya sudah terdiam, berbaring di ranjang dengan mata terbelalak tanpa berkedip. Dipanggil dan diberi makan atau minum pun sama sekali tidak bergerak. Apa yang harus aku lakukan? Kami takut, Kak. Tapi tidak berani berbicara dengan siapapun.]
Erika mulai menggigit-gigit jarinya. Mencari solusi. Namun, pikirannya buntu sementara. Ia tidak dapat berpikir jernih.
[Hmmm.. Oke, kamu tenang sekarang. Aku ke sana sekarang. Aku cari mobil dulu agar bisa bawa ayah tanpa tetangga tahu. Jangan panik apalagi cerita ke siapapun.]
[Iya, Kak. Kakak cepat, ya?]
[Oke. Kamu sekarang bersikap biasa aja. Lakukan aktivitas seperti biasa.]
Gadis di balik telepon itu paham dengan titah Erika. Ia segera mengakhiri panggilan dan hanya bisa meninggalkan ayahnya seorang diri di kamar. Kembali mengunci pintu kamar lelaki paruh baya itu. Sementara Erika menghubungi Jojo, pamit pergi ada urusan mendadak.
Lalu menghubungi seorang teman yang memiliki mobil dan meminta bantuan. Erika bergegas bersiap untuk mengendap-endap keluar dari rumah setelah rapi. Ia mengintip melalui jendela, mencari celah saat keadaan diluar benar-benar sepi.
***
Tepat saat langit jingga menghiasi, Jojo tiba di rumah. Suasana sepi menyelimuti dan sangat berantakan. Tidak seperti ketika ia pulang kerja dan ada Sari di rumah. Namun, lelaki itu tidak marah. Efek dari ilmu hitam yang melekat pada tubuh Erika, membuat gadis itu selalu sempurna di mata Jojo.
Selepas membersihkan diri, Jojo pun memeriksa meja makan. Tidak ada makanan apapun di sana. Ia hanya tersenyum dan kembali tidak mempermasalahkan. Segera ia memasak mie instan yang telah Erika siapkan di lemari makan. Ketika ia menyantap makan malamnya, panggilan video masuk dari Sari.
[Hai, Sayang.]
[Mas, kamu lagi makan?]
Jojo menunjukkan semangkuk mie yang sedang ia nikmati.
[Loh, kamu makan mie, Mas?]
Jojo hanya mengangguk dan melanjutkan menyeruput makanannya. Sementara gawai ia sandarkan pada gelas dan bisa menampilkan wajah Jojo yang asik makan.
[Kenapa nggak beli lauk mateng aja?]
[Nggak, Ndok. Udah laper. Lupa kalau di rumah nggak ada kamu, jadi tadi nggak mampir beli makan. Ya sudah, makan yang ada saja.]
[Maafin aku, ya, Mas?]
Jojo tersenyum memandang istrinya dari layar.
[Nggak apa. Udah kamu nggak usah khawatir. Gimana kondisi Papa?]
[Sudah pulang, tapi masih butuh istirahat. Faktor usia juga, Mas.]
[Hmmm gitu…]
Ada sebuah mobil berhenti di depan rumah Jojo dan seseorang membuka pagar tetapi lelaki yang sedang asik mengobrol dengan istrinya tidak mendengar. Hingga derit pintu membuat Jojo tersentak, seorang gadis yang tak lain adalah kekasihnya muncul dari balik pintu.
"Honey!" teriak Erika. Jojo tersedak dan langsung mengarahkan kamera ke meja. Jari telunjuknya ia taruh di bibir, meminta gadis yang telah berdiri tepat di depannya menghentikan langkah dan menahan kata yang ingin terucap.
Erika paham, bahwa Jojo sedang melakukan panggilan video dengan istrinya. Maka gadis itu tanpa suara memberikan kode untuk ke kamar.
Sementara Sari memanggil berulang nama suaminya dari balik layar yang menampilkan warna hitam. Setelah Jojo rasa aman, lelaki itu mengambil kembali gawainya.
[Sayang, maaf. Aku kaget tadi, ada kucing masuk. Lupa nutup pintu rapat.]
[Oh… aku pikir ada apa. Bikin panik aja.]
[Emang kamu pikir apa?]
[Maling.]
Jojo terpingkal-pingkal menutupi rasa bersalahnya. Ya, maling. Istrinya benar. Gadis yang masuk adalah maling hati yang telah mencuri paksa suaminya dengan cara gaib.
[Nggaklah... Masa maling jam segini.]
[Sekarang kamu udah tutup pintu?]
[Udah, Sayang. Barusan langsung aku tutup sekalian kunci. Ya udah, Ndok. Aku mau melanjutkan makan terus istirahat dulu, ya?]
[Hmmm… iya, Mas. Istirahat yang cukup.]
Mereka pun mengakhiri percakapan setelah mengucap salam. Jojo yang sudah rindu dengan kekasihnya, segera menghampiri ke kamar. Gadis itu telah mengganti pakaian tidur. Seperti magnet yang langsung tertarik saat melihat Erika. Lelaki itu segera melepas rindu dan tak memberi jeda untuk kekasihnya berbicara.
***
Jojo tertidur pulas setelah melepas hasrat dunia yang paling nikmat. Sementara Erika, tidak dapat memejamkan matanya dengan mudah. Ia memilih duduk di sofa kamar, mengambil sebatang nikotin dari kotak putih yang terletak di dalam tasnya. Menyalakan benda itu dan mulai bercumbu. Mencari ketenangan dalam setiap hisapan.
"Apa sudah benar keputusan ini?" gumamnya. Ia tidak percaya bahwa ayahnya terkena gangguan jiwa hingga harus dirawat di salah satu rumah sakit jiwa. Namun, ini yang terbaik. Daripada di rumah saja, tanpa penanganan paramedis, khawatir kondisinya memburuk.
Akan tetapi, hal yang tidak bisa ia pahami hingga sekarang, mengapa lelaki itu sangat mencintai mendiang istrinya. Padahal wanita yang dicintai itu sangat menyebalkan, tidak pernah menghargai pendapatannya. Apakah cinta sedemikian rumit?
Satu batang nikotin telah habis, membuat Erika belum juga ingin menjemput mimpinya. Ia kembali mengambil benda itu lagi dan menghisapnya. Kepulan asap kini membangunkan Jojo dari tidur, mencium aroma rokok menyengat. Lelaki bermata sipit itu membuka mata, mencari keberadaan istrinya dan mendapati tengah duduk di sofa. Lalu, ia pun segera bangkit dari ranjang, menghampiri.
"Kenapa belum tidur?" tanya Jojo. Lelaki itu duduk di sebelahnya. Lalu, meraih batang nikotin dari jari lentik Erika dan mulai menghisapnya.
Erika tersenyum tipis, apa ia harus menceritakan tentang masalah ayahnya ke Jojo? Mungkin saja kekasihnya bisa membantu mengeluarkan dana. Namun, hati kecil menolak. Ia memilih untuk tidak menceritakan kepada Jojo. Khawatir lelaki itu akan ilfeel jika mengetahui ayah kekasihnya menderita gangguan jiwa.
"Nggak apa-apa. Hon, istrimu perhiasannya banyak, ya? Itu semua dari kamu?" tanya Erika mengalihkan pembicaraan.
"Nggak juga, kok. Ada beberapa yang memang dia punya dari orang tuanya atau beli sendiri, sebelum menikah denganku. Kenapa?"
"Aku pengen gelang."
"Oh… oke. Setelah aku gajian kita beli, ya?"
"Thank you, Honey." Erika memeluk lelakinya dan meninggalkan kecupan di pipi.
"Tidur lagi, yuk? Aku harus bangun jam empat lho. Seperti biasa berangkat setelah subuh. Tadi pagi kesiangan. Sampai nggak mandi dan sarapan."
"Kenapa sih, kamu nggak cuti aja? 'Kan kita bisa habiskan waktu bareng. Nggak perlu capek-capek bangun pagi terus berangkat buru-buru."
"Kalau aku banyak cuti, bulan depan gaji aku nggak banyak. Nanti nggak bisa ajak kamu belanja-belanja. Apalagi kamu mau minta gelang 'kan?"
Erika menarik bibirnya ke bawah, menampilkan kekecewaan karena kali ini Jojo tidak bisa menuruti inginnya. Akan tetapi, ia berpikir lagi, ia pun butuh banyak uang untuk tambahan biaya keluarganya.
"Hmmm… baiklah."
Jojo mematikan puntung rokok dan segera mengangkat gadis di sebelahnya. Dengan mesra menaruh Erika di ranjang serta menutupi tubuh seksinya dengan selimut sebelum menciumnya mesra dan meninggalkan kecupan di kening.
Bersambung….
"Hei, Hon, ayo bangun." Jojo mengerjapkan mata. Menatap gadis yang tengah mencium pipinya sambil berbisik. Ia segera mendekap gadisnya, enggan beranjak. "Ayo, bangun. Katanya takut kesiangan lagi?" "Jam berapa sih, Hon?" "Jam empat." "Kamu kok, udah bangun?" Erika tidak menjawab. Ia memasukkan wajahnya ke dalam pelukan Jojo. Berdiam beberapa saat di sana. Bukan sudah bangun, lebih tepatnya gadis itu tidak bisa tidur nyenyak teringat sang ayah. Namun, Erika memilih tidak menceritakan ke Jojo. "Aku masakin sar
[Hai, Sayang.][Kamu lagi di rumah, Mas?][Iya. Baru selesai makan.][Makan malam apa?][Tadi aku beli di depan. Gimana kondisi Papah?][Alhamdulillah lebih baik, Mas. Mungkin aku pulang hari Minggu.]Jojo mengangguk. Memasang wajah ceria, menyambut kedatangan istrinya. Rayuan gombal pun ia lontarkan untuk meyakinkan wanita itu bahwa rindu padanya sangat menyiksa.Sementara Erika yang mendengar Jojo sedang mengobrol dengan Sari di panggilan video tidak menghiraukan. Ia tetap melanjutkan mencuci piring di dapur. Memberikan waktu untuk
"Pagi, Sayang… masak apa, Sayang?" sapa Jojo. Ia baru bangun, memeluk mesra tubuh Sari dari belakang yang sedang sibuk memasak di dapur."Masak yang ada di kulkas. Kamu stok ayam ungkep, Mas?""Oh, iya. Kemarin. Aku pikir kamu baru pulang hari ini. Jadi kemarin aku beli, niatnya buat makan semalam sama pagi ini. Praktis tinggal goreng.""Hmmm… oh, ya, Mas. Kamu ganti parfum baru?""Parfum? Nggak. Kenapa memangnya?""Itu yang di meja rias aku. Kayaknya aku baru lihat parfum itu."Jojo terdiam mencoba berpikir. Apa yang dimaksud Sari adalah parfum Erika yang mungkin tertinggal, pi
Satu bulan berlalu. Setiap Sari lembur bekerja, Jojo dan Erika mengambil kesempatan untuk jalan-jalan. Menghabiskan waktu dan uang. Bahkan mulai bulan ini, separuh gaji Jojo telah ia transfer ke rekening Erika. Beralasan Sari telah memiliki gaji sendiri, lelaki itu bilang kepada istrinya ingin menabung untuk membeli rumah di kampung. Sari pun setuju. Jadi, untuk kebutuhan sehari-hari istrinya yang mengeluarkan uang.Semua kebusukan Jojo dan Erika berjalan lancar. Sari tak lagi curiga karena sikap Jojo yang setiap hari romantis. Ia kembali menepis pikiran negatif yang sempat mengusik lagi. Bahkan ia juga sudah lupa dengan helai rambut di ranjang saat pulang kampung.Wanita itu fokus dengan pekerjaan barunya. Menikmati mengurus suami, rumah dan kantor. Sambil menanti momongan yang sampai sekarang belum juga dititipkan Tuhan
"Hei… kamu belum tidur?" Dengan sigap Jojo menghampiri Sari, merangkul wanita itu sambil menutup pintu belakang. Ia mengajak istrinya melangkah ke arah kamar. Mengalihkan pemandangan halaman belakang yang masih menampilkan asap, bakaran kertas."Kamu ngapain malam-malam di belakang?" tanya Sari penasaran."Ng-nggak ngapa-ngapain. Hirup udara malam aja.""Kok ada asap? Kamu bakar sesuatu?""Oh… aku ngerokok tadi. Baru selesai. Tidur, yuk?"Jojo memeluk Sari sebelum wanita itu merebahkan tubuh di ranjang saat mereka tiba di kamar. Ia pun meninggalkan kecupan di kening istrinya. Dengan wajah bahagia, karena sikap manis Jojo, Sari pun
"Hei, hei… dengar aku, Sayang. Sari akan pergi ke Makassar minggu depan. Kamu bisa tinggal di rumah dinasku sementara, gimana?""Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Aku sudah bilang sama kamu, Mas. Aku mau kita segera menikah. Mumpung dia tidak disini, mengapa kita tidak menikah saja minggu depan? Jadi, aku bisa kamu bawa pulang ke rumah dinas."Erika tampak mondar-mandir sambil berbicara. Saat Jojo mendekat dan mulai merayunya, ia kembali menghindar. Bahkan sentuhan Jojo pun ditepis."Mana mungkin bisa?" tanya Jojo."Bisa. Besok aku ke KUA dan urus semuanya. Kamu terima beres.""Bukan itu maksud aku, Honey. Duitnya udah nggak ada. Aku nggak
"Berangkat gelap, pulang pun hari sudah gelap. Kamu itu kerja atau kemana?"Sari menghentikan langkah kaki. Baru saja ia membuka pintu dan ingin mengucap salam. Namun, Jojo telah lebih dulu membuatnya terkejut dengan ucapannya. Lelaki itu duduk di sofa sambil bersedekap. Perlahan berdiri menghampiri istrinya yang terpaku di depan pintu.Sari tidak paham dengan ucapan Jojo tadi. Ia hanya diam menatap suaminya dalam, penuh tanya. Mengapa sikap Jojo terus memojokkannya. Seolah semua yang ia lakukan salah."Apa kecurigaanku benar tentang balas dendammu, ya? ucap Jojo lagi."Mas, kamu kenapa sih? Jangan ngaco, deh.""Ngaco? Kamu yang mulai ngac
Sari mengejar Jojo keluar rumah yang sudah tidak terlihat. Ia menghentikan langkahnya saat menyadari air mata yang telah membasahi wajah. Bagaimana mungkin bisa keluar rumah untuk mengejar Jojo. Apa pantas menyelesaikan masalah di tempat umum, tanyanya dalam hati. Pikiran waras masih dapat mengontrol emosi.Sementara Ambar yang sedang menyapu di teras rumahnya, melihat wajah sembab Sari. Ia yakin telah terjadi sesuatu dengan tetangganya itu.Ambar bergegas membuka pintu pagar dengan sedikit berlari menghampiri rumah Sari. Sari yang menyadari kedatangan Ambar segera menghapus semua tanda kesedihan yang sebenarnya sudah tidak bisa ia tutupkan."Mbak, nggak apa-apa?" Ambar berjalan menghampiri Sari.S