"Kenapa?"Siska refleks melangkah mundur.Dengan gerakan cepat, Yara meraih lengan Siska dan menariknya ke depan.Dia melihat ke bawah dan memperhatikan leher Siska lebih dekat. "Siska, di lehermu itu ... cupang?""Cupang?"Siska melepaskan diri dari tangan Yara dan melanjutkan apa yang dia lakukan tadi seolah tidak terjadi apa-apa.Yara masih tidak menyerah dan berjalan membuntutinya. "Siska, kamu pergi ke mana tadi malam? Di lehermu itu cupang, 'kan?""Cupang? Nggak mungkin!"Siska menghampiri cermin dan mengusap-usap tanda bekas di lehernya."Cupang apa? Agak gatal, paling bekas digigit nyamuk.""Masa?" tanya Yara ragu. "Siska, kamu punya pacar ya?""Nggak, beneran." Jawaban Siska sangat mantap. "Ibuku kemarin telepon aku perlu dibantu sesuatu, jadi aku pergi ke sana.""Beneran?"Yara masih tidak percaya.Dia meraih tangan Siska dan berkata, "Siska, aku nggak bermaksud yang lain. Walaupun kamu punya pacar dan nggak mau beri tahu aku, tapi janji kamu harus melindungi dirimu sendiri,
"Yudha, ada apa kamu telepon aku? Kangen ya?""Pergi ke kantor Lastana. Kutunggu sekarang juga."Melanie ingin bertanya lebih banyak, tetapi Yudha sudah menutup panggilan.Dia berpikir sejenak, segera mengemasi barang-barang dan pergi.Baru kali ini Yudha memanggilnya pergi ke kantor Perusahaan Lastana. Akhirnya, hubungan mereka mungkin akan melangkah lebih jauh.Sesampainya di gedung kantor Perusahaan Lastana, Melanie langsung menuju kantor direktur di lantai paling atas."Yudha?" Dia melangkah senyuman merekah."Duduk!" Sikap Yudha agak dingin.Melanie duduk di sofa dengan penuh kebingungan dan bertanya sambil tersenyum, "Ada apa?"Yudha melempar berkas yang ada di tangannya ke atas meja.Melanie ragu-ragu sejenak. Dia mengambil file itu dan membukanya.Itu berkas rawat inap Yara. Jelas disebutkan bahwa Yara sudah dua kali dirawat di rumah sakit dalam lima tahun terakhir.Pertama kali, dia koma karena kehilangan banyak darah akibat putusnya arteri di pergelangan tangan kanannya.Kali
Jeremy mendesah pelan."Kalau yang dimaksud pulih untuk kegiatan sehari-hari, selama tidak melakukan pekerjaan berat, tidak akan ada masalah."Mendengar ini, kecemasan Yara masih belum sirna.Benar saja, Jeremy melanjutkan, "Anita sudah menjelaskan, Anda pelukis yang sangat berbakat. Masalahnya, melukis adalah kegiatan yang berat untuk tangan, jadi ... jangan terlalu berharap."Yara tersenyum pahit. "Saya sebenarnya sudah tidak punya harapan sama sekali."Dia pun bangkit hendak pergi. "Dok, saya sudah merepotkan hari ini, jadi saya ...""Tunggu sebentar." Jeremy menyela Yara. "Bukannya tidak ada harapan sama sekali. Tapi kemampuan saya terbatas. Yang bisa memberi Anda keajaiban mungkin mentor saya.""Benarkah?" Yara hampir tidak percaya."Tapi mentor saya sedang di luar negeri." Jeremy mengeluarkan ponselnya. "Coba saya tanyakan sekarang.""Terima kasih Dok, terima kasih banyak," ucap Yara.Dia menunjuk ke luar dan berkata, "Saya menunggu di luar dulu."Tak lama, Jeremy membuka pintu d
"Nggak masalah, Yudha, aku sudah lama ingin pulang dan melanjutkan penelitian di dalam negeri. Terima kasih banyak sudah mengabulkan keinginanku.""Jangan begitu, Profesor Wijaya, negara ini juga butuh orang berbakat sepertimu.""Tapi, Yudha, kamu yakin nggak perlu memberi tahu gadis itu? Kamu menghabiskan dua triliun untuk semua ini.""Aku nggak melakukannya untuk dia saja. Sudah kubilang, negara ini membutuhkanmu.""Oke, oke." Profesor tua itu menambahkan, "Ngomong-ngomong, rehabilitasinya akan dimulai besok.""Oke." Yudha tidak berkata apa-apa lagi.Yara mengajak Anita dan Jeremy untuk makan makanan Barat bersama. Setelah makan, Jeremy kembali ke rumah sakit.Yara dan Anita berjalan-jalan bersama."Kak Anita, kamu dulu teman sekelas Dokter Jeremy?"Yara merasa mereka sepertinya hampir sebaya. Saat makan tadi, mereka tampak akrab sekaligus asing, seperti teman sekelas lama yang sudah lama tidak bertemu."Bukan." Anita tertawa. "Kami baru kenal kemarin, belum sampai sebulan.""Ah?" Ya
"Nona Yara," kata perawat di samping dengan lembut. "Beri tahu aku kalau kamu sudah nggak tahan.""Nggak ... aku masih tahan," jawab Yara susah payah.Wajahnya pucat seperti hantu dan dia memandang orang yang berdiri di luar.Yudha.Entah kenapa dia ada di sini. Mungkin itu memang halusinasinya.Yara menggertakkan gigi dan menatap wajah orang di luar jendela itu yang selalu tampak acuh tak acuh. Lalu dia merasa seperti sakitnya benar-benar berkurang.Sejak dulu, Yudha adalah obat, sekaligus racun baginya.Mengingat-ingat cintanya selama bertahun-tahun, rasanya bahkan lebih menyakitkan daripada sekarang.Yara tidak tahu kapan dia jatuh pingsan. Dia hanya ingat bahwa sebelum dia pingsan, hanya ada satu pikiran di benaknya: menceraikan Yudha secepatnya.Ketika dia bangun lagi, dia berada di bangsal."Nona Yara, kamu akhirnya bangun."Perawat itu sangat ketakutan."Sudah dijelaskan, jangan memaksakan diri. Pacarmu hampir memakanku hidup-hidup.""Pacar?" Yara tampak bingung."Orang yang men
Dia terlalu malas untuk meladeninya.Akan tetapi, Melanie tidak mau menyerah. "Ini salah satu acara paling bergengsi di dunia fashion, tapi kamu nggak bisa melihat karyamu sendiri tampil. Rara, kamu nggak menyesal?""Melanie, kamu kurang kerjaan ya?" Tindakannya ini sungguh di luar nalar Yara.Wajah penuh kemenangan Melanie sungguh menjijikkan."Benar sekali." Melanie tertawa. "Rara, kamu tahu nggak? Aku rela menyempatkan waktu untuk melihat ekspresi menyesal di wajahmu."Namun, begitu dia selesai berbicara, keduanya tercengang saat melihat karya di atas panggung.Karya terakhir Safira dan Candra diganti.Diganti dengan milik Yara.Bagaimana bisa terjadi?Seruan kagum di sekitar mereka terdengar semakin kencang. Terlihat jelas bahwa orang-orang yang hadir terkesima dengan dua karya tersebut.Melanie segera tersadar kembali dan menyeringai."Menarik, menarik sekali, Yara," katanya sinis. "Bagaimana rasanya, melihat mantan rekan kerja dan teman baikmu mencuri hasil karyamu?""Nggak mungk
Ibu jari Melanie menekan tepat di luka Yara. Yara dibanjiri keringat dingin karena kesakitan dan lupa melepaskan diri."Apa katamu?" tanya Yara dengan wajah pucat."Masih pura-pura di depanku?" Melanie mencibir, "Yara, kamu sungguh nggak tahu malu. Kamu bilang ingin menceraikan Yudha, tapi kamu mendekatinya lagi dan lagi."Dia mendorong Yara ke lantai. "Dia nggak mencintaimu. Apa pun yang terjadi padamu, walaupun kamu mati, itu bukan urusan dia. Kenapa kamu harus menyeretnya lagi?"Melanie sangat yakin, pasti Yudha bersedia membantu Yara karena Yara memohon dengan tidak tahu malu.Yara merasa seperti kehilangan jiwanya.Dia perlahan bangkit dan tertawa kecil."Kamu salah, bukan aku yang mengganggunya ..."Dia memandang Melanie dengan tatapan dingin, lalu menamparnya."Dia ingin membantumu menebus dosa-dosamu. Kalau kamu ingin marah, marahlah pada dirimu sendiri yang nggak punya hati nurani."Melanie menutupi wajahnya tidak percaya.Tiba-tiba, tepuk tangan meriah terdengar dari segala a
"Kenapa?" Mata Anita melebar.Yara tersenyum simpul penuh meminta maaf, lalu melangkah maju dan memeluk Anita."Kak Anita, maaf aku membuatmu kecewa.""Gadis bodoh, jangan bilang begitu."Meski Anita tidak tahu apa yang terjadi, dia yakin Yara tidak akan menyerah kecuali dia sudah menemui jalan buntu.Dia menghibur dengan lembut, "Rara, nggak apa-apa. Kalau nanti kamu butuh Kak Anita, langsung hubungi saja, jangan sungkan-sungkan.""Terima kasih Kak Anita, terima kasih."Yara kembali memeluk erat Anita, berbalik, lalu cepat-cepat pergi.Dia takut, jika dia tidak pergi, emosinya akan lepas tak terkendali.Setelah meninggalkan hotel, Yara mengirimkan pesan kepada Profesor Wijaya, memberi tahu bahwa dia tidak akan pergi ke sana lagi.Hari ini, Siska ada jadwal siaran langsung. Yara tidak pulang dan pergi ke sungai.Semakin mendekati musim penghujan, angin malam semakin dingin.Tak jauh dari sana, ada kapal pesiar mewah yang berlabuh di tepian sungai. Lampu-lampunya indah, cerminan glamorn