"Kenapa?" Mata Anita melebar.Yara tersenyum simpul penuh meminta maaf, lalu melangkah maju dan memeluk Anita."Kak Anita, maaf aku membuatmu kecewa.""Gadis bodoh, jangan bilang begitu."Meski Anita tidak tahu apa yang terjadi, dia yakin Yara tidak akan menyerah kecuali dia sudah menemui jalan buntu.Dia menghibur dengan lembut, "Rara, nggak apa-apa. Kalau nanti kamu butuh Kak Anita, langsung hubungi saja, jangan sungkan-sungkan.""Terima kasih Kak Anita, terima kasih."Yara kembali memeluk erat Anita, berbalik, lalu cepat-cepat pergi.Dia takut, jika dia tidak pergi, emosinya akan lepas tak terkendali.Setelah meninggalkan hotel, Yara mengirimkan pesan kepada Profesor Wijaya, memberi tahu bahwa dia tidak akan pergi ke sana lagi.Hari ini, Siska ada jadwal siaran langsung. Yara tidak pulang dan pergi ke sungai.Semakin mendekati musim penghujan, angin malam semakin dingin.Tak jauh dari sana, ada kapal pesiar mewah yang berlabuh di tepian sungai. Lampu-lampunya indah, cerminan glamorn
Revan dari tadi menunggu tak jauh dari sana dan baru berani mendekat setelah melihat Yara pergi.Dia menatap wajah bosnya dengan hati-hati."Pak Direktur, penyelenggara makan malam mengirimkan perahu kecil dan menyampaikan kita bisa naik perahu itu kapan saja.""Aku nggak akan pergi." Yudha melirik punggung Yara untuk terakhir kalinya. "Pulang saja.""Baik." Revan juga melirik ke arah Yara dan segera mengikuti Yudha pergi.Dia sebenarnya tidak begitu mengerti.Setelah membaca rekam medis Yara hari itu, sikap bosnya kepada Nyonya seolah berubah.Namun, dia tetap tidak mengubah keputusannya untuk menikahi Melanie.Di tengah perjalanan, Yudha bertanya, "Menurutmu, kenapa Yara ingin berhenti terapi menyembuhkan tangannya?"Dia benar-benar tidak dapat memahaminya.Menggambar adalah mimpi terbesar Yara, kenapa dia menyerah?Jika dia berhenti menggambar dan kehilangan pekerjaannya, bagaimana dia bisa menghidupi dirinya sendiri di masa depan?Wanita ini tidak punya otak sama sekali.Ini pertam
Yunita menatap Yudha lagi. Melihat matanya masih tertutup, dia tidak punya pilihan selain berterima kasih dan menutup telepon."Tuan, coba saya buat lagi."Yunita merasa panggilan telepon tadi benar-benar sulit dimengerti dan segera pergi ke dapur. Dia mengirimkan pesan lagi pada Yara untuk menjelaskan."Nyonya, maafkan saya. Tuan sendiri yang bilang bubur jamur kuping putih buatan saya itu rasanya salah. Saya mohon maaf. Selamat istirahat, Nyonya."Yara dan Siska benar-benar terdiam saat melihat pesan itu."Bajingan itu salah minum obat? Tengah malam begini ingin makan bubur jamur kuping putih?""Lagi pula, apa bubur jamur kuping putih buatanku seenak itu? Kenapa aku belum pernah dengar dia memujiku sebelumnya?""Bajingan sialan, dia cuma cari gara-gara. Sengaja memanfaatkan Bibi Yunita untuk menyiksaku!"Yara masih memaki-maki saat dia lihat Yunita menelepon lagi.Dia menggertakkan gigi dan mengangkatnya."Nyonya, maafkan saya. Bisakah Nyonya datang ke sini besok? Ajari saya cara mem
Yara langsung memahami pertanyaan Yunita dan dapat menebak bahwa dia pasti diperintah Yudha.Dia hanya bisa geleng kepala, menatap ke arah ruang tamu dan meninggikan suaranya dengan sengaja. "Nggak usah diobati. Aku nggak ingin berurusan lagi dengan orang-orang tertentu."Dia kenal Yudha dan tahu bahwa Yudha pasti tidak akan ikut campur jika dia mengatakan hal ini.Benar saja, terdengar suara langkah kaki di ruang tamu dan Yudha naik ke atas dengan marah.Yunita tentu saja juga menyadarinya.Dia menggelengkan kepalanya dan menghela napas. "Nyonya, kenapa Nyonya melakukan semua ini? Walaupun Nyonya marah sama Tuan, jangan sampai mengorbankan tubuh sendiri."Yara tahu bahwa keputusannya agak naif, tetapi dia tidak tahan membayangkan Yudha membantunya demi Melanie.Masalah tangannya, dia akan memikirkan solusinya sendiri. Bahkan jika dia tidak bisa menggambar lagi, pasti ada jalan keluar lain.Dia tersenyum simpul tanpa kata."Nyonya." Yunita bisa menahan kata-katanya lagi. "Kalian benar-
"Benarkah?" Melanie tidak bisa menahan tawanya.Dia takut Yudha akan menyesalinya. "Yudha, jangan khawatir. Aku pasti akan menyembuhkan tangan Rara."Setelah menutup telepon, Melanie menelepon Yara, tetapi gagal tersambung setelah beberapa kali mencoba.Kemarahannya meledak. "Wanita sialan ini memblokir nomorku.""Nggak bisa tersambung?" Silvia di sebelahnya juga mulai mengomel, "Anak sialan ini nggak punya kesadaran diri. Melly, tenang saja. Biar aku yang telepon."Dia sangat percaya diri. "Aku yakin dia nggak akan memblokir nomor ibunya sendiri."Tak disangka, Silvia juga tidak bisa meneleponnya setelah mencoba berkali-kali.Yara memblokir nomor mereka berdua.Silvia mengumpat tanpa henti penuh amarah."Sudah, jangan berisik!" teriak Melanie padanya.Silvia kaget. Ini pertama kalinya Melanie membentak dia sekeras itu."Bu!" Tidak ada orang lain di sekitar, jadi Melanie langsung memanggilnya ibu.Mata Silvia memerah saat itu juga. "Oke, anak baik."Kilatan rasa jijik melintas di mata
"Rara? Kamu sengaja nunggu Ibu ya?"Silvia memasang senyum hangat di wajahnya dan berjalan cepat ke arah Yara bersama barang-barangnya.Yara refleks mundur satu langkah, diliputi rasa waspada."Nak, kenapa kamu menghindar?"Silvia meletakkan barang-barangnya dan melangkah maju untuk meraih tangan Yara.Yara mengelak lagi. "Kamu mau apa lagi?""Aku ini ibumu, kenapa kamu curiga begitu dengan ibumu?"Silvia memeras matanya sekencang mungkin untuk menitikkan sedikit air mata."Kamu masih marah sama Ibu? Bagaimana tanganmu sekarang? Coba Ibu lihat."Yara menarik tangannya ke belakang punggung. Dia sudah terlalu sering disakiti dan tidak bisa percaya pada orang di depannya ini lagi."Kamu nggak perlu mengkhawatirkan urusanku. Kalau nggak ada urusan lain, langsung pulang saja."Silvia tertegun sejenak. Dia tidak menyangka, setelah sekian lama, gadis ini masih menyimpan rasa benci pada dirinya.Dia berusaha keras untuk menahan emosinya. "Rara, aku ibumu. Semua orang tua pasti menginginkan yan
"Yara!" Silvia seperti menggila."Cepat pergi dari sini. Mulai sekarang, aku nggak ada hubungannya denganmu atau keluarga Lubis."Yara berbalik dan berjalan menuju kompleks, pura-pura tidak mendengar Silvia menggila di belakangnya.Silvia marah-marah beberapa saat, lalu masuk ke dalam mobil dan pergi pulang.Dia perjalanan, dia menelepon Melanie untuk memberitahukan hasilnya."Melly, dia anak menjengkelkan, biarkan saja dia."Melanie tiba-tiba berteriak, "Apa kamu nggak dengar apa kata Yudha?"Silvia terlonjak kaget."Dasar sampah, nggak berguna! Jangan telepon aku lagi!" Melanie segera menutup telepon.Silvia tertegun sambil memegangi ponselnya.Melly baru saja memanggilnya ... sampah? Katanya, jangan telepon lagi?Dengan tangan gemetar, dia segera menelepon lagi, tetapi ditolak.Telepon lagi, ditolak lagi.Setelah itu, dia diblokir.Ketika Silvia kembali tersadar, dia mendapati wajahnya dipenuhi air mata."Nggak mungkin, kenapa Melly mengabaikanku? Nggak mungkin, dia cuma marah, ngga
Yara pergi ke rumah sakit keesokan harinya setelah sarapan.Seburuk apa pun Melanie, Zaina tidak pernah jahat padanya."Bibi, bagaimana keadaanmu?"Yara sudah pernah bertanya tentang penyakit Zaina, tetapi Zaina selalu menjawab tidak apa-apa. Padahal dia sudah lama tidak keluar dari rumah sakit."Biasa saja."Zaina menarik senyuman di bibirnya dan menatap pergelangan tangan kanan Yara yang masih terbungkus. Matanya langsung memerah."Sini, Bibi ingin lihat tanganmu."Dia menghela hidungnya dan mencoba mengendalikan emosi."Nggak sakit lagi."Yara duduk dengan patuh dan meletakkan tangan kanannya di tangan Zaina."Jahitannya bisa dilepas beberapa hari lagi."Dia mengatakannya sambil tersenyum. Tatapan prihatin di mata Zaina membuat hatinya terasa berat.Betapa indahnya jika Zaina adalah ibunya ..."Apa kata dokter? Apa ada pengaruhnya saat digunakan untuk aktivitas nantinya?""Nggak kok." Yara menggelengkan kepalanya."Kamu bohong padaku?" Zaina tidak bisa menahan tangisnya. "Kamu nggak