Yara pergi ke rumah sakit keesokan harinya setelah sarapan.Seburuk apa pun Melanie, Zaina tidak pernah jahat padanya."Bibi, bagaimana keadaanmu?"Yara sudah pernah bertanya tentang penyakit Zaina, tetapi Zaina selalu menjawab tidak apa-apa. Padahal dia sudah lama tidak keluar dari rumah sakit."Biasa saja."Zaina menarik senyuman di bibirnya dan menatap pergelangan tangan kanan Yara yang masih terbungkus. Matanya langsung memerah."Sini, Bibi ingin lihat tanganmu."Dia menghela hidungnya dan mencoba mengendalikan emosi."Nggak sakit lagi."Yara duduk dengan patuh dan meletakkan tangan kanannya di tangan Zaina."Jahitannya bisa dilepas beberapa hari lagi."Dia mengatakannya sambil tersenyum. Tatapan prihatin di mata Zaina membuat hatinya terasa berat.Betapa indahnya jika Zaina adalah ibunya ..."Apa kata dokter? Apa ada pengaruhnya saat digunakan untuk aktivitas nantinya?""Nggak kok." Yara menggelengkan kepalanya."Kamu bohong padaku?" Zaina tidak bisa menahan tangisnya. "Kamu nggak
Dia tertawa pelan. "Sebenarnya, aku nggak punya bukti kuat sama sekali. Kalau nggak, aku sudah akan bertindak tanpa kasihan. Ini hanya tebakanku saja."Kesedihan muncul di wajahnya. "Kamu boleh menyalahkanku, kamu boleh memarahiku atau memukulku, tapi aku nggak akan berubah pikiran. Aku sangat yakin Melanie yang melakukan ini. Bahkan ... ibuku cuma melakukan perintahnya.""Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin?"Zaina meletakkan tangan di dadanya, wajahnya semakin pucat."Bibi." Yara merasakan ada yang tidak beres. "Bibi, ada yang terasa nggak enak?""Aku baik-baik saja." Zaina mencoba untuk mengendalikan emosinya sebisa mungkin.Dia menatap Yara lagi. "Rara, terlepas apakah Melly yang melakukan ini atau bukan, Bibi ingin membantumu menyembuhkan tanganmu. Kamu sangat suka menggambar, kamu nggak boleh menyerah begitu saja."Yara tidak menduga Zaina masih peduli tentang tangannya setelah semua yang terjadi.Yara sangat terharu. "Bibi, Rara janji, apa pun yang terjadi, aku nggak a
Yara langsung tersipu dan tergagap, bisa dianggap dia membenarkannya.Bagaimanapun, dia tidak mungkin menyebarkan hal-hal buruk keluarganya sendiri."Kamu dan Bibi Zaina benar-benar berjodoh." Perawat itu melanjutkan.Bibi Zaina?Yara langsung menangkap orang yang Perawat itu katakan adalah Zaina.Yara pun tersenyum. "Kami sekeluarga, dia bibiku.""Aku bukan ngomong tentang itu." Perawat itu melirik Yara. "Sebenarnya, kalian terlihat mirip.""..." Yara tidak tahu merasa bagaimana, tetapi dia tidak menyangkal hal ini.Karena Siska pernah juga mengatakan dia tidak mirip dengan Silvia, tetapi terlihat seperti ibu dan anak dengan Zaina.Sayangnya dalam hidupnya, Yara tidak mungkin memiliki ibu sebaik Zaina."Beberapa hari yang lalu, waktu kamu butuh transfusi darah, dia yang mendonorkannya dan sekarang waktu dia membutuhkannya, kamu kebetulan ada di sini."Darah sudah selesai diambil, perawat itu mengemasi barang-barangnya. "Apa namanya ini kalau bukan jodoh?"Wajah Yara sedikit pucat dan
Yara menunduk dan tidak mengatakan apa-apa.Siska tahu Yara merasa sedih, jadi dia memeluknya. "Tapi, nggak apa-apa, kalau kita nggak bisa memiliki orang tua sebaik itu, kita harus menjadikan diri kita ibu seperti itu di masa depan."Ketika Siska mengatakan ini, wajahnya penuh dengan pengertian, tetapi dia tidak menyadari wajah Yara menjadi lebih muram."Siska, tidurlah lebih awal." Yara tersenyum dan bersiap untuk mandi.Namun, saat dia berdiri, teleponnya berdering, ternyata Yudha yang menelepon."Aneh, apa dia takut aku akan melupakan janji besok?"Yara hanya mengangkat teleponnya."Turunlah, aku ada di bawah." Suara Yudha terdengar sedikit cemas."Ada apa?" Perasaan tidak enak muncul di hati Yara."Pihak rumah tua menelepon, mereka bilang, kakek sakit.""Aku akan segera turun."Yara buru-buru mengganti pakaiannya, memberi tahu Siska dan segera turun ke bawah.Yudha memang sedang menunggu di bawah.Mereka berdua masuk ke dalam mobil dalam diam dan langsung menuju ke arah rumah tua.
"Bu." Tak disangka, Yudha yang berjalan di depan tiba-tiba berbalik dan memotong kata-kata Agnes, "Bagaimana kondisi Kakek?""Dokter ada di atas, mungkin sebentar lagi turun." Agnes menatap Yara dengan dingin. "Jaga dirimu sendiri."Yara tidak memedulikannya, bagaimanapun juga, dia dan Yudha akan segera bercerai, dia tidak perlu menerima penderitaan dari keluarga Lastana.Mereka bertiga menunggu di ruang tamu untuk beberapa saat sebelum mereka melihat seorang pria jangkung masuk.Pria itu mengenakan pakaian kasual berwarna abu-abu dan putih, terlihat bermur awal tiga puluhan. Dia terlihat elegan, sudut mata dan alisnya selalu membawa senyuman.Dia adalah putra Kakek Susilo, paman Yudha, Tanto Lastana."Kak!" Begitu Tanto masuk, dia langsung memberi salam pada Agnes.Agnes hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa.Agnes tidak menyukai Tanto dan bahkan bisa dikatakan membencinya.Menurutnya, Tanto adalah seorang pemalas, pemboros yang hanya mengandalkannya dan putranya yang masih kec
"Aku hanya akan melihat dari pintu dan nggak akan bersuara." Yara segera meyakinkan kalau dia benar-benar mau pergi.Agnes masih berusaha menghentikannya, tetapi Yudha berbicara, "Sudahlah, biarkan dia pergi."Dengan begitu, Yara mengikuti Yudha dengan hati-hati menaiki tangga.Begitu mereka berdua pergi, Agnes bergumam dengan curiga, "Benar-benar tak terduga."Dari dulu, di keluarga Lastana, tak peduli bagaimanapun Agnes ingin menghentikan Yara, Yudha tak pernah peduli dan bahkan akan membantu.Namun, hari ini, Yudha jelas agak aneh.Tanto yang duduk di seberang meja, tersenyum dan berbicara, "Kak, mereka tidur bersama setiap hari, tidak aneh kalau ada sedikit perasaan di antara mereka."Agnes memelototinya, dia merasa makin tidak senang.Agnes tidak pernah menyetujui pernikahan ini, tetapi dia masih bisa mentolerir sikap Yudha sebelumnya.Namun, kalau Yudha benar-benar mau menerima Yara sebagai istrinya, Agnes tidak akan setuju.Yara mengikuti Yudha ke kamar Kakek Susilo. Yudha mendo
Yara memandang Yudha untuk meminta bantuan, tetapi dia malah melihat Yudha mengangguk tak berdaya.Yara tidak punya pilihan selain mengulurkan tangannya. "Kakek, benar-benar nggak apa-apa, sebentar lagi juga sembuh."Tangan Kakek Susilo sangat kurus, tulang-tulangnya sampai bisa terlihat. Punggung tangannya tertutup bintik-bintik tanda penuaan, tetapi telapak tangannya sangat hangat.Dia dengan lembut menyentuh jari-jari Yara dan kemudian mengangkat kepalanya dengan sakit hati. "Nak, tanganmu terluka sampai begini, apa kamu masih melukis?"Jantung Yara berdebar, dia berusaha menundukkan matanya dan berbohong sambil tersenyum. "Bisa, beberapa hari lagi juga sudah bisa."Kakek Susilo memandang Yudha, "Katakan.""Kalau nggak dirawat dengan baik, tangan kanannya mungkin nggak bisa menggambar lagi." Yudha dengan tenang menceritakan."Yudha!" Yara dengan marah memelototi dan buru-buru melihat Kakek Susilo. Benar saja, dia melihat Kakek Susilo sedang termenung."Kakek, jangan dengarkan omong
"Kamu kembali ke kamarmu dan tidur dulu, nggak perlu menungguku," ucap Yudha dan mengikuti Agnes ke atas.Setelah keduanya pergi, hanya Yara dan Tanto yang tersisa di ruang tamu.Tanto melihat kain kasa di pergelangan tangan Yara dengan tatapan berbeda dan bertanya, "Apa ini benar-benar perbuatan Melanie?""Hah?" Yara agak terkejut, bagaimana Tanto tahu lukanya berkaitan dengan Melanie?Apa Yudha yang mengatakannya?Yara merasa itu tidak mungkin.Namun, selain itu, dia tidak bisa memikirkan orang lain."Yara," Tanto mendekatinya dengan wajah penasaran. "Menurutmu Melanie memberi Yudha minum obat apa?""Paman." Yara bangkit dengan canggung. "Sudah malam, aku akan naik untuk beristirahat dulu, Paman juga harus beristirahat lebih awal."Untungnya, Tanto tahu apa yang pantas dan melambaikan tangannya, membiarkan Yara pergi.Ketika melewati ruang kerja, Yara menemukan pintunya tidak tertutup rapat, dia bisa mendengar suara Yudha dan Agnes."Sudah setahun, kenapa dia belum hamil?"Itu adalah