"Benarkah?" Melanie tidak bisa menahan tawanya.Dia takut Yudha akan menyesalinya. "Yudha, jangan khawatir. Aku pasti akan menyembuhkan tangan Rara."Setelah menutup telepon, Melanie menelepon Yara, tetapi gagal tersambung setelah beberapa kali mencoba.Kemarahannya meledak. "Wanita sialan ini memblokir nomorku.""Nggak bisa tersambung?" Silvia di sebelahnya juga mulai mengomel, "Anak sialan ini nggak punya kesadaran diri. Melly, tenang saja. Biar aku yang telepon."Dia sangat percaya diri. "Aku yakin dia nggak akan memblokir nomor ibunya sendiri."Tak disangka, Silvia juga tidak bisa meneleponnya setelah mencoba berkali-kali.Yara memblokir nomor mereka berdua.Silvia mengumpat tanpa henti penuh amarah."Sudah, jangan berisik!" teriak Melanie padanya.Silvia kaget. Ini pertama kalinya Melanie membentak dia sekeras itu."Bu!" Tidak ada orang lain di sekitar, jadi Melanie langsung memanggilnya ibu.Mata Silvia memerah saat itu juga. "Oke, anak baik."Kilatan rasa jijik melintas di mata
"Rara? Kamu sengaja nunggu Ibu ya?"Silvia memasang senyum hangat di wajahnya dan berjalan cepat ke arah Yara bersama barang-barangnya.Yara refleks mundur satu langkah, diliputi rasa waspada."Nak, kenapa kamu menghindar?"Silvia meletakkan barang-barangnya dan melangkah maju untuk meraih tangan Yara.Yara mengelak lagi. "Kamu mau apa lagi?""Aku ini ibumu, kenapa kamu curiga begitu dengan ibumu?"Silvia memeras matanya sekencang mungkin untuk menitikkan sedikit air mata."Kamu masih marah sama Ibu? Bagaimana tanganmu sekarang? Coba Ibu lihat."Yara menarik tangannya ke belakang punggung. Dia sudah terlalu sering disakiti dan tidak bisa percaya pada orang di depannya ini lagi."Kamu nggak perlu mengkhawatirkan urusanku. Kalau nggak ada urusan lain, langsung pulang saja."Silvia tertegun sejenak. Dia tidak menyangka, setelah sekian lama, gadis ini masih menyimpan rasa benci pada dirinya.Dia berusaha keras untuk menahan emosinya. "Rara, aku ibumu. Semua orang tua pasti menginginkan yan
"Yara!" Silvia seperti menggila."Cepat pergi dari sini. Mulai sekarang, aku nggak ada hubungannya denganmu atau keluarga Lubis."Yara berbalik dan berjalan menuju kompleks, pura-pura tidak mendengar Silvia menggila di belakangnya.Silvia marah-marah beberapa saat, lalu masuk ke dalam mobil dan pergi pulang.Dia perjalanan, dia menelepon Melanie untuk memberitahukan hasilnya."Melly, dia anak menjengkelkan, biarkan saja dia."Melanie tiba-tiba berteriak, "Apa kamu nggak dengar apa kata Yudha?"Silvia terlonjak kaget."Dasar sampah, nggak berguna! Jangan telepon aku lagi!" Melanie segera menutup telepon.Silvia tertegun sambil memegangi ponselnya.Melly baru saja memanggilnya ... sampah? Katanya, jangan telepon lagi?Dengan tangan gemetar, dia segera menelepon lagi, tetapi ditolak.Telepon lagi, ditolak lagi.Setelah itu, dia diblokir.Ketika Silvia kembali tersadar, dia mendapati wajahnya dipenuhi air mata."Nggak mungkin, kenapa Melly mengabaikanku? Nggak mungkin, dia cuma marah, ngga
Yara pergi ke rumah sakit keesokan harinya setelah sarapan.Seburuk apa pun Melanie, Zaina tidak pernah jahat padanya."Bibi, bagaimana keadaanmu?"Yara sudah pernah bertanya tentang penyakit Zaina, tetapi Zaina selalu menjawab tidak apa-apa. Padahal dia sudah lama tidak keluar dari rumah sakit."Biasa saja."Zaina menarik senyuman di bibirnya dan menatap pergelangan tangan kanan Yara yang masih terbungkus. Matanya langsung memerah."Sini, Bibi ingin lihat tanganmu."Dia menghela hidungnya dan mencoba mengendalikan emosi."Nggak sakit lagi."Yara duduk dengan patuh dan meletakkan tangan kanannya di tangan Zaina."Jahitannya bisa dilepas beberapa hari lagi."Dia mengatakannya sambil tersenyum. Tatapan prihatin di mata Zaina membuat hatinya terasa berat.Betapa indahnya jika Zaina adalah ibunya ..."Apa kata dokter? Apa ada pengaruhnya saat digunakan untuk aktivitas nantinya?""Nggak kok." Yara menggelengkan kepalanya."Kamu bohong padaku?" Zaina tidak bisa menahan tangisnya. "Kamu nggak
Dia tertawa pelan. "Sebenarnya, aku nggak punya bukti kuat sama sekali. Kalau nggak, aku sudah akan bertindak tanpa kasihan. Ini hanya tebakanku saja."Kesedihan muncul di wajahnya. "Kamu boleh menyalahkanku, kamu boleh memarahiku atau memukulku, tapi aku nggak akan berubah pikiran. Aku sangat yakin Melanie yang melakukan ini. Bahkan ... ibuku cuma melakukan perintahnya.""Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin?"Zaina meletakkan tangan di dadanya, wajahnya semakin pucat."Bibi." Yara merasakan ada yang tidak beres. "Bibi, ada yang terasa nggak enak?""Aku baik-baik saja." Zaina mencoba untuk mengendalikan emosinya sebisa mungkin.Dia menatap Yara lagi. "Rara, terlepas apakah Melly yang melakukan ini atau bukan, Bibi ingin membantumu menyembuhkan tanganmu. Kamu sangat suka menggambar, kamu nggak boleh menyerah begitu saja."Yara tidak menduga Zaina masih peduli tentang tangannya setelah semua yang terjadi.Yara sangat terharu. "Bibi, Rara janji, apa pun yang terjadi, aku nggak a
Yara langsung tersipu dan tergagap, bisa dianggap dia membenarkannya.Bagaimanapun, dia tidak mungkin menyebarkan hal-hal buruk keluarganya sendiri."Kamu dan Bibi Zaina benar-benar berjodoh." Perawat itu melanjutkan.Bibi Zaina?Yara langsung menangkap orang yang Perawat itu katakan adalah Zaina.Yara pun tersenyum. "Kami sekeluarga, dia bibiku.""Aku bukan ngomong tentang itu." Perawat itu melirik Yara. "Sebenarnya, kalian terlihat mirip.""..." Yara tidak tahu merasa bagaimana, tetapi dia tidak menyangkal hal ini.Karena Siska pernah juga mengatakan dia tidak mirip dengan Silvia, tetapi terlihat seperti ibu dan anak dengan Zaina.Sayangnya dalam hidupnya, Yara tidak mungkin memiliki ibu sebaik Zaina."Beberapa hari yang lalu, waktu kamu butuh transfusi darah, dia yang mendonorkannya dan sekarang waktu dia membutuhkannya, kamu kebetulan ada di sini."Darah sudah selesai diambil, perawat itu mengemasi barang-barangnya. "Apa namanya ini kalau bukan jodoh?"Wajah Yara sedikit pucat dan
Yara menunduk dan tidak mengatakan apa-apa.Siska tahu Yara merasa sedih, jadi dia memeluknya. "Tapi, nggak apa-apa, kalau kita nggak bisa memiliki orang tua sebaik itu, kita harus menjadikan diri kita ibu seperti itu di masa depan."Ketika Siska mengatakan ini, wajahnya penuh dengan pengertian, tetapi dia tidak menyadari wajah Yara menjadi lebih muram."Siska, tidurlah lebih awal." Yara tersenyum dan bersiap untuk mandi.Namun, saat dia berdiri, teleponnya berdering, ternyata Yudha yang menelepon."Aneh, apa dia takut aku akan melupakan janji besok?"Yara hanya mengangkat teleponnya."Turunlah, aku ada di bawah." Suara Yudha terdengar sedikit cemas."Ada apa?" Perasaan tidak enak muncul di hati Yara."Pihak rumah tua menelepon, mereka bilang, kakek sakit.""Aku akan segera turun."Yara buru-buru mengganti pakaiannya, memberi tahu Siska dan segera turun ke bawah.Yudha memang sedang menunggu di bawah.Mereka berdua masuk ke dalam mobil dalam diam dan langsung menuju ke arah rumah tua.
"Bu." Tak disangka, Yudha yang berjalan di depan tiba-tiba berbalik dan memotong kata-kata Agnes, "Bagaimana kondisi Kakek?""Dokter ada di atas, mungkin sebentar lagi turun." Agnes menatap Yara dengan dingin. "Jaga dirimu sendiri."Yara tidak memedulikannya, bagaimanapun juga, dia dan Yudha akan segera bercerai, dia tidak perlu menerima penderitaan dari keluarga Lastana.Mereka bertiga menunggu di ruang tamu untuk beberapa saat sebelum mereka melihat seorang pria jangkung masuk.Pria itu mengenakan pakaian kasual berwarna abu-abu dan putih, terlihat bermur awal tiga puluhan. Dia terlihat elegan, sudut mata dan alisnya selalu membawa senyuman.Dia adalah putra Kakek Susilo, paman Yudha, Tanto Lastana."Kak!" Begitu Tanto masuk, dia langsung memberi salam pada Agnes.Agnes hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa.Agnes tidak menyukai Tanto dan bahkan bisa dikatakan membencinya.Menurutnya, Tanto adalah seorang pemalas, pemboros yang hanya mengandalkannya dan putranya yang masih kec