"Nona Yara," kata perawat di samping dengan lembut. "Beri tahu aku kalau kamu sudah nggak tahan.""Nggak ... aku masih tahan," jawab Yara susah payah.Wajahnya pucat seperti hantu dan dia memandang orang yang berdiri di luar.Yudha.Entah kenapa dia ada di sini. Mungkin itu memang halusinasinya.Yara menggertakkan gigi dan menatap wajah orang di luar jendela itu yang selalu tampak acuh tak acuh. Lalu dia merasa seperti sakitnya benar-benar berkurang.Sejak dulu, Yudha adalah obat, sekaligus racun baginya.Mengingat-ingat cintanya selama bertahun-tahun, rasanya bahkan lebih menyakitkan daripada sekarang.Yara tidak tahu kapan dia jatuh pingsan. Dia hanya ingat bahwa sebelum dia pingsan, hanya ada satu pikiran di benaknya: menceraikan Yudha secepatnya.Ketika dia bangun lagi, dia berada di bangsal."Nona Yara, kamu akhirnya bangun."Perawat itu sangat ketakutan."Sudah dijelaskan, jangan memaksakan diri. Pacarmu hampir memakanku hidup-hidup.""Pacar?" Yara tampak bingung."Orang yang men
Dia terlalu malas untuk meladeninya.Akan tetapi, Melanie tidak mau menyerah. "Ini salah satu acara paling bergengsi di dunia fashion, tapi kamu nggak bisa melihat karyamu sendiri tampil. Rara, kamu nggak menyesal?""Melanie, kamu kurang kerjaan ya?" Tindakannya ini sungguh di luar nalar Yara.Wajah penuh kemenangan Melanie sungguh menjijikkan."Benar sekali." Melanie tertawa. "Rara, kamu tahu nggak? Aku rela menyempatkan waktu untuk melihat ekspresi menyesal di wajahmu."Namun, begitu dia selesai berbicara, keduanya tercengang saat melihat karya di atas panggung.Karya terakhir Safira dan Candra diganti.Diganti dengan milik Yara.Bagaimana bisa terjadi?Seruan kagum di sekitar mereka terdengar semakin kencang. Terlihat jelas bahwa orang-orang yang hadir terkesima dengan dua karya tersebut.Melanie segera tersadar kembali dan menyeringai."Menarik, menarik sekali, Yara," katanya sinis. "Bagaimana rasanya, melihat mantan rekan kerja dan teman baikmu mencuri hasil karyamu?""Nggak mungk
Ibu jari Melanie menekan tepat di luka Yara. Yara dibanjiri keringat dingin karena kesakitan dan lupa melepaskan diri."Apa katamu?" tanya Yara dengan wajah pucat."Masih pura-pura di depanku?" Melanie mencibir, "Yara, kamu sungguh nggak tahu malu. Kamu bilang ingin menceraikan Yudha, tapi kamu mendekatinya lagi dan lagi."Dia mendorong Yara ke lantai. "Dia nggak mencintaimu. Apa pun yang terjadi padamu, walaupun kamu mati, itu bukan urusan dia. Kenapa kamu harus menyeretnya lagi?"Melanie sangat yakin, pasti Yudha bersedia membantu Yara karena Yara memohon dengan tidak tahu malu.Yara merasa seperti kehilangan jiwanya.Dia perlahan bangkit dan tertawa kecil."Kamu salah, bukan aku yang mengganggunya ..."Dia memandang Melanie dengan tatapan dingin, lalu menamparnya."Dia ingin membantumu menebus dosa-dosamu. Kalau kamu ingin marah, marahlah pada dirimu sendiri yang nggak punya hati nurani."Melanie menutupi wajahnya tidak percaya.Tiba-tiba, tepuk tangan meriah terdengar dari segala a
"Kenapa?" Mata Anita melebar.Yara tersenyum simpul penuh meminta maaf, lalu melangkah maju dan memeluk Anita."Kak Anita, maaf aku membuatmu kecewa.""Gadis bodoh, jangan bilang begitu."Meski Anita tidak tahu apa yang terjadi, dia yakin Yara tidak akan menyerah kecuali dia sudah menemui jalan buntu.Dia menghibur dengan lembut, "Rara, nggak apa-apa. Kalau nanti kamu butuh Kak Anita, langsung hubungi saja, jangan sungkan-sungkan.""Terima kasih Kak Anita, terima kasih."Yara kembali memeluk erat Anita, berbalik, lalu cepat-cepat pergi.Dia takut, jika dia tidak pergi, emosinya akan lepas tak terkendali.Setelah meninggalkan hotel, Yara mengirimkan pesan kepada Profesor Wijaya, memberi tahu bahwa dia tidak akan pergi ke sana lagi.Hari ini, Siska ada jadwal siaran langsung. Yara tidak pulang dan pergi ke sungai.Semakin mendekati musim penghujan, angin malam semakin dingin.Tak jauh dari sana, ada kapal pesiar mewah yang berlabuh di tepian sungai. Lampu-lampunya indah, cerminan glamorn
Revan dari tadi menunggu tak jauh dari sana dan baru berani mendekat setelah melihat Yara pergi.Dia menatap wajah bosnya dengan hati-hati."Pak Direktur, penyelenggara makan malam mengirimkan perahu kecil dan menyampaikan kita bisa naik perahu itu kapan saja.""Aku nggak akan pergi." Yudha melirik punggung Yara untuk terakhir kalinya. "Pulang saja.""Baik." Revan juga melirik ke arah Yara dan segera mengikuti Yudha pergi.Dia sebenarnya tidak begitu mengerti.Setelah membaca rekam medis Yara hari itu, sikap bosnya kepada Nyonya seolah berubah.Namun, dia tetap tidak mengubah keputusannya untuk menikahi Melanie.Di tengah perjalanan, Yudha bertanya, "Menurutmu, kenapa Yara ingin berhenti terapi menyembuhkan tangannya?"Dia benar-benar tidak dapat memahaminya.Menggambar adalah mimpi terbesar Yara, kenapa dia menyerah?Jika dia berhenti menggambar dan kehilangan pekerjaannya, bagaimana dia bisa menghidupi dirinya sendiri di masa depan?Wanita ini tidak punya otak sama sekali.Ini pertam
Yunita menatap Yudha lagi. Melihat matanya masih tertutup, dia tidak punya pilihan selain berterima kasih dan menutup telepon."Tuan, coba saya buat lagi."Yunita merasa panggilan telepon tadi benar-benar sulit dimengerti dan segera pergi ke dapur. Dia mengirimkan pesan lagi pada Yara untuk menjelaskan."Nyonya, maafkan saya. Tuan sendiri yang bilang bubur jamur kuping putih buatan saya itu rasanya salah. Saya mohon maaf. Selamat istirahat, Nyonya."Yara dan Siska benar-benar terdiam saat melihat pesan itu."Bajingan itu salah minum obat? Tengah malam begini ingin makan bubur jamur kuping putih?""Lagi pula, apa bubur jamur kuping putih buatanku seenak itu? Kenapa aku belum pernah dengar dia memujiku sebelumnya?""Bajingan sialan, dia cuma cari gara-gara. Sengaja memanfaatkan Bibi Yunita untuk menyiksaku!"Yara masih memaki-maki saat dia lihat Yunita menelepon lagi.Dia menggertakkan gigi dan mengangkatnya."Nyonya, maafkan saya. Bisakah Nyonya datang ke sini besok? Ajari saya cara mem
Yara langsung memahami pertanyaan Yunita dan dapat menebak bahwa dia pasti diperintah Yudha.Dia hanya bisa geleng kepala, menatap ke arah ruang tamu dan meninggikan suaranya dengan sengaja. "Nggak usah diobati. Aku nggak ingin berurusan lagi dengan orang-orang tertentu."Dia kenal Yudha dan tahu bahwa Yudha pasti tidak akan ikut campur jika dia mengatakan hal ini.Benar saja, terdengar suara langkah kaki di ruang tamu dan Yudha naik ke atas dengan marah.Yunita tentu saja juga menyadarinya.Dia menggelengkan kepalanya dan menghela napas. "Nyonya, kenapa Nyonya melakukan semua ini? Walaupun Nyonya marah sama Tuan, jangan sampai mengorbankan tubuh sendiri."Yara tahu bahwa keputusannya agak naif, tetapi dia tidak tahan membayangkan Yudha membantunya demi Melanie.Masalah tangannya, dia akan memikirkan solusinya sendiri. Bahkan jika dia tidak bisa menggambar lagi, pasti ada jalan keluar lain.Dia tersenyum simpul tanpa kata."Nyonya." Yunita bisa menahan kata-katanya lagi. "Kalian benar-
"Benarkah?" Melanie tidak bisa menahan tawanya.Dia takut Yudha akan menyesalinya. "Yudha, jangan khawatir. Aku pasti akan menyembuhkan tangan Rara."Setelah menutup telepon, Melanie menelepon Yara, tetapi gagal tersambung setelah beberapa kali mencoba.Kemarahannya meledak. "Wanita sialan ini memblokir nomorku.""Nggak bisa tersambung?" Silvia di sebelahnya juga mulai mengomel, "Anak sialan ini nggak punya kesadaran diri. Melly, tenang saja. Biar aku yang telepon."Dia sangat percaya diri. "Aku yakin dia nggak akan memblokir nomor ibunya sendiri."Tak disangka, Silvia juga tidak bisa meneleponnya setelah mencoba berkali-kali.Yara memblokir nomor mereka berdua.Silvia mengumpat tanpa henti penuh amarah."Sudah, jangan berisik!" teriak Melanie padanya.Silvia kaget. Ini pertama kalinya Melanie membentak dia sekeras itu."Bu!" Tidak ada orang lain di sekitar, jadi Melanie langsung memanggilnya ibu.Mata Silvia memerah saat itu juga. "Oke, anak baik."Kilatan rasa jijik melintas di mata