"Jangan minta Rara, kita juga bisa bolak-balik beberapa kali lagi."Sebelum Yara sempat berkata apa pun, Felix lebih dahulu menjawab.Yudha mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Dia nggak sedang hamil, dia nggak serapuh itu!"Melihat Felix hendak membantah lagi, Yara segera melangkah ke depan dan menariknya. "Nggak apa-apa, aku bisa bawa sedikit.""Jangan!" desak Felix, "Masuk saja dulu, biar aku yang bawa. Yudha, biarkan saja di sana kalau kamu nggak mau bawa."Yudha terdiam kaget. Dia belum pernah melihat Felix seperti ini.Seseorang yang membuat keputusan untuk tidak pergi dari rumah pada usia enam tahun. Dia begitu perhatian dan protektif terhadap adik iparnya, yang baru saja dia temui? Sihir macam apa yang diberikan Yara kepada Felix?Dia menyaksikan dua orang itu pergi bersama, merasa seperti orang luar.Dia membawa barang-barangnya dengan wajah yang semakin tidak senang. Dari kejauhan, dia melihat seorang nenek, ketua panti asuhan, bergegas keluar bersama sekelompok anak."Pak
"Kata Nenek, kalau Okti sudah besar nanti, Okti bisa punya rumah sendiri." Wajah bulat Okti dipenuhi harapan.Yara tidak terlalu mengerti. Bukankah anak yang lebih muda lebih mudah diadopsi?Saat bertanya-tanya dalam hati, dia merasakan seseorang menarik sudut bajunya dari belakang.Dia menoleh ke belakang dan melihat seorang gadis berusia sekitar 11 atau 12 tahun, yang pasti merupakan anak tertua di antara anak-anak ini.Anak itu merendahkan suaranya dan memberi tahu Yara, "Okti punya penyakit jantung, nggak ada yang mau mengadopsi dia."Hati Yara tiba-tiba terasa sesak. Pantas saja, anak-anak lain berlarian, tetapi Okti terus mengikuti dirinya.Dia menepuk kepala anak yang lebih tua itu, lalu berbalik dan memeluk Okti dengan lembut. "Nenek benar, setelah Okti besar dan bekerja nanti, Okti bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan."Kali ini, anak laki-laki yang tadi bicara lagi. Dia memandang Okti dengan wajah serius. "Aku bisa tumbuh besar sebelum kamu. Apa pun yang kamu inginkan, a
"Kak Rara, Kak Rara," Okti menarik-narik celana Yara dengan mata merah. "Tolong bantu mereka. Kak Deka sangat suka layang-layang itu.""Nggak apa-apa." Deka, yang matanya tak bisa berhenti menatap layang-layang itu beberapa detik yang lalu, segera berlari ke arah Okti. "Nggak apa-apa. Saat aku besar nanti, aku bisa beli layang-layang sendiri yang lebih besar dan lebih bagus."Dia menyeka air mata Okti dan menghibur, "Okti, jangan menangis. Kalau kamu menangis, kamu nggak cantik lagi."Yara merasa sedikit tergerak melihat mereka. Dia lalu melihat ke arah layang-layang itu.Dia berjongkok dan menunjuk ke arah Yudha yang duduk tidak jauh dari sana. "Orang yang di sana mungkin bisa menurunkan layang-layangnya. Ayo kita minta bantuan padanya."Tak terduga, Okti langsung bersembunyi di belakang Yara. "Nggak mau, dia menakutkan.""Biar aku yang pergi, aku nggak takut!" Deka bangkit. Rupanya, si kecil itu masih sangat menyukai layang-layangnya.Yara memimpin sekelompok anak-anak itu ke arah Yu
"Kak Rara." Okti segera berlari ke arah Yara dan berbisik dengan suara yang bisa didengar semua orang. "Paman itu nggak tahu malu. Dia sudah tua, tapi masih minta dipanggil kakak.""Hahaha ..." Yara langsung tertawa lepas, menyadari betapa manisnya Okti.Tawanya semakin lepas saat dipandangnya wajah Yudha yang begitu marah."Kalau kamu nggak berhenti tertawa, aku nggak akan membantumu." Yudha mengancam Yara dengan kejam.Yara segera menahan tawanya dan menggelengkan kepala. "Iya, iya, tolong bantu aku.""Tolong, tolong bantu." Okti juga ikut memohon lagi."Iblis kecil!" Yudha terlihat jijik, tetapi dia tetap pergi untuk membantu mengambil layang-layang.Tubuhnya tinggi dan lengannya panjang. Dia dapat meraih layang-layang yang terlihat begitu tinggi hanya dengan merentangkan tangan."Hore, akhirnya!" Anak-anak langsung bersorak di sekeliling Yudha."Kak, kamu luar biasa, kamu pahlawan yang paling hebat." Okti memeluk paha Yudha. "Aku suka Kakak."Yudha terpaku di sana. Anak kecil yang
Deka bilang ingin belajar dari Yudha, tapi begitu dua bocah nakal itu bertemu, mereka malah bertengkar."Anak kecil, tahu apa kamu?" Yudha berkata seolah-olah dia sudah dewasa dan dia yang terbaik."Tapi anak-anak yang paling tahu cara main layang-layang. Kamu yang sudah besar terlalu kikuk dan menyusahkan." Deka tampak yakin dengan perkataannya.Yara terdiam dan mengetuk meja dengan jarinya. "Kalian berdua, berhenti bertengkar. Ayo makan.""Benar, benar. Kalian sudah besar, masih saja bertengkar. Nggak baik itu." Okti kecil juga belajar menasihati orang."Hmph!" Si besar dan si kecil membuang muka bersamaan, tidak ingin meneghadap satu sama lain.Makanan segera dihidangkan. Ketua panti asuhan juga keluar, tetapi Felix tidak terlihat."Berkat daging dan sayuran yang kalian bawa hari ini, semuanya jadi lahap makannya," kata Bu Ketua sambil tersenyum."Kak Felix di mana?" tanya Yara."Oh, Pak Felix sudah pulang duluan." Bu Ketua menjelaskan sambil tersenyum. "Dia bilang dia ada urusan, t
Tubuh kecilnya tampak sedikit gemetaran."Kamu kedinginan?" tanya Yara penuh perhatian.Deka menggeleng.Yudha berjalan mendekat dan memakaikan jasnya kepada Deka."Aku nggak kedinginan." Deka berusaha menolak."Pakai saja," perintah Yudha.Yara mendesah pelan dan berkata pada Yudha, "Dia ketakutan."Ia menepuk-nepuk punggung Deka dengan lembut. "Jangan takut, Okti pasti baik-baik saja.""Ya." Deka mengangguk. Dia tidak menangis atau rewel, seperti yang dia janjikan sebelumnya, tetapi tubuhnya masih gemetaran.Yara tidak bisa menahan rasa sedihnya. Anak-anak ini kehilangan orang tua terlalu dini dan lebih peka dibandingkan anak-anak biasa di panti asuhan.Penanganan Okti baru berakhir pada pukul 8 malam.Felix pun datang setelah menerima kabar juga.Okti dipindahkan ke kamar rawat inap biasa.Yudha memandang anak itu sekilas dan pergi mencari dokter yang merawatnya.Yara bersama Felix membawa anak-anak ke kamar.Deka menempelkan diri di depan ranjang rumah sakit. Matanya tak pernah lep
Yara memasuki kamar dengan mata merah.Felix segera menyadarinya dan berjalan mendekat, bertanya pelan, "Ada apa? bilang apa Yudha?""Lupakan saja." Yara merendahkan suaranya. "Kak, aku dan Yudha biarkan saja."Dia merasa dirinya dan Yudha bukan tipe orang yang sama. Yudha jelas-jelas seorang pebisnis, berdarah dingin, dan tidak suka anak-anak. Sama sekali berbeda dari dirinya.Padahal, saat dia mulai suka dengan Yudha ... Yudha tidak seperti itu.Yara ingat pertama kali dia bertemu Yudha saat di bangku SMA.Dia ingin mengikuti les persiapan ujian masuk perguruan tinggi di Universitas Selayu. Universitas Selayu adalah salah satu universitas terbaik tingkat negeri, dan jurusan seninya adalah yang nomor satu.Saat itu, Silvia menganggap dia tidak mungkin bisa masuk Universitas Selayu. Di mata Silvia, hanya Melanie yang layak masuk Universitas Selayu.Oleh karena itu, Silvia tidak setuju Yara ikut les. Akhirnya Yara harus bekerja sendiri untuk mengumpulkan uang.Alhasil, suatu malam sepul
"Tenang saja. Aku nggak akan pernah menyesalinya."Setelah Yudha selesai mengatakannya, dia melihat Yara keluar dari bangsal.Dia mendengar suara keributan dari dalam dan begitu dia keluar, dia melihat mereka berdua dalam posisi seperti ini, bahkan ada darah di sudut mulut Yudha."Apa yang terjadi? Kenapa kalian berkelahi?" Dia spontan ingin berlari ke arah Yudha, tetapi berhenti tepat saat dia mulai melangkah.Yudha hanya mendengar dengungan di kepalanya. Rasa sesak yang tidak dia pahami bergolak di dadanya.Yara akhirnya berjalan ke arah Felix. "Kak, kalian kenapa?""Nggak apa-apa." Felix menggeleng dan melihat Yudha sudah berbalik pergi."Yudha," teriaknya dari belakang. "Pikirkan kata-kataku!"Yudha menyeret dirinya pergi dengan susah payah. Dia merasa seperti tercekik, seolah-olah pukulan Felix tidak mendarat di wajah, melainkan tepat di jantungnya.Sesampainya kembali di mobil, dia langsung meminta Revan membuatkan jadwal pemeriksaan fisik menyeluruh untuknya.Yara meminta kompre