"Kak Rara." Okti segera berlari ke arah Yara dan berbisik dengan suara yang bisa didengar semua orang. "Paman itu nggak tahu malu. Dia sudah tua, tapi masih minta dipanggil kakak.""Hahaha ..." Yara langsung tertawa lepas, menyadari betapa manisnya Okti.Tawanya semakin lepas saat dipandangnya wajah Yudha yang begitu marah."Kalau kamu nggak berhenti tertawa, aku nggak akan membantumu." Yudha mengancam Yara dengan kejam.Yara segera menahan tawanya dan menggelengkan kepala. "Iya, iya, tolong bantu aku.""Tolong, tolong bantu." Okti juga ikut memohon lagi."Iblis kecil!" Yudha terlihat jijik, tetapi dia tetap pergi untuk membantu mengambil layang-layang.Tubuhnya tinggi dan lengannya panjang. Dia dapat meraih layang-layang yang terlihat begitu tinggi hanya dengan merentangkan tangan."Hore, akhirnya!" Anak-anak langsung bersorak di sekeliling Yudha."Kak, kamu luar biasa, kamu pahlawan yang paling hebat." Okti memeluk paha Yudha. "Aku suka Kakak."Yudha terpaku di sana. Anak kecil yang
Deka bilang ingin belajar dari Yudha, tapi begitu dua bocah nakal itu bertemu, mereka malah bertengkar."Anak kecil, tahu apa kamu?" Yudha berkata seolah-olah dia sudah dewasa dan dia yang terbaik."Tapi anak-anak yang paling tahu cara main layang-layang. Kamu yang sudah besar terlalu kikuk dan menyusahkan." Deka tampak yakin dengan perkataannya.Yara terdiam dan mengetuk meja dengan jarinya. "Kalian berdua, berhenti bertengkar. Ayo makan.""Benar, benar. Kalian sudah besar, masih saja bertengkar. Nggak baik itu." Okti kecil juga belajar menasihati orang."Hmph!" Si besar dan si kecil membuang muka bersamaan, tidak ingin meneghadap satu sama lain.Makanan segera dihidangkan. Ketua panti asuhan juga keluar, tetapi Felix tidak terlihat."Berkat daging dan sayuran yang kalian bawa hari ini, semuanya jadi lahap makannya," kata Bu Ketua sambil tersenyum."Kak Felix di mana?" tanya Yara."Oh, Pak Felix sudah pulang duluan." Bu Ketua menjelaskan sambil tersenyum. "Dia bilang dia ada urusan, t
Tubuh kecilnya tampak sedikit gemetaran."Kamu kedinginan?" tanya Yara penuh perhatian.Deka menggeleng.Yudha berjalan mendekat dan memakaikan jasnya kepada Deka."Aku nggak kedinginan." Deka berusaha menolak."Pakai saja," perintah Yudha.Yara mendesah pelan dan berkata pada Yudha, "Dia ketakutan."Ia menepuk-nepuk punggung Deka dengan lembut. "Jangan takut, Okti pasti baik-baik saja.""Ya." Deka mengangguk. Dia tidak menangis atau rewel, seperti yang dia janjikan sebelumnya, tetapi tubuhnya masih gemetaran.Yara tidak bisa menahan rasa sedihnya. Anak-anak ini kehilangan orang tua terlalu dini dan lebih peka dibandingkan anak-anak biasa di panti asuhan.Penanganan Okti baru berakhir pada pukul 8 malam.Felix pun datang setelah menerima kabar juga.Okti dipindahkan ke kamar rawat inap biasa.Yudha memandang anak itu sekilas dan pergi mencari dokter yang merawatnya.Yara bersama Felix membawa anak-anak ke kamar.Deka menempelkan diri di depan ranjang rumah sakit. Matanya tak pernah lep
Yara memasuki kamar dengan mata merah.Felix segera menyadarinya dan berjalan mendekat, bertanya pelan, "Ada apa? bilang apa Yudha?""Lupakan saja." Yara merendahkan suaranya. "Kak, aku dan Yudha biarkan saja."Dia merasa dirinya dan Yudha bukan tipe orang yang sama. Yudha jelas-jelas seorang pebisnis, berdarah dingin, dan tidak suka anak-anak. Sama sekali berbeda dari dirinya.Padahal, saat dia mulai suka dengan Yudha ... Yudha tidak seperti itu.Yara ingat pertama kali dia bertemu Yudha saat di bangku SMA.Dia ingin mengikuti les persiapan ujian masuk perguruan tinggi di Universitas Selayu. Universitas Selayu adalah salah satu universitas terbaik tingkat negeri, dan jurusan seninya adalah yang nomor satu.Saat itu, Silvia menganggap dia tidak mungkin bisa masuk Universitas Selayu. Di mata Silvia, hanya Melanie yang layak masuk Universitas Selayu.Oleh karena itu, Silvia tidak setuju Yara ikut les. Akhirnya Yara harus bekerja sendiri untuk mengumpulkan uang.Alhasil, suatu malam sepul
"Tenang saja. Aku nggak akan pernah menyesalinya."Setelah Yudha selesai mengatakannya, dia melihat Yara keluar dari bangsal.Dia mendengar suara keributan dari dalam dan begitu dia keluar, dia melihat mereka berdua dalam posisi seperti ini, bahkan ada darah di sudut mulut Yudha."Apa yang terjadi? Kenapa kalian berkelahi?" Dia spontan ingin berlari ke arah Yudha, tetapi berhenti tepat saat dia mulai melangkah.Yudha hanya mendengar dengungan di kepalanya. Rasa sesak yang tidak dia pahami bergolak di dadanya.Yara akhirnya berjalan ke arah Felix. "Kak, kalian kenapa?""Nggak apa-apa." Felix menggeleng dan melihat Yudha sudah berbalik pergi."Yudha," teriaknya dari belakang. "Pikirkan kata-kataku!"Yudha menyeret dirinya pergi dengan susah payah. Dia merasa seperti tercekik, seolah-olah pukulan Felix tidak mendarat di wajah, melainkan tepat di jantungnya.Sesampainya kembali di mobil, dia langsung meminta Revan membuatkan jadwal pemeriksaan fisik menyeluruh untuknya.Yara meminta kompre
Yara pergi ke rumah sakit lagi keesokan paginya. Si kecil Okti sudah bangun.Wajahnya sedikit pucat dan dia tidak punya banyak tenaga untuk berbicara. "Kak Rara, Okti kangen Kak Rara.""Kakak juga kangen Okti, makanya Kakak langsung ke sini habis bangun tidur." Yara menatap gadis kecil itu dengan mata sendu.Okti memberi isyarat, meminta Yara mendekat sedikit lagi.Yara mendekatkan telinganya penuh rasa penasaran."Aku dengar dari Kak Deka, di dalam perutmu ada dua bayi."Yara tersenyum. "Iya, tapi kenapa kamu harus bisik-bisik?""Kata Kak Deka ini rahasia. Belum ada yang boleh tahu sebelum bayinya tiga bulan. Tapi kami kesayangan Kak Rara, jadi kami boleh tahu duluan."Yara tertawa lepas. "Benar, kalian memang kesayangan Kak Rara."Okti kecil tersenyum bahagia. "Kak Rara jangan khawatir, kami akan berdoa setiap hari agar bayi-bayimu selalu sehat dan bahagia.""Okti baik sekali!" Yara mengusap pipi si kecil itu.Felix masuk dan memanggil Yara keluar. "Okti harus dipindah ke rumah sakit
Yara tidak tahu apakah Siska menemukan pacar lagi, atau ... bertemu dengan orang-orang dari siaran langsungnya.Setelah memikirkannya sejenak, dia bangkit dan berjalan ke pintu kamar Siska. Di sana, dia melihat Siska sedang merias wajahnya."Siska," kata Yara bimbang. "Kamu pergi kencan ya akhir-akhir ini? Sudah punya pacar lagi?""Nggak, cuma teman biasa." Siska masih sibuk berdandan.Dia biasanya sering tampil tanpa riasan, tetapi dia sekarang suka berdandan, dan lebih mirip Liana.Yara mendesah. "Teman macam apa? Kenapa kamu nggak pernah cerita ke aku?""Itu, orang-orang yang nonton siaran langsungku. Kita cuma makan bareng, ngobrol-ngobrol. Nggak ada yang perlu diceritakan.""Siska ...""Rara!" Siska menyela Yara. "Aku baik-baik saja. Mereka cuma pergi makan-makan, atau kadang ke karaoke. Aku nggak menjual diri!""Siska, bukan itu maksudku, aku cuma ..." Mata Yara memerah cemas."Ya sudah, Rara, lanjutkan makanmu, aku sudah buru-buru!"Yara tidak punya pilihan selain diam dan kemba
Yara dan Siska sedang duduk di dalam taksi. Tak ada yang bicara, hanya asyik dengan pikiran masing-masing.Yara khawatir Tanto akan menimbulkan masalah bagi Siska. Sebuah pertanyaan pun muncul di benaknya. Kenapa Yudha ada di depan rumah sakit bersalin?Mungkinkah terjadi sesuatu dengan Melanie?Dia tanpa sadar meletakkan tangannya dengan lembut di perutnya, memaksa diri untuk tidak berpikir macam-macam, tetapi dia tetap tidak bisa menahan rasa sedihnya.Siska terus memandang ke luar jendela. Apa jadinya kalau Yudha benar-benar memberi tahu Tanto?Mungkin tidak akan terjadi apa-apa. Lagi pula, Tanto akan bertunangan dengan wanita itu hari ini. Dirinya sudah lama ditendang keluar.Alhasil, tak lama setelah mereka sampai di rumah, Tanto mengirim sebuah pesan."Turun sekarang."Sekujur tubuh Siska membeku saat membaca pesan itu. Tangannya gemetar.Dia memaksa dirinya untuk tetap tenang. Ponselnya dia letakkan dan pesannya dibiarkan tidak dibalas.Tak lama kemudian, pesan kedua datang. Tan