"Tenang saja. Aku nggak akan pernah menyesalinya."Setelah Yudha selesai mengatakannya, dia melihat Yara keluar dari bangsal.Dia mendengar suara keributan dari dalam dan begitu dia keluar, dia melihat mereka berdua dalam posisi seperti ini, bahkan ada darah di sudut mulut Yudha."Apa yang terjadi? Kenapa kalian berkelahi?" Dia spontan ingin berlari ke arah Yudha, tetapi berhenti tepat saat dia mulai melangkah.Yudha hanya mendengar dengungan di kepalanya. Rasa sesak yang tidak dia pahami bergolak di dadanya.Yara akhirnya berjalan ke arah Felix. "Kak, kalian kenapa?""Nggak apa-apa." Felix menggeleng dan melihat Yudha sudah berbalik pergi."Yudha," teriaknya dari belakang. "Pikirkan kata-kataku!"Yudha menyeret dirinya pergi dengan susah payah. Dia merasa seperti tercekik, seolah-olah pukulan Felix tidak mendarat di wajah, melainkan tepat di jantungnya.Sesampainya kembali di mobil, dia langsung meminta Revan membuatkan jadwal pemeriksaan fisik menyeluruh untuknya.Yara meminta kompre
Yara pergi ke rumah sakit lagi keesokan paginya. Si kecil Okti sudah bangun.Wajahnya sedikit pucat dan dia tidak punya banyak tenaga untuk berbicara. "Kak Rara, Okti kangen Kak Rara.""Kakak juga kangen Okti, makanya Kakak langsung ke sini habis bangun tidur." Yara menatap gadis kecil itu dengan mata sendu.Okti memberi isyarat, meminta Yara mendekat sedikit lagi.Yara mendekatkan telinganya penuh rasa penasaran."Aku dengar dari Kak Deka, di dalam perutmu ada dua bayi."Yara tersenyum. "Iya, tapi kenapa kamu harus bisik-bisik?""Kata Kak Deka ini rahasia. Belum ada yang boleh tahu sebelum bayinya tiga bulan. Tapi kami kesayangan Kak Rara, jadi kami boleh tahu duluan."Yara tertawa lepas. "Benar, kalian memang kesayangan Kak Rara."Okti kecil tersenyum bahagia. "Kak Rara jangan khawatir, kami akan berdoa setiap hari agar bayi-bayimu selalu sehat dan bahagia.""Okti baik sekali!" Yara mengusap pipi si kecil itu.Felix masuk dan memanggil Yara keluar. "Okti harus dipindah ke rumah sakit
Yara tidak tahu apakah Siska menemukan pacar lagi, atau ... bertemu dengan orang-orang dari siaran langsungnya.Setelah memikirkannya sejenak, dia bangkit dan berjalan ke pintu kamar Siska. Di sana, dia melihat Siska sedang merias wajahnya."Siska," kata Yara bimbang. "Kamu pergi kencan ya akhir-akhir ini? Sudah punya pacar lagi?""Nggak, cuma teman biasa." Siska masih sibuk berdandan.Dia biasanya sering tampil tanpa riasan, tetapi dia sekarang suka berdandan, dan lebih mirip Liana.Yara mendesah. "Teman macam apa? Kenapa kamu nggak pernah cerita ke aku?""Itu, orang-orang yang nonton siaran langsungku. Kita cuma makan bareng, ngobrol-ngobrol. Nggak ada yang perlu diceritakan.""Siska ...""Rara!" Siska menyela Yara. "Aku baik-baik saja. Mereka cuma pergi makan-makan, atau kadang ke karaoke. Aku nggak menjual diri!""Siska, bukan itu maksudku, aku cuma ..." Mata Yara memerah cemas."Ya sudah, Rara, lanjutkan makanmu, aku sudah buru-buru!"Yara tidak punya pilihan selain diam dan kemba
Yara dan Siska sedang duduk di dalam taksi. Tak ada yang bicara, hanya asyik dengan pikiran masing-masing.Yara khawatir Tanto akan menimbulkan masalah bagi Siska. Sebuah pertanyaan pun muncul di benaknya. Kenapa Yudha ada di depan rumah sakit bersalin?Mungkinkah terjadi sesuatu dengan Melanie?Dia tanpa sadar meletakkan tangannya dengan lembut di perutnya, memaksa diri untuk tidak berpikir macam-macam, tetapi dia tetap tidak bisa menahan rasa sedihnya.Siska terus memandang ke luar jendela. Apa jadinya kalau Yudha benar-benar memberi tahu Tanto?Mungkin tidak akan terjadi apa-apa. Lagi pula, Tanto akan bertunangan dengan wanita itu hari ini. Dirinya sudah lama ditendang keluar.Alhasil, tak lama setelah mereka sampai di rumah, Tanto mengirim sebuah pesan."Turun sekarang."Sekujur tubuh Siska membeku saat membaca pesan itu. Tangannya gemetar.Dia memaksa dirinya untuk tetap tenang. Ponselnya dia letakkan dan pesannya dibiarkan tidak dibalas.Tak lama kemudian, pesan kedua datang. Tan
"Ya!" Dia mendengar dirinya sendiri berkata, "Sejak pertama aku tidur denganmu, kamu harusnya tahu kalau aku ... murahan!""Plak!" Tanto menampar wajah Siska.Siska menatapnya tak percaya.Tanto tidak berkata apa-apa. Tanpa penjelasan apa pun, dia menggandeng lengan Siska dan menyeretnya masuk ke dalam mobil."Kamu mau apa?" Siska melihat Tanto mengunci pintu mobil.Tanto menyalakan mobilnya."Turunkan aku!" Siska benar-benar berpikir Tanto sudah gila.Tanto bergeming dan mobilnya segera melaju keluar dari kompleks perumahan tersebut, melaju kencang di jalan raya."Tanto, berhenti! Aku mau keluar!" teriak Siska. Melihat Tanto tidak mau mendengarkan, dia langsung menghampiri dan memukulnya. "Turunkan aku. Kamu mau membawaku ke mana? Aku bukan kekasih gelapmu lagi ..."Tanto menatapnya dari samping. "Teruslah bermain-main kalau kamu ingin mati bersamaku.""Gila!" Siska hanya bisa mengumpat, dan akhirnya terdiam tak berdaya.Dia duduk diam di sana, air mata yang dia tahan sedari tadi jatu
Yara menjalani hari yang sibuk di rumah. Saat hari sudah gelap, Siska belum juga kembali.Hari ini hari pertunangan Tanto. Dia sedikit mengkhawatirkan Siska, jadi dia meneleponnya. Namun, teleponnya tidak kunjung diangkat setelah mencoba beberapa kali.Dia menjadi semakin khawatir.Setelah memikirkannya, dia menelepon Felix, yang segera menjawab panggilan itu dengan cepat.Yara mendengarkan suara bising dari seberang sana dan menebak bahwa Felix pasti di tempat pertunangan. Rasa pahit menyelimuti hatinya."Rara?" tanya Felix sambil berjalan ke teras. "Ada apa?""Bukan apa-apa." Yara agak malu. Sebenarnya, bagaimana mungkin Felix tahu Siska ada di mana? Hanya saja, dia sepertinya sudah kebiasaan mencari Felix terlebih dahulu setiap terjadi sesuatu.Kebiasaan ini harus dia hilangkan. Dia sudah menceraikan Yudha dan tidak punya hubungan dengan Felix lagi."Aku cuma salah pencet tadi," ucapnya berbohong.Felix mengerutkan kening. "Salah pencet?"Dia samar-samar merasa ada yang tidak beres.
Baru kali ini dia melihat yang jelas-jelas nama panggilan dekat, seperti Rara.Dia mengembalikan ponselnya kepada Felix. "Hapus saja dia. Nggak perlu terlalu nama kontak yang terlalu sayang-sayang begitu.""Kenapa langsung ditutup?" Felix tidak peduli sedikit pun pada perkataan Yudha dan justru pergi ke teras untuk menelepon Yara kembali.Yudha menatap punggungnya, merasa jengkel entah kenapa.Pada saat itu, Melanie berjalan ke sisinya. "Bagaimana, Yudha? Paman Tanto sudah bisa dihubungi?"Yudha mendengus jijik. "Mungkin main-main sama si Siska lagi.""Benarkah? Kenapa?" Melanie berpikir sejenak. "Bukankah Paman selama ini menganggap Siska sebagai pelampiasan? Apa mungkin Siska yang nggak mau melepaskan?"Dia membatin dalam hati, jika Liana tahu tentang hal ini, Siska tidak akan bisa hidup tenang."Dia mungkin sedang mengandung anak Paman." Yudha tidak habis pikir apa yang sedang dilakukan Tanto."Hah?" Melanie benar-benar terkejut."Jangan ungkit masalah ini di depan Tante Liana," kat
Mencari seseorang, terlebih lagi orang yang tidak sengaja ingin menyembunyikan diri, adalah hal yang sangat mudah bagi Felix.Dia menatap orang yang perlahan mendekatinya itu.Tanto tidak menyangka Felix ada di sini. Setelah rasa terkejutnya mereda, dia segera menenangkan diri.Keponakannya yang satu ini bukan orang yang suka ikut campur."Siska di dalam?" tanya Felix langsung.Tanto mengangguk. Dia tahu akhir-akhir ini Felix sangat dekat dengan Yara dan Siska, bahkan sampai membantu mereka pindah.Namun, kenapa?Hanya karena ayahnya sayang kepada Yara?Saat melihat Felix berjalan menuju kamar, dia mengingatkannya dengan suara yang dalam, "Dia sedang tidur.""Aku tunggu di depan pintu!" ucap Felix tanpa menoleh ke belakang.Seperti dugaannya, Felix tidak bertanya apa-apa lagi.Tanto tidak jauh lebih tua dari Felix dan hanya memiliki sedikit kenangan tentang keponakannya ini.Yang tidak akan pernah dia lupakan adalah tekad Felix saat pergi ke luar negeri. Memikirkannya lagi setelah dia