"Ya!" Dia mendengar dirinya sendiri berkata, "Sejak pertama aku tidur denganmu, kamu harusnya tahu kalau aku ... murahan!""Plak!" Tanto menampar wajah Siska.Siska menatapnya tak percaya.Tanto tidak berkata apa-apa. Tanpa penjelasan apa pun, dia menggandeng lengan Siska dan menyeretnya masuk ke dalam mobil."Kamu mau apa?" Siska melihat Tanto mengunci pintu mobil.Tanto menyalakan mobilnya."Turunkan aku!" Siska benar-benar berpikir Tanto sudah gila.Tanto bergeming dan mobilnya segera melaju keluar dari kompleks perumahan tersebut, melaju kencang di jalan raya."Tanto, berhenti! Aku mau keluar!" teriak Siska. Melihat Tanto tidak mau mendengarkan, dia langsung menghampiri dan memukulnya. "Turunkan aku. Kamu mau membawaku ke mana? Aku bukan kekasih gelapmu lagi ..."Tanto menatapnya dari samping. "Teruslah bermain-main kalau kamu ingin mati bersamaku.""Gila!" Siska hanya bisa mengumpat, dan akhirnya terdiam tak berdaya.Dia duduk diam di sana, air mata yang dia tahan sedari tadi jatu
Yara menjalani hari yang sibuk di rumah. Saat hari sudah gelap, Siska belum juga kembali.Hari ini hari pertunangan Tanto. Dia sedikit mengkhawatirkan Siska, jadi dia meneleponnya. Namun, teleponnya tidak kunjung diangkat setelah mencoba beberapa kali.Dia menjadi semakin khawatir.Setelah memikirkannya, dia menelepon Felix, yang segera menjawab panggilan itu dengan cepat.Yara mendengarkan suara bising dari seberang sana dan menebak bahwa Felix pasti di tempat pertunangan. Rasa pahit menyelimuti hatinya."Rara?" tanya Felix sambil berjalan ke teras. "Ada apa?""Bukan apa-apa." Yara agak malu. Sebenarnya, bagaimana mungkin Felix tahu Siska ada di mana? Hanya saja, dia sepertinya sudah kebiasaan mencari Felix terlebih dahulu setiap terjadi sesuatu.Kebiasaan ini harus dia hilangkan. Dia sudah menceraikan Yudha dan tidak punya hubungan dengan Felix lagi."Aku cuma salah pencet tadi," ucapnya berbohong.Felix mengerutkan kening. "Salah pencet?"Dia samar-samar merasa ada yang tidak beres.
Baru kali ini dia melihat yang jelas-jelas nama panggilan dekat, seperti Rara.Dia mengembalikan ponselnya kepada Felix. "Hapus saja dia. Nggak perlu terlalu nama kontak yang terlalu sayang-sayang begitu.""Kenapa langsung ditutup?" Felix tidak peduli sedikit pun pada perkataan Yudha dan justru pergi ke teras untuk menelepon Yara kembali.Yudha menatap punggungnya, merasa jengkel entah kenapa.Pada saat itu, Melanie berjalan ke sisinya. "Bagaimana, Yudha? Paman Tanto sudah bisa dihubungi?"Yudha mendengus jijik. "Mungkin main-main sama si Siska lagi.""Benarkah? Kenapa?" Melanie berpikir sejenak. "Bukankah Paman selama ini menganggap Siska sebagai pelampiasan? Apa mungkin Siska yang nggak mau melepaskan?"Dia membatin dalam hati, jika Liana tahu tentang hal ini, Siska tidak akan bisa hidup tenang."Dia mungkin sedang mengandung anak Paman." Yudha tidak habis pikir apa yang sedang dilakukan Tanto."Hah?" Melanie benar-benar terkejut."Jangan ungkit masalah ini di depan Tante Liana," kat
Mencari seseorang, terlebih lagi orang yang tidak sengaja ingin menyembunyikan diri, adalah hal yang sangat mudah bagi Felix.Dia menatap orang yang perlahan mendekatinya itu.Tanto tidak menyangka Felix ada di sini. Setelah rasa terkejutnya mereda, dia segera menenangkan diri.Keponakannya yang satu ini bukan orang yang suka ikut campur."Siska di dalam?" tanya Felix langsung.Tanto mengangguk. Dia tahu akhir-akhir ini Felix sangat dekat dengan Yara dan Siska, bahkan sampai membantu mereka pindah.Namun, kenapa?Hanya karena ayahnya sayang kepada Yara?Saat melihat Felix berjalan menuju kamar, dia mengingatkannya dengan suara yang dalam, "Dia sedang tidur.""Aku tunggu di depan pintu!" ucap Felix tanpa menoleh ke belakang.Seperti dugaannya, Felix tidak bertanya apa-apa lagi.Tanto tidak jauh lebih tua dari Felix dan hanya memiliki sedikit kenangan tentang keponakannya ini.Yang tidak akan pernah dia lupakan adalah tekad Felix saat pergi ke luar negeri. Memikirkannya lagi setelah dia
"Kenapa kamu di bawah?" Ekspresi Felix semakin lebih buruk ketika melihatnya.Siska turun dari mobil dan bergegas memeluk Yara. "Rara, maaf sudah membuatmu khawatir."Dia mengirim tatapan memohon kepada Felix. Pria ini dari tadi terlihat seperti ingin membunuh seseorang."Cepat naik," desak Felix."Iya." Siska mengangguk-angguk, menarik Yara menuju lift."Kak Felix, kamu juga cepat-cepat pulang dan istirahat." Yara melambaikan tangannya pada Felix sebelum masuk bersama Siska.Setelah sampai di dalam rumah, Siska memeluk Yara. "Rara, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?""Ada apa? Apa yang terjadi?" Yara menepuk-nepuk punggungnya penuh rasa pilu. "Kamu ... pergi ke pesta pertunangan tadi?"Siska melepaskan Yara, menundukkan kepalanya dan berbisik, "Bukannya aku pergi ke sana, tapi Tanto ... menyeretku ke Hotel Royal.""Mau apa dia?" Yara tak kuasa menahan amarahnya. "Siska, tahu nggak? Pesta pertunangannya dibatalkan."Siska mungkin bisa menebaknya, tetapi saat itu, T
Yara duduk di tempat tidur beberapa saat sebelum akhirnya pulih.Dia pergi keluar kamar dengan wajah lelah dan melihat Siska sudah menyiapkan sarapan."Kenapa kamu pucat sekali? Nggak bisa tidur nyenyak?" Siska berjalan ke arahnya dengan raut wajah khawatir."Nggak, aku cuma mimpi agak panjang." Yara tersenyum kecil, lalu dia menyadari Siska sudah berpakaian lengkap. "Kamu mau keluar? Nggak sarapan dulu?"Siska menyerahkan ponselnya.Yara melihat ada sebuah pesan teks. Di bawahnya tertulis nama Liana."Liana minta ketemu?"Siska mengangguk. "Dia mungkin tahu apa yang terjadi kemarin, jadi dia ingin menyelidikinya.""Kenapa? Dia ingin mempertanyakan kamu?" Instingnya sebagai seorang wanita tahu bahwa Liana pasti datang dengan niat buruk. Yara berbalik dan kembali ke kamarnya. "Aku ikut.""Nggak usah." Siska menariknya, tertawa kecil. "Dengan kekuatanmu sekarang, kalau ingin berkelahi juga, mungkin aku masih harus melindungimu.""Nggak peduli, pokoknya aku ikut." Meski bukan perseteruan
Ternyata, Tanto tidak peduli apa pun. Jadi, dia kemarin ...Kata-kata Liana membuyarkan lamunan Siska."Bertahun-tahun lamanya, Perusahaan Lastana mendanai banyak panti asuhan. Ayah angkatku membawaku ke keluarga Lastana saat aku berumur lima tahun. Waktu itu, Tanto masih tiga tahun. Dia masih kecil dan belum mengerti apa-apa."Siska menatapnya, menunggu dia melanjutkan."Kami tumbuh bersama dan saling menjaga satu sama lain. Saat itu, Perusahaan Lastana sedang dalam masa penuh tantangan. Kami sering ditinggal ayah kami selama beberapa bulan.""Aku selalu menganggap dia sebagai adikku. Aku sudah membalas semua kebaikan yang diberikan ayahku dan keluarga Lastana untukku. Mereka sangat berharga bagiku, jauh lebih berharga dari hidupku sendiri. Aku kaget setelah mengetahui ternyata Tanto jatuh cinta kepadaku."Kuku Siska menghunjam kuat di telapak tangannya."Aku sudah menolaknya, lalu dia menyakiti diri sendiri dan melukai sekujur lengannya. Dia membiarkan dirinya jatuh, mulai merokok da
Yara belum pernah melihat Siska seperti ini sebelumnya. Hatinya benar-benar dilanda panik."Siska, kamu kenapa? Liana bilang apa? Jangan menangis, jangan menangis."Siska tidak ingin Yara khawatir, tetapi dia sama sekali tidak bisa membendung air matanya. Dia hanya bisa berkata dengan suara lirih sambil sesenggukan, "Rara, nggak ... nggak apa-apa. Biarkan ... biarkan aku menangis sebentar.""Menangislah, menangislah." Yara memeluk Siska dan menepuk-nepuk punggungnya.Mereka berdiam di tempat sepi itu selama hampir setengah jam sebelum akhirnya Siska bisa mengendalikan dirinya lagi."Rara, aku sudah memutuskan, aku ingin pergi dari Selayu.""Pergi?" Yara juga baru-baru ini memikirkannya. Setelah menceraikan Yudha, dia pasti harus menyembunyikan kehamilannya, jadi, tentu saja dia harus pergi.Dia hanya tidak menyangka Siska juga ingin pergi. "Kalau begitu, ibumu ...""Aku ingin membawanya pulang ke kampung halaman." Siska tampak sudah memikirkan banyak hal selama setengah jam terakhir. "