Malam kian larut. Mata tak kunjung bisa terpejam. Di kursi teras ini, aku memandangi kendaraan lewat yang hanya tinggal satu-satu.Sudah enam bulan sejak kepergian Ibu. Sama sekali tak ada kabar dan berita. Hatiku serasa mati, tak tahu lagi harus berbuat apa. Tak ada petunjuk sedikitpun, bahkan nomor keduanya kini sudah tak dapat lagi dihubungi.Malam kian meninggi, semilir angin menyapu air mata yang tadi sempat keluar tanpa bisa kutahan lagi. Bagaimana mungkin Ibu sanggp berbuat seperti ini, membenciku hingga begitu dalam, dan langsung menghilang seperti tak berperasaan. "Sudah larut malam, kenapa belum tidur?" kulihat Paman berjongkok di depan pintu. Aku hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalan. "Ibumu pasti baik-baik saja. Dia punya banyak cara untuk bertahan hidup. Kau tahu sendiri, kan?" aku tak lagi menjawab. Perkataan seperti itu sudah hari-hari kudengar dari mulutnya. Dia bahkan sempat berpikir, bahwa Ibuku sudah menikah lagi dan hidup dengan senang. Aku tak bisa
Lalu bagaimana dengan Paman? Akankah dia akan membuktikan kata-katanya dengan membawaku kawin lari seperti yang pernah dilakukan oleh Ayah kandungku?"Berilah alasan yang baik. Aku tak ingin dia membenciku sebagai Ibu yang tak merestui hubungan kalian," Nenek terlihat sesenggukan. "Kau mau keluarga kita hanya sebatas ini-ini saja? Tak ingin ada orang lain sebagai suamimu, dan istri bagi Harun?".Aku berjalan gontai meninggalkan kamar hotel. Merasa lemah dan tak lagi berdaya di depan Nenek dan Unde Tiwi. Bak tersambar petir di tengah hari, mendengar ucapan Nenek yang datang dengan tiba-tiba. Teringat saat Unde memelukku sesaat sebelum meninggalkan kamarnya. "Maafkan Unde, Sarah. Unde tak tahu kalau Omak akan seperti ini. Beberapa hari yang lalu, Harun meminta pendapat Unde. Unde tak masalah, karena sedari awalpun jelas sudah terlihat perasaan Harun terhadap kau.""Sudah lama jugakah Unde menyadarinya?" "Bahkan Alena dan Raya pun dor (sering) lah mengejeki Paman kau itu. Dah pernah k
"Aku tak mengerti. Bicaralah dengan jelas. Jangan membuatku takut seperti ini.""Katakan saja," lirihku. "Apa yang bisa Paman lakukan untuk tetap membuatku bahagia.""Apa saja. Kau ingin aku bagaimana?" manik matanya menatapku dengan liar, penuh ketakutan. "Kalau begitu... ayo kita putus," ucapku dengan rasa sakit yang menusuk di ulu hati. Aku sampai menggigit bibir bawah sambil menahan tangis dan isakan."Apa yang kau katakan?" matanya mulai tampak berkaca-kaca. "Aku tidak sedang berulang tahun. Jadi jangan coba-coba untuk mengerjaiku. Dan cara ini sangat tidak lucu. Aku tak suka.""Tapi hal itu yang membuatku bahagia, Paman. Bebaskanlah aku, dan anggaplah aku seperti keponakan Paman yang lain.""Kau bicara apa?" suaranya mulai meninggi, sambil mengguncang bahuku. Terlihat marah. "Hubungan ini, sangat sulit untuk aku jalani, Paman," dustaku. "Kenapa?" suaranya kembali terdengar seperti berbisik. "Aku ... hanya menganggap Paman, sebagai Pamanku saja.""Bohong!" dia kembali emosi.
"Kau tidak bilang akan ada adegan pemukulan seperti ini," keluhnya sambil memegangi dadanya bekas tendangan tadi. Seorang perawat tersenyum sambil membersihkan luka di wajahnya. Aku membawa Andar ke klinik terdekat yang tidak jauh dari daerah rumahku. Untuk saat ini, tak mungkin lagi rasanya aku mengobati luka itu sendiri dengan kedua tanganku, seperti yang aku lakukan dulu terhadap luka-luka di wajah Paman. Selain masih menjaga perasaannya, tentu saja aku tak ingin berada dalam kondisi saling berdekatan dengan Andar. Ataukah dari dulu, perasaanku terhadap Paman memang sudah ada? Hingga mudah saja bagiku tuk merasa nyaman setiap berada di dekatnya."Siapa suruh kau datang?" ketusku, seolah tak memikirkan rasa sakitnya. "Kau tiba-tiba saja menelpon dan bilang ingin kembali berpacaran. Kau pikir aku bisa tenang?""Omong kosong!" tegasku. Pria yang wajahnya kini sudah babak belur itu mengela nafas sambil merasakan kesakitan di dadanya. "Sudah kubilang, hubungan kalian tak akan perna
Sungguh reaksi itu tak sedikitpun sesuai dengan apa yang aku bayangkan. Dia tampak tenang seolah itu bukanlah berita mengejutkan. Akupun terheran, kenapa dia sama sekali tak merasa marah dan menuduhku sebagai penghianat."Bahkan tukang somay di ujung Kompleks pun menyadari kalau kalian bukanlah keluarga," ketusnya. "Kau saja yang bodoh dan tak berperasaan. Yang saat itu kau lihat hanya Andar, Andar dan Andar saja."Lagi, Hana orang kesekian yang dapat melihat tentang bagaimana perasaan Paman terhadapku. Kemana saja pikiranku selama ini. Kenapa Paman tak pernah berterus terang hingga harus berakhir dengan cara seperti ini. "Setelah semua yang terjadi, kau ingin putus begitu saja?""Terima kasih karena selama ini tak pernah marah kepadaku, Han," ucapku tulus."Kuberi kau waktu untuk cuti. Selepas itu, kembalilah bekerja. Kau terlalu tua untuk menunda-nunda wisudamu lagi." **************Ayah benar. Hubunganku dengan Paman tidak sedang baik-baik saja. Suasana m
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis