"Nila, jangan bicara apapun lagi, Nak. Kamu mau Dimas marah?" Bu Tika tiba-tiba bangun, berarti sejak tadi dia berbohong kalau sedang pingsan. Bagus, ini semakin menarik karena ada dua saksi perselingkuhan Mas Dimas. "Kenapa, Bu? Ibu mau kalau misal Mbak Ana marah?" Nila menggigit bibir sekilas. "Dulu kita nggak takut karena dia miskin, sekarang sudah beda. Mbak Ana punya segalanya. Lihat mobil, pakaian, tas dan semua yang dia pakai. Aku tidak tahu kenapa Mbak Ana kaya mendadak, tetapi orang punya duitlah yang berkuasa. Jadi, jangan halangi aku untuk bicara lagi, Bu. Selama ini aku sudah jadi boneka, menuruti keinginan Ibu dalam keadaan apapun sampai aku tidak bisa menentukan hidupku sendiri." Aku melihat mata Bu Tika berembun. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun, aku tidak boleh merasa iba karena di dunia ini sudah banyak manusia di mana dia tersenyum manis di depan kita, padahal di belakang justru menjelma musuh paling menakutkan. Aku tidak mau salah dalam mengambil keputus
Entah aku terlalu pandai atau Nila yang ekspresinya mudah ditebak, dia ketakutan. Dilema pada dua pilihan antara terpaksa menerima dan menjadi musuh dalam selimut bagi saudara sendiri atau justru menolak dan menjadi korban. Seorang kakak kandung yang teramat sayang padanya bahkan tidak mengizinkan kerja karena masih menganggapnya seperti anak-anak. Tega? Tentu saja. Andai Nila adalah adikku, lalu memiliki keinginan untuk mengambil nyawa ini, maka aku akan membunuhnya lebih dulu. Mas Dimas pasti terkejut, mungkin juga ibunya jika tahu hal ini. Aku bisa menjamin Nila selamat dari hukum negara, tetapi tidak bisa menjamin dia akan tenang seumur hidup. "Apa tidak ada pilihan lain, Nyonya? Mas Dimas itu kakak yang baik, dia sayang sama keluarga. Aku merasa nggak tega membunuhnya. Jangankan membunuh, melihat Mas Dimas sakit aja aku khawatir." "Nggak ada, pilihannya cuma itu. Tenang saja, aku bayar banyak, sepadanlah. Lagi pula gak bakal ketahuan." Aku tersenyum, masih menatap tajam padanya
"Kamu masih belum paham?" Aku menggeleng. Namun, Kak Alyssa tetap diam. Sekarang dia melipat kedua tangan di depan dada, kemudian memaksaku menonton ulang film tadi. Menarik, tetapi entah apa tujuannya. Cukup melelahkan, aku hampir saja terbuai di alam mimpi. Untung Kak Alyssa meminta berhenti lebih cepat. Sekarang pertanyaan yang sama keluar dari mulutnya. "Kakak nggak minta aku buat niru cara perempuan itu, kan?" "Kenapa? Mereka sejatinya adalah musuh." Kak Alyssa terus menjelaskan drama itu dengan sangat serius. Aku menyimak dengan baik, menghembuskan napas berat. "Seperti itulah hidup, terkadang kita harus memakai topeng untuk mengelabui musuh. Pria satu tidak mudah melatih duyung karena bersikap kasar padanya, sedangkan gadis itu memakai trik kelembutan. Paham?" lanjutnya lagi. Aku memutar otak sembari mengingat setiap kejadian dalam drama tadi. Benar, guru spritual itu selalu tersenyum manis pada duyung seolah memang ingin menjadi teman. Berbeda dengan rekannya yang menyiks
Pagi menyapa, aku membuka jendela kamar sambil membalas senyuman hangat sang mentari. Cuaca begitu cerah, seolah menggambarkan suasana hati. Bagaimana aku tidak senang jika kemarin Nila memberi kabar kalau dia bersedia melakukan semua yang aku perintahkan. Kak Alyssa pun kembali kompak denganku. Dia meminta agar aku bersikap baik pada Nila sehingga gadis itu mengira hubungan kami baik seperti seorang teman. Dengan demikian, dia akan menaruh kepercayaan sepenuhnya padaku. Burung-burung mengudara di angkasa, berkicau indah bagai alunan melodi cinta. Sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini. Bercengkrama bersama pasangan atau seorang teman qqq selalu setia menemani. Akankah terulang kembali kisah di masa silam dengan lembaran baru? Masih mengulum senyum, aku menghirup udara segar seraya memejamkan mata menikmati keindahan alam. Serupa cinta yang tidak dapat dilihat, hanya bisa kita nikmati. Aku merentangkan tangan, embusan angin lembut memeluk jiwa. "Jadi, apa rencanamu hari
POV Dimas _______________________ Sebagai seorang lelaki dewasa yang normal, tentunya merasa bahagia karena dua tidur dengan dua perempuan semasa hidupku. Rasanya sungguh nikmat, aku bahkan menganggap diri sebagai raja. Meskipun pada akhirnya ada masalah, tetapi unboxing dua gadis adalah prestasi membanggakan. Aku tidak ingin membandingkan, tetapi terasa nyaman dengan Sandra. Mungkin benar kata orang bahwa yang haram itu lebih menggugah selera. Akan tetapi, melihat penampilan Ana sekarang membuat aku ingin mendekapnya seperti di malam pertama kami. Ada satu rencana yang aku susun dengan matang selama dua hari terakhir. Mungkin surat cerai akan segera terbit, tetapi hati tidak bisa dikelabui. Kami belum lama berpisah, pasti serpihan kenangan masih tersimpan jelas dalam memori Ana. Mantan istriku yang kini berubah cantik itu masih betah melajang. Aku yakin dia menyimpan cinta untukku. Perjalanan pulang dari kantor cukup melelahkan karena macet di jalan. Namun, sekarang aku bisa mere
"Jangan ngarang kamu, Sandra. Ibuku nggak mungkin melakukan itu. Mungkin kamu sendiri yang sengaja pengen tinggal di sini, lalu merekam perbuatan itu supaya kita nikah. Ingat nggak, kamu yang menggoda aku. Kamu bilang, nggak apa-apa hamil duluan karena menjadi peluang untuk kita nikah. Sudah berapa kali aku menolak kamu, tapi kamu nggak nyerah. Atau jangan-jangan kamu sengaja menjebak ibu aku, hah?!" Sandra memicingkan mata, kedua tangan terkepal begitu kuat. Nila yang berdiri di antara kami memilih keluar kamar saat melihat ibu datang. Tidak mungkin ibu pelakunya. Aku sudah mengenal ibu dengan baik. Sekalipun sering meminta uang lebih ketika aku gajian, tetapi bukan berarti bisa dituduh seenak jidat. "Tanyakan sendiri sama ibumu kalau nggak percaya. Demi menjaga nama baik, aku sampai rela menawarkan diri sama Tuan Arsenio." "Kamu iri sama Ana, Sandra. Kamu nggak nerima fakta kalau sekarang Ana itu jauh lebih cantik dan lebih kaya darimu. Apalagi sekarang kamu sudah dipecat, itu kal
"Tidak, Bu. Aku cuma penasaran kenapa Nila sibuk sama HP-nya setelah tahu aku mau ...." Sekarang aku menggaruk kepala yang tidak gatal karena bingung bagaimana cara menjelaskan pada ibu."Mau apa, Mas?""Nila, kamu ngapain tadi main HP gitu. Kirim pesan ke siapa? Kamu mau bocorin rahasia kita, huh?!" bisikku padanya dengan suara yang sangat pelan dan aku yakin ibu tidak mendengarnya.Nila mendengkus kesal, kemudian menjelaskan pada ibu kalau aku curiga Nila memiliki pacar. Alasan yang bagus karena tidak akan membuat ibu curiga. Akhirnya aku bisa bernapas lega, minggu pagi mungkin harus menemui Ana.Sebenarnya aku juga malu video itu tersebar luas karena teman-teman jadi tahu kalau aku pernah berzina. Satu yang aku syukuri adalah punya alasan berpisah dengan Sandra. Katanya, gadis itu sudah dipecat, berarti sekarang tidak ada mesin ATM.Aku mencintai Sandra karena dia berpendidikan, cantik dan juga banyak uang. Sementara Ana sendiri adalah kebalikan
Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Ibu-ibu mulai mencibir tanpa sungkan. Sekitar sepuluh orang berkumpul di depan rumah, sesuatu yang belum pernah aku duga sebelumnya. Sandra terlihat sangat marah, dia masuk ke rumah, kemudian keluar membawa pisau lantas merobek baliho raksasa itu. Entah siapa pelakunya, aku tidak bisa menebak. Tadi sebelum berangkat, rumah masih aman dari baliho. Kenapa setelah pulang ... apa tidak ada tetangga yang melihat pemasang baliho itu? "Gak usah dirusak balihonya, kita semua udah tahu kalau kamu ini pelakor!" seru salah satu dari ibu-ibu yang ada. Bibir mereka merah merekah karena lipstick. "Bener. Walau balihonya rusak juga nggak akan mengubah fakta kalau kamu pelakor. Mbak, jadi perempuan jangan gatal-gatal amat, kasian kalau gak ada yang garukin," sahut yang lain. "Kasian Mbak Ana harus dicerai. Pantes aja aku udah nggak pernah ngeliat Mbak Ana jalan kaki ke pasar, ternyata udah pisah sama Dimas. Udahlah penampilan kayak babu, diperlakukan kayak