"Ada apa?" tanya Zen seraya mendekati wanita cantik, yang menurut Zen adalah adiknya itu.Dina tak menanggapi pertanyaan Zen. Ia masih melongo seperti kaget mendengar sesuatu."Kamu sakit?" tanya Zen seraya memegangi dahinya Dina. "Ah, enggak Kak."Sikap Dina tidak seperti pas awal tadi, ketika Ia bertemu dengan Zen. Sikapnya lebih dingin dan tak antusias. Dina jongkok dan langsung membersihkan bekas pecahan gelas yang berserakan di mana-mana. Ia mengumpulkan pecahan-pecahan gelas itu dan meletakkannya di atas nampan yang tidak pecah."Sudah, sini sama kakak aja!" pinta Zen seraya membawa sapu ijuk dan pengki dari ruang belakang, meminta Dina yang masih mengumpulkan pecahan-pecahan beling tersebut untuk menyingkir."Nggak usah Kak, nggak apa-apa. Sini sapunya, sama aku aja, " ucap Dina seraya berdiri, kemudian Ia pun melangkah dengan niat untuk mengambil sapu dari tangan Zen. "Auww..."Dina meng
"Sini!" Kakiku terseret oleh langkah. Zen tak kira-kira saat harus menarikku ke belakang. Ceklek... "Aduh, kotor banget."Zen mengeluh karena lantai kamar cukup kotor. Lantai kamar ini nampak seperti sudah beberapa hari tak disapu. Ranjangnya diisi oleh kasur kapuk yang digulung sampai di ujung ranjang. "Ada apa, Zen?" tanyaku heran. Kenapa juga Ia membawaku masuk ke kamar dengan terang-terangan, di hari masih terang pula. "Enggak apa-apa, Sayang." Zen langsung memelukku, kemudian mengecupi pucuk kepalaku. "Ya Tuhan, apa sesiang ini dia akan meminta jatah dariku? Aduh, memikirkannya saja Aku takut. Bagaimana ini?" gumamku di dalam hati, seraya menutup mataku. Tok... tok... tok"Masuk saja, Bu. Enggak dikunci," ucap Zen. Krieettt... Pintu pun langsung terbuka, berganti dengan wajah bu Asih yang kini tersenyum melihat kami. "Anak Ibu senang banget," ucapnya sambil berseri-seri. Aku berusaha melepaskan pelukan Zen, malu dilihat sama bu Asih. Hanya saja, Zen tidak melepaskan pe
"Maksudnya apa?" tanyaku berusaha sedatar mungkin. Bahkan, Aku kembali sibuk untuk membereskan memasang seprai. Rasanya, Aku ingin segera beristirahat untuk sekedar melepas lelah yang melanda. "Nanya maksudnya? Masa iya babu enggak ngerti!" ucap Dina lebih ketus lagi. Aku tetap cuek, bahkan kali ini Aku tak menyahut ucapannya sama sekali. Biar saja jika Ia mau bicara, biarlah Ia bicara sama tembok. "Atau kalau enggak, please talk to my hand. Hahahahahaha... " teriakku dalam hati. Terbukti setelah ku diamkan, Dina semakin menjadi. "Heh, kamu itu budeg, gagu atau tuli sih?" pekiknya seperti sedang datang bulan, amarahnya full. Ia pun mendekat dan hendak memukulkan sapu ke bagian kakiku. "Jangan sekalipun kamu ngancem Aku. Karena apa? Karena Aku enggak takut, juga karena Aku bisa yakinkan Zen buat nendang lu dari sisinya. Paham lu?!" ucapku panjang lebar, menghentikan gerakan tangannya yang sudah mengapung di udara. Wajah Dina beg
"Awas kau!" desis Dina yang masih bisa ku dengar, walaupun suaranya cukup pelan. Aku melenggang pergi dengan senyum kemenangan. Meskipun Aku tak tahu seperti apa Zen sebenarnya, tapi saat Ia memelukku penuh rasa takut kehilangan seperti barusan, Aki menjadi cukup percaya diri. Aku mulai berharap ada masa depan untukku dan Zen. "Huh, mikir apa sih?" rutukku seraya memukul pelan kepalaku sendiri. "Masih sekolah udah mikir yang aneh-aneh," ucapku tanpa sadar. "Aneh apanya?" tanya Ibu mengagetkanku. Sejenak Aku merasa linglung dan salah arah. Namun, setelah kupandangi setiap sudut ruangan, Aku baru menyadari bahwa Aku baru saja tiba di dapur. "Apanya yang aneh?" tanya Ibu sekali lagi. Mungkin, karena Aku tak langsung menjawab pertanyaannya tadi. "Ah, aneh. Itu, Bu. Aku tiba-tiba menikah, jadi merasa aneh," kilahku beralasan. Tentu saja Aku tak mau Ibu sampai tahu kalau Aku sudah menghardik anak perempuan kesayangannya. Bis
Bu Asih menyendokkan nasi untukku, untuk Dina dan untuk dirinya sendiri. Aku benar-benar merasa disambut olehnya. Mudah-mudahan saja, hal ini akan terus ku rasakan selama usia pernikahanku dengan Zen. "Ya kan Din, kakak mu itu sudah mendambakan neng Lea sejak lama?" tiba-tiba, bu Asih kembali menyinggung tentang Zen yang katanya sudah menginginkanku sedari dulu. Tak ada sahutan apapun dari Dina. Dia hanya sedikit mengembangkan senyumnya, seperti sikap untuk menepis kecurigaan ibunya. "Benarkah, Bu? Kok bisa? Kita kan enggak saling mengenal," celotehku memecah suasana canggung yang terasa. Meskipun, nampaknya bu Asih tak merasakan kedinginan sikap Dina. "Iya, bener. Nih, si Dina ini kan tempat curhatnya Zen. Tapi ya... begitu doang, kaya curhat sama tembok. Zen banyak ngomong, Dina ini banyak diam." Ternyata begitu, mengapa bu Asih tak mencurigai sesuatu dari sikap Dina. Memang sehari-harinya dingin. "Jadi, gimana cerit
"Mereka bilang begitu, Bu?" tanyaku dengan dada yang terasa berdenyut nyeri. Entah mengapa, Aku ikut merasakan sakit ketika mendengar Zen diperlakukan seperti itu. "Ya. Kau tahu Nak, padahal Ibu sangat menginginkan anak laki-laki, dan hal itu sering Ibu ungkapkan pada Suyatno. Tak disangka, Ia begitu kejam terhadap seorang anak lelaki, hanya demi imbalan dari seseorang yang memerintahkannya.""Lalu?" tanyaku lebih penasaran. "Diam-diam, Ibu pergi dengan membawa uang hasil jualan tisu, Ibu pergi ke tempat sampah yang mereka maksud. Ibu bawa Zen yang tak sadarkan diri ke rumah ini, rumah teman Ibu yang tak pernah mengenal Suyatno, rumah orang tuanya Dina."Aku menelan saliva karena baru memahami jika sikap Dina yang demikian, mungkin karena Ia merasa punya andil atas keselamatan Zen. "Zen selamat kan? Meskipun tanpa rumah sakit, meskipun tanpa kepolisian. Coba kalau dibawa ke kedua tempat itu, bisa-bisa nyawa Zen malah melayang," sa
Kakiku seolah terpaku di atas bumi saat melihat pemandangan yang tak mengerikan di hadapanku. Aku ingin segera berlari dan kembali mengunci pintu rumah saat melihat seseorang menginjak leher orang lain. Darah bercucuran dari orang yang kini keadaannya sangat mengenaskan. Untung saja, orang itu memunggungiku sehingga Ia tak melihat keberadaan ku. Apalagi, suaraku tadi tak terdengar olehnya. "Ada apa, Neng?" tanya bu Asih. Bukan hanya kaki, tapi mulutku juga terkunci. Aku tak mampu menjawab apapun. Pemandangan yang ku lihat terlalu mengerikan buatku. Bu Asih yang tak mendapatkan jawaban apapun, malah keluar dan memeriksa sendiri tentang apa yang terjadi. "Astagfirullah...!" Kalimat yang sama keluar dari mulut bu Asih dan kali ini dengan suara yang keras, membuat orang yang sedang melakukan penyerangan itu pun menoleh ke arah kami. Wajahnya sangar dan penuh bekas luka. Tindikan terlihat di telinga dan bibirnya. Tangannya
Pov : Zen"Om yakin istriku aman di rumah Ibu?" tanyaku saat tubuhku sudah sempurna berada di dalam taksi. "Om sudah mengirimkan orang secepatnya ke sana. Sekalian, membawakan ponsel, makanan dan uang tunai." Pak Fandi menghembuskan nafasnya dalam-dalam, kemudian menoleh ke arah Zen yang duduk di sampingnya. "Biarkan istrimu tenang di rumah Ibumu, karena neng Lea juga punya masalah yang cukup pelik. Kalau saja masalah itu terkuak ke media dan tentang pernikahan kalian pun sama, maka bukan hanya bisa menghancurkan nama kamu sendiri, tapi juga nama Kesultanan Birania. Bahkan, nak Zen bisa-bisa tak dianggap layak untuk mendapatkan harta mendiang bu Alisa," ungkap pak Fandi membuat Zen menoleh ke arahnya. "Apa Om masih mencintai Mama?" tanya Zen membuat pak Fandi menelan salivanya. Pak Andi yang duduk di depan, di samping pengemudi taksi pun memasang kupingnya baik-baik. Sebagai orang kepercayaan yang membersamai pak Fandi puluhan tahun, Ia se