POV : DIKTA[Plat nomor mobil ini yang menabrakku tempo hari di depan sekolah, Mas. Aku foto dari rekaman cctv. Sepertinya aku cukup familiar dengan nomornya sebab tadi aku lihat ada di garasi rumah Mas Dikta]Aku membaca kembali pesan yang dikirimkan Ryan. Kupejamkan mata beberapa saat untuk meredam emosi yang tiba-tiba saja kembali meningkat. Benarkah mama yang menabrak Ryan tempo hari? Jika memang iya, betapa teganya mama melakukan itu semua apalagi pada anak yatim piatu. Apa sebenarnya yang mama inginkan? Apakah sengaja membuat Ryan celaka agar Lana menyerah dan mundur karena tak ingin mama semakin brutal? Ryan nggak salah apapun, tapi mengapa mama tega melakukan ini semua padanya?Kudengar mama dan dua tamunya saling tertawa di ruang keluarga. Ingin rasanya mencecar mama soal kecelakaan Ryan ini, tapi aku nggak mau orang lain mendengarnya. Aku masih menghargai mama sebab walau bagaimanapun dia tetaplah perempuan yang melahirkanku ke dunia. Tak mungkin sengaja mempermalukannya d
POV : DIKTA "Ajak Riana ngobrol, Dikta. Mama juga mau ngobrol sama Tante Lisa." Aku menghela napas panjang lalu menyandarkan punggung ke sofa. Daripada bengong, kuambil handphone di saku celana lalu membaca beberapa pesan yang masuk. [Mas, maaf kalau pesanku tadi menyinggung Mas Dikta. Aku hanya nggak ingin terjadi sesuatu sama Mbak Lana makanya secepatnya membongkar masalah itu. Bukannya aku buruk sangka, cuma sepertinya kecelakaan kemarin memang disengaja. Mungkin Mas Dikta juga nggak tahu kalau Tante Delima pernah datang ke sini sama Mbak Laura. Tante Delima bilang perempuan itu kekasih Mas Dikta. Tante Delima mengancam Mbak Lana supaya berhenti mendekati Mas Dikta. Tolong jangan bilang Mbak Lana kalau aku cerita tentang ini, Mas. Dia bisa marah besar sama aku] Pesan Ryan benar-benar membuatku ternganga. Laura? Ngapain mama menemui perempuan itu lagi. Apa mama pengin punya menantu materialistis seperti dia? Sudah berulang kali aku bilang bagaimana sikap Laura sebenarnya, tapi m
POV : DIKTA "Aku sudah mendengar semua obrolan dan rencana kalian," ucapku sembari keluar dari area taman. Tadinya melipir ke sana karena mau menelpon Ryan dan menanyakan kejelasan soal kabar kecelakaan itu, tapi mendadak berubah haluan setelah mendengar rencana busuk dua perempuan itu. Wajah-wajah yang berubah seperti bidadari saat bersama mama, tapi berubah syaitan saat di belakang mama. "Kenapa? Kaget kalau aku masih di sini?" Aku tersenyum tipis ke arah anak dan mamanya yang masih mematung di samping mobil yang ternyata bukan milik mereka sendiri melainkan menyewanya dari orang lain itu. Keduanya menjadi salah tingkah. Wajar, karena topengnya terbongkar mendadak. "Obrolan apa sih, Dikta? Aku sama mama cuma ngobrolin arisan kok," balas Riana dengan sedikit gugup lalu pura-pura tersenyum tipis. "Iya, Nak Dikta. Tante cuma bahas soal bisnis perhiasan Tante sama mama kamu yang mulai berkembang." Tante Lisa pun ikut mengelak. Anak dan ibu sama saja pandai bersandiwara. "Kalian pi
POV : DIKTA"Mungkin mama mau menuruti papa agar tak cemburu lagi pada Rahayu, tapi mama minta maaf kalau mama tetap nggak setuju anak Rahayu yang akan menjadi menantu kita. Kehadirannya tetap akan membuat papa mengingat mamanya dan membuat mama kembali membencinya." "Buang jauh-jauh dendam di hati mama supaya mama bisa menerima kenyataan jika anak kita memang mencintai anak itu, Ma. Papa yakin sebenarnya mama berhati baik, hanya saja rasa cemburu dan sakit hati itu masih begitu melekat di hati mama. Makanya mama bisa sekeras sekarang. Percayalah, Ma. Sekalipun Lana menjadi menantu kita, tak akan pernah mengubah rasa sayang papa sama mama. Hubungan papa dan ibunya Lana sudah kandas bahkan dia sudah tenang di sisiNya,ngapain terus dibahas? Jangan terlalu memusuhi anak yatim piatu, Ma. Bisa dosa besar jika kita mendzalimi mereka, Ma." Aku yakin kali ini papa mulai mengusap lengan mama lalu memeluknya. Kelembutan dan kesabaran hati papa saat melihat kemarahan mama benar-benar membuatku
[Lana, sudah selesai istikharahnya, kan?] Pesan dari Mas Radit membuatku tercekat seketika. Aku memang sempat bilang sama Ibu Sulis soal istikharah itu. Mungkin wanita berhati lembut itu memberi tahu Mas Radit jika aku sudah siap dengan jawabannya. Beberapa kali istikharah untuk memilih antara Dikta dengan Mas Radit, hati ini tetap fokus pada satu nama saja, Dikta. Meski belum bisa meluluhkan hati Tante Delima, tapi aku yakin sekeras-kerasnya batu akan rapuh juga oleh tetesan air yang terus-menerus menimpanya. Aku berharap bisa menjadi air yang akan meluluhkan hatinya suatu saat nanti. Mas Radit bukan lelaki yang buruk. Dia bahkan nyaris sempurna, tampan, mapan, perhatian, sopan, patuh pada orang tua dan banyak kebaikan yang dia punya. Hanya saja cinta memang tak bisa dipaksakan bukan? Aku tak mencintainya dan menganggap dia seperti keluarga, oleh karena itulah aku memilih Dikta sebab sejak dulu memang hanya dia satu-satunya lelaki yang membuatku jatuh hati. [Alhamdulillah.
Aku benar-benar kaget saat melihat perempuan itu sudah ada di sampingku. Entah sejak kapan, aku pun tak tahu sebab fokus pada lamunanku sendiri sejak beberapa menit lalu. "Jangan kasar begitu bisa kan?" omelku kesal saat merasakan perih di lenganku. "Sok ngatur lagi, emang kamu siapa hah?! Itu belum seberapa, Lana. Kalau kamu masih saja berhubungan dengan Dikta, aku bisa melakukan hal yang lebih parah daripada ini. Mengerti?!" Riana berkacak pinggang di depanku dengan wajah memerah. Entah kesambet dari mana dia sampai pagi-pagi begini sudah ada di sini dengan emosi yang meluap-luap. "Kamu mengancamku, Ri?" tanyaku santai meski dalam hati khawatir apa yang akan dilakukannya. Aku sedikit trauma dengan kecelakaan Ryan tempo hari yang ternyata karena ulah mamanya Dikta. Bisa saja Riana melakukan hal yang sama bukan? Jika tak bisa membuatku celaka, dia bisa jadi membuat Ryan terluka. Aku benar-benar nggak habis pikir kenapa mereka selalu membenciku dan menentang hubungan ini. Apakah me
"Mas Radit kok di sini?" tanyaku cukup kaget melihat laki-laki itu sudah ada di sampingku. Mungkin dia hanya kebetulan lewat saja dan tak berniat untuk menodong jawabanku sekarang. Soalnya tempat kerja Mas Radit memang tak terlalu jauh dari sini. "Iya, Lan. Kebetulan nanti malam bapak minta aku untuk mengantarnya ke rumah Pakde di luar kota. Jadi, nggak bisa ketemu kamu. Makanya aku datang sekarang." "Mas Radit nggak nagih jawaban sekarang kan?" tanyaku sedikit gugup. Laki-laki itu justru tersenyum tipis sembari menatapku lekat. "Sekalian saja, Lan. Bukannya jawaban pagi ini ataupun nanti malam akan tetap sama?" Laki-laki itu kembali mengulum senyum."Iya juga sih, Mas. Cuma belum latihan. Eh maksudku bingung jawabnya." Aku memilih ujung hijab saking gugupnya. "Nggak usah bingung, ikuti kata hatimu saja. Jangan memaksakan sesuatu untuk menerima di saat hatimu menolaknya. Begitu pula sebaliknya, Lana. Kamu harus yakinkan hatimu sendiri, bahagia nggak dengan keputusan itu." Mas Radi
"Sebelumnya aku boleh cerita sedikit, Mas?" "Bolehlah. Selama ini justru aku ingin mendengar banyak cerita darimu. Sayangnya kamu lumayan tertutup." Aku kembali tersenyum tipis lalu meneguk teh yang kubuat sendiri untuk mengurangi kegugupan yang kurasakan. "Sampai saat ini aku memang hanya mencintai satu lelaki saja, Mas. Dia cinta pertamaku saat SMA. Dulu, hubungan kami cukup dekat meski nggak ada status pacaran di dalamnya. Sekadar sahabat, tapi sama-sama saling mencintai. Hanya saja keadaan memaksa kami untuk berpisah cukup lama. Mamanya belum merestui hubungan kami, karena itulah dia sengaja dikuliahkan di luar kota agar tak terus berhubungan denganku pasca SMA. Lima tahun berpisah, ternyata Allah kembali mempertemukanku dengannya."Mas Radit menghela napas. Sepertinya dia mulai paham ke arah mana jawaban yang akan kukatakan. "Kini, kami sama-sama sudah dewasa dan komit untuk memperjuangkan cinta ini sampai mendapatkan restu mamanya. Maaf jika aku harus menceritakan ini padamu,