“Hah, kenapa warnanya gelap semua?” Gu menggerutu ketika membuka paket baju pemberian Maida. Semuanya panjang sampai menutupi mata kaki. Ada warna hitam, biru tua dan cokelat yang sudah gelap menjadi bertambah gelap. “Kenapa tidak ada warna-warna cerah atau pastel. Pink, biru muda, hijau tosca begitu. Bagaimana bisa terlihat menarik sebagai wanita kalau dikurung seperti ini.” Gu melempar baju itu. Ia tak mau memakainya. Gadis tersebut melirik kepingan emas dan perak pemberian pemerintah setempat. Akan ia pakai untuk membeli baju yang lebih menarik hati. Setidaknya bisa seperti di rumah Sarah. Dan ia juga harus memberi kebutuhan makan juga minum dirinya bersama Maira. Anak gadis yang masih betah bermain di luar tanpa mau masuk lagi. Gadis bermata biru itu mengetuk pintu kamar Maida. Hari sebentar lagi siang, tak lama Maira akan lapar dan meminta makan. Gu bermaksud minta ditemani belanja oleh penjaga asrama itu, sebab ia tak tahu sama sekali tentang wilayah yang baru satu malam ia dat
Gu hanya menguatkan hatinya saja, sama seperti saat melamar kerja di tempat Hela pertama kali. Ia tak punya tanda pengenal apa-apa untuk menyatakan dirinya sebagai dokter. Hanya saja jika ditest dirinya sangat siap. Pengalaman sebagai dokter umum di sebuah desa dan sebagai asisten dokter kandungan telah memberinya banyak ilmu. Rumah sakit umum yang Gu datangi tampak sibuk orangnya berlalu lalang. Namun, yang membuatnya kembali heran, di sana hanya ada pasien wanita, suster dan dokter wanita. Ada dokter laki-laki tapi bisa dihitung dengan jari.Gu berjalan menuju resepsionis, ia menanyakan apakah di sana membutuhkan tambahan pekerja atau tidak. Dua perawat dengan kerudung putih dan masker itu menjawab tidak tahu, sebab hal demikian bukanlah urusan mereka. Bingung gadis itu harus ke mana. Bukan karena tak punya uang untuk menyambung hidup. Melainkan tak ada yang bisa ia kerjakan, makan dan tidur saja di dalam asrama tentu sangat bosan. “Aku harus ke mana, ya? Minta tolong dengan siapa?
Gu memeluk Maira, ia akan tinggalkan anaknya selama beberapa jam lamanya. Tadi malam Gu sudah membuat kesepakatan dengan Maida, bahwa gadis bermata biru itu akan menitipkan putrinya dengan penjaga asrama itu, lengkap setelah dimasakkan dan dimandikan. Beruntung saja Maira sudah terbiasa ditinggal ibunya dari kecil dan mudah akrab dengan orang lain. Jadi dalam hal ini Gu tidak menemukan kesulitan. Hanya saja Maida sendiri …. “Aku berat melepaskanmu kerja di perbatasan, Gu. Tinggal sajalah di rumah, kan, sudah diberikan santunan untuk janda,” ucap Maida ketika menunggu mobil menjemput Gu. “Terkadang, kerja itu tak melulu soal uang, ada kepuasan karena ilmu yang kita dapat berguna bagi orang lain, Bu,” jawab Gu. Ia melirik arloji di lengan sebelah kanan, sudah 15 menit menunggu tak juga mobil datang. “Dalam islam, rumah merupakan sebaik-baiknya tempat bagi perempuan untuk tinggal, dan berbakti pada suami merupakan cara termudah untuk meraih surga, tentu suami yang baik dan soleh. Kala
Membeku Gu di hadapan Ali. Beberapa langkah lagi dua orang yang pernah saling membenci itu akan bertatapan mata lebih dekat. Tangan gadis bermata biru itu gemetar. Kesempatan untuk membalas dendam sudah sangat terang benderang di depan matanya. Namun, ia tak akan pernah menang melawan lelaki dengan postur tubuh tinggi dan tegap. Gu menjernihkan akalnya dalam waktu singkat. Ia lekas masuk ke dapur ketika dua langkah lagi Ali akan menatap matanya lebih dekat. Di dalam pantry, gadis itu duduk menyandar di dinding. Tubuhnya serasa luruh seperti es di musim panas. Tak ada kekuatan, tak bisa berdiri lagi. Napasnya naik turun dengan cepat. Ingin rasanya Gu menjerit, tapi jika nanti ditanyakan orang lain apa yang akan ia katakan? Lalu Ali akan datang mendekatinya dan membunuhnya karena akan membongkar siapa dirinya dulu. “Tidak, tidak, tidak! Dia tak boleh hidup dengan tenang. Lagi pula apa yang bajingan itu lakukan di sini. Bisa-bisanya dia tertawa dengan pasukan muslim lain. Bukankah dulu
“Dokter Gu, biar aku saja yang memeriksa pasien ini, kau bisa beristirahat duluan.” Seorang petugas medis laki-laki masuk. Sontak Gu langsung memasukkan cairan mematikan itu ke dalam kantung gamisnya. Suntikan ia tutup kembali dan gadis itu pura-pura berjongkok. Ia kenakan kembali cadarnya lalu keluar kamar di mana Ali masih menatap punggungnya dengan gejolak rasa yang luar biasa. “Kau baik-baik saja?” tanya dokter lelaki itu pada Ali. Ayah kandung Maira itu hanya mengangguk saja dan menatap pintu di mana Gu sudah tidak ada lagi. Walau sakit kepala, ia masih bisa melihat dengan jelas bahwa perempuan barusan bukan orang yang tidak ia inginkan kehadirannya. Dan telinganya juga mendengar dengan pasti bahwa dokter perempuan tadi mencoba membunuh Ali. Putra Sarah hanya diam saja ketika dokter lelaki tersebut berkata ini dan itu, tak terlalu ia ambil hati. Entah mengapa pula tiba-tiba saja di sore yang berangin ia merasa sakit kepala tak tertahankan dan butuh untuk beristirahat sejenak. “
“Awas!” Ali menarik tangan Firdaus. Sedari tadi ia telah curiga kalau ada yang mengintai mereka. Benar saja dua orang laki-laki dengan pakaian loreng abu-abu menyergap dua saudara angkat itu. Nyaris saja Ali itu terkena tusukan di bagian punggung. Cepat Ali bergerak, ia merampas pisau itu, tapi tak mudah. Lawannya pun ia perkirakan bukanlah tentara dengan kemampuan rendahan bila sampai berani menembus wilayah perbatasan. “Menyerahlah. Atau kalian mati menyakitkan!” ucap Ali pada dua orang lawannya. Tak ada jawaban, dua musuh itu kemudian menyongsong pistol di pinggang mereka dengan cepat. Bergantian Firdaus mendorong tubuh Ali, dan mereka berlindung di balik batu besar. “Sejak kapan mereka mengikuti kita?” tanya Firdaus, sebab dari tadi ia tak mendengar pergerakan apa pun. “Mungkin sejak kita sama-sama melamun.” Ali pun memeriksa senapan laras pendeknya. Ia mengitip dari balik batu besar itu. Tidak ada, lawan mereka menghilang. Kemudian dari atas batu itu musuhnya muncul. Dua buah
Tubuh Ivan semakin lemah ketika jalan infus begitu lambat. Lalu Gu kembali lagi dan mengganti botol yang telah kosong. Dan sama sekali tak peduli walau wajah lelaki itu semakin pucat pasi. Padahal yang lain semakin membaik. Tak wajar, sebab luka-luka yang dialami Ali sudah semakin mengering. Hingga suatu hari dr Yusuf mendatanginya. “Pantas saja firasatku buruk akhir-akhir ini, ternyata kau tak semakin membaik.” Ayah angkat Ali melajukan jalan infus agar tubuh yang masih kekar itu mendapat asupan yang cukup. Firdaus memang menemani saudaranya selalu. Namun, ia tak paham dengan hal-hal medis. Diliriknya air masih menetes maka dirasa semuanya normal-normal saja. “Anakku. Lukamu kali ini cukup parah. Setelah kau membaik, akan kubawa kau pulang. Kau butuh istirahat. Bayangkan saja empat tahun kau tak pernah berhenti bekerja. Ketika yang lain libur dan cuti menikah kau masih saja sibuk. Tubuhmu menuntut haknya untuk diistirahatkan. Atau mungkin ini pertanda agar kau segera menikah saja,
Gu menimang seorang anak laki-laki yang baru saja dilahirkan. Ia beri selimut kemudian serahkan pada ibunya. Hari itu begitu sibuk. Ada beberapa pasien melahirkan normal juga operasi. Sampai-sampai ibu satu anak itu terlambat makan. Sebelum pergi ke kantin, ia sempatkan melewati ruangan di mana bayi-bayi diletakkan. Mereka semua tertidur lelap dengan wajah lucu dan menggemaskan. “Duh, kenapa aku ingin punya anak lagi, ya? Padahal saat melahirkan dulu rasanya aku hampir mati,” ucap Gu sambil mengusap perutnya. Seorang teman kebetulan lewat dan mendengar ucapannya. “Ya, menikah lagi saja. Sudah habis, kan, masa iddahmu? Pilihlah mana yang kau suka. Jadi istri dokter, pedagang, atau tentara juga boleh. Aku yakinlah tak akan ada yang menolakmu. Wajahmu itu aku saja ingin memilikinya. Warisan dari siapa sampai cantik begini?” tanya rekan sejawatnya. “Oh, aku meniru ayahku. Dia raut wajahnya tampan. Dan rambut ibuku yang keriting. Ya, sudahlah, ayo kita makan. Aku lapar sekali.” Gu mengg