Ali dan Firdaus sejak sampai di Negeri Syam telah menjadi sahabat yang begitu dekat satu sama lain. Mereka saling memberi manfaat. Ali mengajarkan ragam ilmu pengetahuan tentang senjata, cara membangun ketahanan fisik, strategi perang, hingga lambat laun Firdaus tubuhnya menjadi semakin kekar dan tegap. Akhirnya lelaki berambut ikal itu mengajarkan pada yang lain juga. Ali sesekali turun tangan jika memang diperlukan. Dibawah pengawasan dua orang pria itu terbentuklah suatu kesatuan yang cukup kuat. Sudah banyak wilayah yang berhasil dibebaskan. Bahkan tak menutup kemungkinan untuk menguasai armada angkatan udara milik musuh. Hanya saja usaha lebih keras tetap dibutuhkan. Sedangkan Firdaus sendiri mengajarkan ilmu agama pada Ali. Tak jarang pula keduanya pergi ke majelis ilmu bersama-sama. Ragam pengetahuan baru Ali dapatkan. Di tahun pertama ia intens belajar membaca Al Qur’an, sholat dan tetap turun perang. Lalu dengan memantapkan hati di tahun itu juga ia menunaikan ibadah puasa s
“Silakan ikut dengan kami. Ada beberapa pertanyaan yang harus engkau jawab terlebih dahulu, Ukhti,” ucap Firdaus pada Gu. Lelaki berambut ikal itu mempersilakan gadis pendatang baru untuk jalan. Namun, yang diminta malah lebih fokus memandang seorang pria yang memeluk putrinya. Gu memanggil Maira, gadis itu turun dan membawa lari kaca mata milik Ali, walau terjatuh di jalan. Sejenak Gu menatap lelaki asing yang mengenakan tutup kain di wajahnya. Tinggi badan itu dan cara berjalannya, sepertinya tidak asing. Mata biru dan keabuan itu sempat saling menatap sejenak. Kemudian Ali segera saja berpaling. Ia memang sejak serius hijrah tak mau menatap mata wanita lama-lama. Takut hanyut dalam keindahan sesaat dan sesat juga semu. Tidak bagi Gu, ia seolah-olah tak berkedip dibuatnya. “Ah, tidak mungkin, iblis itu tak masuk akal ada di sini. Dia pasti ada di Balrus dan sedang merencanakan penyerangan lain.” Gu menggendong Maira lalu berjalan ke pos yang dimaksud Firdaus. Ada beberapa pertanya
Firdaus duduk di sebelah Ali, lelaki berkepala plontos itu yang gantian menyetir mobil. Firdaus sendiri tiap sebentar menyunggingkan senyum, lalu istighfar lagi, lalu senyum lagi persis seperti orang yang kehilangan sedikit akalnya. Ali sampai ikut tersenyum sendiri dibuatnya. “Kelihatannya, dia sanggup mencuri hatimu yang beberapa bulan ini terkurung rapat di ruang rahasia,” ucap Ali. Namun, Firdaus tak mempedulikan saudara angkatnya itu. Ia masih memikirkan perkataan Gu barusan, tentang istirahat, makan teratur dan jangan terlalu banyak pikiran. Ah, seperti perlakuan istri yang penuh perhatian pada suaminya. Padahal memang demikianlah tugas dokter. Entah karena hati Firdaus saja yang sudah lama merindukan perhatian lawan jenis. “Teruslah tersenyum sendiri seperti itu, aku suka melihatnya,” lanjut Ali lagi. Jika Firdaus memikirkan Gu lain dengannya, ia memikirkan gadis kecil yang tadi ia ajak bermain selama setengah jam. “Iya, kenapa tadi?” tanya Firdaus, ia seperti mendengar Ali
Ali mengajak Maira berjalan tak jauh dari masjid. Pagi-pagi sekali di sana sudah ada gerai makanan yang menjual sarapan cepat saji. Sebenarnya ia juga sungkan membawa anak gadis orang pergi jauh. Namun, perut Maira terus saja keroncongan, sebab tak ada makan apa pun dari sejak sampai di perbatasan, bahkan minum susu saja tidak. Tak sampai hati melihat anak kecil kelaparan, maka Ali memutuskan untuk membawanya sebentar saja setelah itu dipulangkan pada ibunya.Maira yang berada dalam gendongan Ali, mencium bau kentang goreng yang baru saja matang. Makanan kesukaan mereka berdua, tentu ada alasan yang sangat kuat. Duduk sebentar lelaki berkepala plontos itu, lalu ia memesan dua porsi kentang goreng itu tak lupa pula kopi untuk dirinya dan susu untuk Maira. Keduanya makan dengan lahap, bahkan putri Gu menghabiskan makanan itu dengan cepat, Ali saja masih bersisa setengah piring. Ia menyodorkan miliknya pada Maira. Kembali Ali memandang wajah gadis kecil itu, rasanya mirip dengan seseoran
“Hah, kenapa warnanya gelap semua?” Gu menggerutu ketika membuka paket baju pemberian Maida. Semuanya panjang sampai menutupi mata kaki. Ada warna hitam, biru tua dan cokelat yang sudah gelap menjadi bertambah gelap. “Kenapa tidak ada warna-warna cerah atau pastel. Pink, biru muda, hijau tosca begitu. Bagaimana bisa terlihat menarik sebagai wanita kalau dikurung seperti ini.” Gu melempar baju itu. Ia tak mau memakainya. Gadis tersebut melirik kepingan emas dan perak pemberian pemerintah setempat. Akan ia pakai untuk membeli baju yang lebih menarik hati. Setidaknya bisa seperti di rumah Sarah. Dan ia juga harus memberi kebutuhan makan juga minum dirinya bersama Maira. Anak gadis yang masih betah bermain di luar tanpa mau masuk lagi. Gadis bermata biru itu mengetuk pintu kamar Maida. Hari sebentar lagi siang, tak lama Maira akan lapar dan meminta makan. Gu bermaksud minta ditemani belanja oleh penjaga asrama itu, sebab ia tak tahu sama sekali tentang wilayah yang baru satu malam ia dat
Gu hanya menguatkan hatinya saja, sama seperti saat melamar kerja di tempat Hela pertama kali. Ia tak punya tanda pengenal apa-apa untuk menyatakan dirinya sebagai dokter. Hanya saja jika ditest dirinya sangat siap. Pengalaman sebagai dokter umum di sebuah desa dan sebagai asisten dokter kandungan telah memberinya banyak ilmu. Rumah sakit umum yang Gu datangi tampak sibuk orangnya berlalu lalang. Namun, yang membuatnya kembali heran, di sana hanya ada pasien wanita, suster dan dokter wanita. Ada dokter laki-laki tapi bisa dihitung dengan jari.Gu berjalan menuju resepsionis, ia menanyakan apakah di sana membutuhkan tambahan pekerja atau tidak. Dua perawat dengan kerudung putih dan masker itu menjawab tidak tahu, sebab hal demikian bukanlah urusan mereka. Bingung gadis itu harus ke mana. Bukan karena tak punya uang untuk menyambung hidup. Melainkan tak ada yang bisa ia kerjakan, makan dan tidur saja di dalam asrama tentu sangat bosan. “Aku harus ke mana, ya? Minta tolong dengan siapa?
Gu memeluk Maira, ia akan tinggalkan anaknya selama beberapa jam lamanya. Tadi malam Gu sudah membuat kesepakatan dengan Maida, bahwa gadis bermata biru itu akan menitipkan putrinya dengan penjaga asrama itu, lengkap setelah dimasakkan dan dimandikan. Beruntung saja Maira sudah terbiasa ditinggal ibunya dari kecil dan mudah akrab dengan orang lain. Jadi dalam hal ini Gu tidak menemukan kesulitan. Hanya saja Maida sendiri …. “Aku berat melepaskanmu kerja di perbatasan, Gu. Tinggal sajalah di rumah, kan, sudah diberikan santunan untuk janda,” ucap Maida ketika menunggu mobil menjemput Gu. “Terkadang, kerja itu tak melulu soal uang, ada kepuasan karena ilmu yang kita dapat berguna bagi orang lain, Bu,” jawab Gu. Ia melirik arloji di lengan sebelah kanan, sudah 15 menit menunggu tak juga mobil datang. “Dalam islam, rumah merupakan sebaik-baiknya tempat bagi perempuan untuk tinggal, dan berbakti pada suami merupakan cara termudah untuk meraih surga, tentu suami yang baik dan soleh. Kala
Membeku Gu di hadapan Ali. Beberapa langkah lagi dua orang yang pernah saling membenci itu akan bertatapan mata lebih dekat. Tangan gadis bermata biru itu gemetar. Kesempatan untuk membalas dendam sudah sangat terang benderang di depan matanya. Namun, ia tak akan pernah menang melawan lelaki dengan postur tubuh tinggi dan tegap. Gu menjernihkan akalnya dalam waktu singkat. Ia lekas masuk ke dapur ketika dua langkah lagi Ali akan menatap matanya lebih dekat. Di dalam pantry, gadis itu duduk menyandar di dinding. Tubuhnya serasa luruh seperti es di musim panas. Tak ada kekuatan, tak bisa berdiri lagi. Napasnya naik turun dengan cepat. Ingin rasanya Gu menjerit, tapi jika nanti ditanyakan orang lain apa yang akan ia katakan? Lalu Ali akan datang mendekatinya dan membunuhnya karena akan membongkar siapa dirinya dulu. “Tidak, tidak, tidak! Dia tak boleh hidup dengan tenang. Lagi pula apa yang bajingan itu lakukan di sini. Bisa-bisanya dia tertawa dengan pasukan muslim lain. Bukankah dulu