"Nggak ada jodoh-jodohan, ya, Nda! Aku nggak suka!" bentak Mas Danu. Seketika, aku terdiam menahan nyeri yang tiba-tiba datang di hati. Mas Danu baru kali ini membentakku seperti itu. "Maaf, aku nggak bermaksud membentak, tapi tolong jangan pernah berpikir ke sana. Jangan berpikir kalau aku nggak bahagia. Masmu ini selalu bahagia asal kamu selalu tersenyum."Aku tidak lagi menanggapi dan memilih diam. Entahlah, aku bingung bagaimana cara menghadapi Mas Danu. Aku hanya ingin dia bisa bahagia, bukan tersiksa dengan rasa terhadapku. Mas Danu menghindariku sejak kami pulang dari rumah sakit. Dia sama sekali tidak memperlihatkan batang hidungnya di depanku. Kata Ibu, dia tidur di kantor malam ini. Mungkinkah rencanaku menjodohkannya itu membuatnya marah? Bukankah dia yang memintaku mencarikan jodoh saat acara bakar jagung malam itu? Hingga malam mulai larut, aku menjadi sulit tidur meskipun rasa mengatuk sangat menguasai. Pikiran ini selalu tertuju pada Mas Danu. Bahkan, video call dar
"Dari tadi, aku lihat kamu berbeda dari biasanya. Akhirnya, ketemu juga apa bedanya." Mas Arsya memandangku dengan senyum indah. Aku mengerutkan kening. Memangnya, apa bedanya aku sama sebelumnya? "Aku gendutan, ya?" Kutekan kedua pipi dengan tangan. Tahu sendiri kalau perempuan paling anti jika disinggung berat badan olah suami sendiri. Mas Arsya malah tertawa. Sepertinya dia benar-benar ingin berperang denganku. Aku merengut dan membuang muka, kesal. "Bukan itu," sanggahnya di sela tawa yang masih berderai. "Itu, anting baru? Kamu tambah cantik pakai itu." Laki-laki berhidung bangir yang duduk di hadapan itu menarik kedua tanganku, lalu meremas pelan. Meja yang memisahkan kami duduk ini untungnya masih kosong. Pesanan kami belum diantar oleh waiter. "Oh, anting? Dikasih Mas Danu," jawabku tak acuh. Mas Arsya langsung menarik tangan dan menyandarkan punggung di kursi. Dia seperti tidak suka mendengar jawaban dariku. Apa dia cemburu? "Mas nggak suka? Aku lepas aja kalau gitu."
Aku beringsut mundur saat Mas Arsya sama sekali tidak mengenaliku. Lantas, dia justru tersenyum dan memanggil nama Dokter Fahira dengan lugas mekipun belum terlalu jelas. Aku menangis, hancur jika harus menerima kenyataan yang membuat Mas Arsya melupakan siapa aku. "Manda ...." Dokter Fahira memanggilku yang sudah seperti orang linglung. Aku terus berjalan mundur sambil memperhatikan Mas Arsya yang memegangi tangan Dokter Fahira. Ini menyakitkan. Saat punggung menyentuh dinding, aku langsung balik badan dan ingin langsung pergi saja. "Manda." Panggilan lirih menyapa telinga. Tanpa berpikir, aku kembali membalik badan. "Manda." Mas Arsya memanggilku. Apa maksudnya? Aku sungguh tidak memahami apa yang sedang terjadi. Dengan ragu, kaki ini membawa mendekat pada Mas Arsya berada. Senyum kembali terkembang di bibirnya. Tangannya menyentuh perutku saat aku sudah berdiri di samping dia berbaring. "Maaf," ucapnya pelan. Saat sedang panik, khawatir, dan takut menjadi satu, lalu diajak
PoV ArsyaMeninggalkan Amanda di Jogja sebenarnya terlalu berat untukku. Apalagi dengan adanya Danu yang terang-terangan mencintai Amanda lebih dari cinta seorang kakak. Namun, ketulusan dan kesetiaan Amanda membuatku menepis itu semua. Saat mengetahui jika anting yang dipakai Amanda adalah dari Danu, seketika itu aku merasa hampir kalah. Barang pemberian dari Danu bisa menempel di tubuh Amanda tanpa jeda. Sementara dariku? Hanya cincin pernikahan kami karena aku memang belum pernah membelikan perhiasan untuknya. Akhirnya, aku terpikir untuk membelikan kalung secara diam-diam karena Amanda terlihat murung saat kuminta memilih sendiri. Ya, istimewanya istriku itu adalah tidak suka kemewahan, tapi dia sangat suka kejutan. Senyumnya kala aku memakaikan kalung sederhana itu membuat hati ini berdesir. Aku bisa benar-benar mencintai perempuan lagi sejak kepergian Arumi. Mungkin memang Arumi-lah yang selama ini membuatku tidak mau menerima cinta lain dari sang mama, karena nyatanya aku me
Aku memilih kembali ke ruang rawat Mas Danu untuk menekan emosi. Mendengar kesaksian Dokter Fahira di depan Mas Arsya tadi rasanya begitu menyakitkan. Aku jadi bertanya-tanya tentang hubungan dokter itu dengan Arumi. Kenapa dia mengakui anak sambungku sebagai miliknya bersama Mas Arsya? Akan tetapi, lagi-lagi aku mendapat kejutan. Tepat sebelum aku masuk ke kamar rawat Mas Danu, Mbak Rima dan Mas Udin membuka pintu. Mereka pamit untuk ke kantor EO. Aku pun memilih berdiam di depan kamar rawat Mas Danu sambil menahan dengan kaki agar daun pintu tidak tertutup rapat. "Gue nyesel, Rud. Gara-gara obsesi buat milikin Manda, gue hampir aja buat calon ponakan gue jadi yatim sebelum lahir. Gue lega karena Arsya selamat dan Manda bisa senyum lagi. Kemarin, gue kayak orang gila dan nggak sadar. Gue pikir, kalau Arsya nggak selamat, Manda bisa sama gue. Tapi, itu salah.""Lu emang salah, Dan. Gue udah sering bilang, cari cewek lain buat move on, tapi lu nggak pernah dengerin.""Gue udah coba i
Rupanya, rencana acara empat bulananku yang direncanakan Ibu sebelumnya bersamaan dengan hari ulang tahunku. Aku bahkan lupa dengan tanggal di mana aku pertama kali bernapas. Semua masalah yang ada, menjadikanku tidak ingat dengan diri sendiri. Mas Danu pun sudah mengakui kesalahannya di hadapanku, Ayah, Ibu, dan Mas Arsya. Dia bilang, rela jika harus dilaporkan ke pihak berwajib. Ayah dan Ibu sangat marah mendengar kenyataan yang terjadi. Namun, Mas Arsya sangat lapang dada dan memaafkan Mas Danu dengan mudahnya. Ya, Mas Danu sudah kembali menjadi kakakku yang dulu. Meskipun aku tidak tahu isi hatinya, sikapnya banyak berubah. Hari ini adalah hari kedua dari event pertama yang ditangani EO Mas Danu. Aku dan Mas Arsya berharap agar event itu berjalan lancar dan bisa menjadi awal mula dekatnya Mas Danu dengan Dokter Fahira. Secara usia, Dokter Fahira lebih tua tiga tahun dari Mas Danu. Namun, itu bukanlah halangan utama jika mereka akhirnya saling cinta. "Sayang, kapan suamimu yang
"Kalau ... ehm, itu ... dengan istri, apa sudah boleh?" Sedikit gugup, Mas Arsya berucap. Mataku membulat. Pertanyaan laki-laki yang botak sebelah itu membuatku sangat malu. Apalagi, tanggapan sang dokter yang blak-blakan, membuat perawat yang ada di belakangnya ikut menahan senyum."Boleh, Pak. Asal pelan-pelan saja." Dokter itu menepuk pelan bahu Mas Arsya. Aku spontan menunduk, menyembunyikan wajah yang pastinya sudah memerah. Duh, suamiku! Maluku menjadi berlipat ganda saat seorang laki-laki dengan kaus merah tertawa cekikikan di ambang pintu kamar rawat ini setelah dokter dan perawat yang memeriksa Mas Arsya pergi. Aku tidak tahu sejak kapan Mas Danu ada di sana. Apa mungkin dia mendengar pertanyaan Mas Arsya kepada dokter tadi? Duh, ingin rasanya aku menggunakan jurus menghilang yang pernah diajarkan Naruto dalam mimpi. Setelah kecelakaan, suamiku menjadi aneh. Apa mungkin ada otaknya yang bergeser dari tempat semula?Astaga! Aku menepuk jidat sendiri. Bisa-bisanya aku berpi
Pagi ini, aku tidak bisa menutupi gelisah. Rencana kedatangan Mama hari ini membuatku kepikiran. Meskipun sosoknya belum terlihat, aku sudah sangat takut. Aku tidak ingin dipisahkan dari Mas Arsya.Selepas memastikan Mas Arsya sarapan dan minum obat, aku mondar-mandir sendiri di kebun belakang rumah. Memetik cabai dan tomat untuk membuat sambal, hanya sebagai alasan klise. Aku tidak ingin Mas Arsya cemas. Mata ini tiba-tiba menangkap sosok Mas Mas Arsya. Dia berjalan mendekat dari arah pintu dapur. Senyumnya yang begitu mania selalu mengembang sekarang. Namun, laki-laki itu berjalan melewatiku tanpa berkata, lalu berhenti di depan pohon pisang. "Pohon pisang ini, pohon yang sangat baik dan tidak peduli diri sendiri. Dia cuma berpikir, bagaimana caranya bisa bermanfaat untuk makhluk hidup lain. Bayangan saja, setelah satu kali berbuah, dia pasti akan mati. Namun, daunnya masih bisa dimanfaatkan, buahnya bisa dimakan, dan dia sudah menumbuhkan tunas baru untuk menggantikan tugasnya ya