Emily menatap Alaric dengan rasa tak percaya. Bahkan kelopak matanya tampak mengerjap-ngerjap. “Aku akan batalkan perjanjian itu.” “Apa?” Emily lagi-lagi dibuat syok dengan pernyataan Alaric. Emily tiba-tiba mengulurkan tangan, lantas menyentuhkan punggung tangan ke kening Alaric. “Tidak panas, tidak demam, kenapa kamu melantur?” tanya Emily masih tak percaya dengan ucapan pria itu. Alaric menurunkan tangan Emily dari kening, lantas menggenggamnya erat. Dia hanya menatap Emily, tapi bisa membuat jantung wanita itu berdegup cepat. Emily mencoba menarik tangannya, karena posisinya yang berbaring, membuatnya kesulitan melepaskan diri dari Alaric. “Setelah dibatalkan, apa yang kamu inginkan?” tanya Emily memastikan. “Entah, mungkin memulai semuanya dari awal.” Alaric menjawab sambil menatap Emily. Emily menggigit bibir bawahnya, tanpa perjanjian itu, apakah Alaric nantinya akan mencampakkannya? “Kalau begitu jawab dulu. Sejak kapan kamu mengambil foto itu?” tanya Emily
Emily membuka mata saat pagi hari, tapi ada yang berbeda pagi ini. Jika biasanya dia akan bangun dalam kondisi sendiri karena Alaric pasti sudah bangun lebih dulu, tapi pagi ini pria itu masih memeluknya erat. “Al, sudah pagi. Bangunlah.” Emily mencoba membangunkan Alaric yang memeluknya dari belakang. Setelah semalaman bicara membahas masalah konferensi pers hanya untuk mengurai kecanggungan, keduanya tidur hingga Emily membiarkan Alaric memeluknya. “Lima menit lagi,” bisik Alaric masih belum membuka mata. Embusan napas Alaric menerpa tengkuk leher Emily, membuat bulu kuduknya merinding. “Al bangun atau aku akan menjadi alarm yang akan terus berbunyi sampai kamu bangun,” ancam Emily dengan nada candaan. Alaric tersenyum tipis mendengar ancaman Emily. Dia akhirnya melepas pelukan hingga Emily bisa membalikkan badan ke arahnya. “Biasanya jam segini kamu sudah keluar dari kamar mandi dengan aroma wangi menguar ke mana-mana, sekarang lihat mukamu. Muka bantal, bahkan apa ini? Ada
“Kenapa tidak membalas panggilanku semalam?”Alaric menatap Billy yang baru saja datang dan langsung mengamuk.“Aku tidak lihat,” balas Alaric dengan santainya.“Ck … tidak lihat, sepertinya kamu memang mengabaikan,” gerutu Billy sambil menarik kursi yang ada di depan meja kerja Alaric dan duduk di sana.“Ada apa?” tanya Alaric menatap Billy yang baru saja duduk.Billy menatap Alaric, tapi sedetik kemudian mencebik kesal karena sahabatnya itu baru sekarang bertanya.“Aku hanya ingin memberitahu informasi soal Aster,” jawab Billy.Alaric langsung memasang wajah tak senang saat mendengar nama Aster.“Apa yang ingin kamu sampaikan?” tanya Alaric.“Dia kabur ke luar negeri, sepertinya tahu jika akan terkena masalah besar karena klarifikasimu, sebab itu dia memilih pergi lebih dulu,” jawab Billy menjelaskan.“Bersama siapa? Gio?” tanya Alaric memastikan.“Tidak. Sepupumu itu masih di kota ini. tampaknya Aster pergi untuk menghindari masalah yang akan menjeratnya karena kasus ini,” jawab Bi
Emily pergi dari perusahaan menggunakan mobil sang papi. Dia mengemudikan mobil menuju ke sebuah kafe untuk membeli makan siang. Emily pergi ke kafe langganannya, lantas memesan menu makanan dari sana juga minuman untuk disantap bersama Alaric. “Pesanan Anda.” Emily menatap pelayan yang baru saja memberikan pesanannya lantas berterima kasih. Saat akan berdiri karena harus pergi, tiba-tiba saja ada yang berdiri di hadapannya. “Ternyata benar, kamu menikah dadakan karena merebut calon suami orang.” Emily menatap Selena yang bicara sangat pedas akan statusnya. Rivalnya itu sepertinya takkan puas sebelum bicara buruk tentangnya untuk menjatuhkan. Emily hanya tersenyum miring mendengar tuduhan itu, lantas berdiri sambil memandang Selena. “Ternyata kamu kurang update. Apa televisi di rumahmu rusak? Atau jangan-jangan ponselmu rusak dan kamu tak mampu beli. Mau aku belikan?” Emily langsung melontarkan kalimat ejekan bernada sindiran untuk membalas Selena. Selena tampak kes
“Bukan mengawasi, aku menyuruh mereka untuk menjagamu hanya berjaga-jaga saja karena kita tidak tahu imbas apa yang didapat dari masalah kemarin. Mereka akan selalu berada di dekatmu untuk berjaga-jaga jika ada gerak-gerik yang mencurigakan.”Alaric menjelaskan agar Emily tak salah paham.Emily mengangguk-angguk mendengar penjelasan Alaric, hingga tangannya ditarik agar duduk di sampingnya.“Kamu terus berdiri seperti pelayan,” ucap Alaric.Emily menggelembungkan kedua pipi mendengar ucapan pria itu.“Ya, aku ‘kan lagi nyiapin makanan. Bukankah harusnya begini?” tanya Emily berusaha belajar jadi istri yang baik.“Harus begini bagaimana? Tidak perlu melakukan apa pun. Jika aku bisa sendiri, aku akan melakukannya sendiri,” ujar Alaric sambil mengambil sendok di meja.“Mami selalu menyiapkan segala kebutuhan Papi meski bisa sendiri juga ada pembantu, jadi tidak ada salahnya aku belajar seperti itu,” ucap Emily sambil menatap Alaric.Alaric menoleh ke Emily saat mendengar apa yang diucapk
“Papi!” Emily langsung menghampiri Ansel yang datang ke ruang kerjanya. “Kenapa tidak memintaku ke ruangan Papi saja?” tanya Emily sambil merangkul lengan sang papi lantas mengajak duduk di sofa. “Kebetulan dari luar, jadi sekalian mampir untuk menyampaikan pesan mamimu,” jawab Ansel saat sudah duduk bersama Emily. Emily terkejut mendengar Ansel membahas sang mami, hingga kemudian bertanya, “Mami kenapa?” Emily langsung cemas jika menyangkut tentang ibunya. “Mami tidak kenapa-napa. Dia tadi bilang kalau kangen kamu makan malam di rumah. Kalau kamu dan Alaric ada waktu, mampirlah ke rumah,” ucap Ansel. Emily langsung sedih karena sudah membuat ibunya rindu. “Iya, Pi. Kami pasti akan ke sana,” balas Emily. Emily melihat sang papi yang memperhatikannya, membuat Emily salah tingkah. “Papi kenapa menatapku seperti itu?” tanya Emily melihat tatapan sang papi yang aneh. Ansel malah tersenyum mendengar pertanyaan putrinya itu. “Kamu terlihat lebih bahagia, pasti Alaric memperlakuka
Emily berbaring miring di ranjang dengan perasaan kesal. Meski tahu kalau pekerjaan lebih penting, tapi Alaric yang tak bicara sepatah kata pun kepadanya, membuat Emily semakin kesal.Bahkan saat suaminya pergi, Emily memilih diam saja di kamar. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, belum ada tanda Alaric pulang membuat Emily masa bodoh dengan pria itu.“Dia menyebalkan, kenapa tidak berkata sesuatu sebelum pergi, setidaknya maaf atau apa.”Emily menggerutu, sampai-sampai tak bisa tidur karena kesal.Emily mengecek ponsel, tak ada pesan atau panggilan dari Alaric untuk sekadar mengabari, membuat Emily semakin diabaikan.Baru saja Emily meletakkan ponsel kembali ke nakas, terdengar kamar pintu terbuka. Emily langsung bangun, dia melihat Alaric yang baru saja pulang.“Kamu belum tidur?” tanya pria itu sambil melonggarkan dasi lantas melepasnya.Emily memperhatikan wajah Alaric yang agak menunduk. Pria itu sedang melepas jas.“Kamu mabuk?” tanya Emily karena wajah dan mata pria itu agak me
Emily masih memejamkan mata saat bibir mereka saling bertautan, hingga dia merasakan tangan Alaric yang menyentuh kancing piyamanya“Al.” Emily melepas pagutan sambil mencoba mencegah apa yang hendak dilakukan pria itu.Alaric menatap Emily yang baru saja melepas tautan bibir mereka.“Kenapa?” tanya Alaric sambil menatap wajah Emily yang bersemu merah.Emily mengulum bibir sambil menatap mata Alaric.“Aku belum siap,” ucap Emily langsung karena paham ke mana arah yang dilakukan Alaric.Alaric menatap Emily yang tampak takut. Dia pun mengecup kening istrinya itu dengan lembut.“Tidak apa, aku ke kamar mandi dulu. Tidurlah,” ucap Alaric lantas pergi meninggalkan Emily.Emily hanya menggigit bibir bawahnya. Dia benar-benar belum siap jika harus melakukan hubungan suami-istri secepat itu.Emily memilih kembali berbaring miring sambil membungkus tubuhnya dengan selimut. Dia tak bisa memejamkan karena takut tiba-tiba Alaric memaksanya.Beberapa saat kemudian. Emily mendengar suara pintu ter