Share

Rambut Merah

Pada zaman dahulu, mereka yang memiliki rambut merah ditangkap dan dijatuhi hukuman dengan cara dibakar hidup-hidup di tengah keramaian. Mereka dianggap sebagai penyihir yang membuat banyak kekacauan. Namun, kebijakan tersebut memang telah lama dihapuskan, walau tetap saja mereka yang memiliki rambut merah tetap merasakan adanya ketidakadilan karena masyarakat tetap menangkap remeh mereka. Tidak terkecuali keluarga Duke Aixlon, di mana setiap keturunan mereka pasti memiliki rambut merah. Jarang rakyat biasa memiliki rambut merah juga, walau ada pasti tidak banyak. Makanya, tak heran Aixlon merasa aneh dengan Jack.

“Kenapa kalian di sini?” tanya Aixlon membuka obrolan setelah keheningan terjadi.

“Memangnya kenapa?” Lagi-lagi Jack menjawab dengan dingin.

Aixlon tidak dapat berkata apa-apa lagi, karena sepertinya Jack tidak ingin didekati olehnya. Aixlon memang tidak pernah berinteraksi dengan anak-anak, sehingga ia tidak tahu bagaimana caranya agar anak tersebut mau berbicara santai dengannya.

Serkey yang memang mengamati sedari tadi, muncul di tengah-tengah mereka, untuk membantu Aixlon. Ia tahu seberapa penasaran Aixlon pada anak-anak yang memiliki rambut merah. Sebab, Aixlon bukan sekali dua kali melakukan hal tersebut. Walau demikian, inilah pertama kalinya ia melihat seorang anak memiliki rambut merah, ciri khas keluarga Aixlon.

“Ada apa Aixlon?” tanyanya sembari menepuk pundak Aixlon.

“Ah!” Aixlon tampak sedikit terkejut.

“Kenapa kalian ada di sini? Di mana orang tua kalian anak-anak?” tanya Serkey, ia mengambil posisi berjongkok untuk menyesuaikan dengan tinggi kedua anak tersebut. Pertanyaan Serkey membuat Gleysia menangis. Dengan bingung ia kembali bertanya, “Kenapa menangis adik kecil?” Serkey menyeka air mata Gleysia.

“Kami tidak punya orang tua,” tutur Jack. Ia terlihat menenangkan Gley yang tengah menangis tersedu-sedu, mengikat kembali kenangannya bersama orang-orang yang ia cintai.

Enggan berbicara lebih dalam, Jack menarik tangan Gleysia, membawanya menjauh dari dua lelaki berparas tampan tersebut.

Aixlon bergeming. Anak lelaki itu terlihat persis serupa dengan kakaknya.

“Hei!” Serkey menyikut lengan Aixlon, membuatnya tersadar dari lamunannya.

“Anak itu mirip Kak Max,” gumam Aixlon. Max adalah kakak tertua Aixlon yang sampai saat ini keberadaannya tidak diketahui.

“Ayo kembali ke tenda terlebih dahulu,” ajak Serkey. Aixlon masih memandangi punggung dua anak yang menjauh tersebut.

***

Lelaki itu menyibak rambut yang menutupi wajahnya, rambutnya berwarna perak senada dengan pakaian yang tengah ia kenakan. “Kau mau memastikannya?” Ia melontarkan pertanyaan pada seorang lelaki sebaya dengannya yang terlihat tengah sibuk mencari sesuatu.

“Dapat!” ujar Aixlon senang, seolah-olah mendapat hadiah besar. Ia menenteng sebuah kalung dengan liontin berlambangkan bunga Ranunculus, lambang keluarganya. Segera Aixlon membuka liontin tersebut, menampilkan sebuah foto keluarga harmonis. Sepasang suami-istri dengan dua orang anak lelaki di tengah-tengah, lalu wanita tersebut mengendong seorang bayi.

“Mirip banget,” gumamnya. Serkey mendekat, melihat liontin milik Aixlon.

“Kau mau melakukan tes?” tanya Serkey.

“Tidak,” ujar Aixlon.

Ia sepertinya telah lelah melakukan banyak tes pada orang yang mempunyai rambut merah. Ia hanya ingin menerima kenyataan bahwa ia tidak akan pernah bertemu dengan kakak tertuanya, terlebih ia saat ini bertemu dengan seorang anak kecil. Mustahil bila itu adalah kakaknya.

Beberapa puluh tahun yang lalu, keluarga Duke Garth dikenal memiliki keluarga yang cukup harmonis, pasangan suami-istri tersebut memiliki tiga orang putra. Anak pertama bernama Maxiliam la Garth, putra kedua bernama Reyhard la Garth, lalu putra bungsu mereka bernama Aixlon la Garth. Namun, keharmonisan keluarga tersebut harus hancur karena meninggalnya pasangan suami-istri itu, meninggalkan ketiga putranya yang masih kecil kala itu. Sebagai anak pertama, Max mulai melakukan tugasnya sebagai kepala keluarga menggantikan keberadaan sang ayah. Karena usia yang masih muda, membuat Max kerap kali mendapat hal yang seharusnya tidak ia alami. Harta serta daerah kekuasaan yang dirampas darinya, membuatnya tidak berdaya kala itu. Raja yang berkuasa tidak melakukan apa pun, ia hanya mengamati belaka, seolah tak ingin masuk ke dalam masalah mereka.

Hari demi hari mereka lalui bersama. Aixlon yang masih balita kala itu, belum mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya. Bahkan, ia juga tidak mengetahui apa alasan kakak pertamanya pergi meninggalkan keluarganya. Hingga yang tersisa dari keluarga tersebut hanyalah Reyhard dan Aixlon. Sepeninggal Max, Reyhard menggantikan posisi kakaknya sebagai kepala keluarga. Kala itu, keluarga mereka tengah berada dalam keterpurukan. Banyak orang mengatakan bahwa keluarga yang telah memiliki sejarah panjang tersebut sudah hampir runtuh. Cemoohan yang dilontarkan orang-orang, membangkitkan semangat Reyhard untuk kembali membawa kejayaan pada keluarganya. Namun, semangatnya tidak membuat Reyhard mampu melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Ia akhirnya menyusul kedua orang tuanya, menyisakan Aixlon sebagai satu-satunya keluarga Duke Garth. Aixlon diangkat menjadi duke saat ia baru berusia sepuluh tahun. Usia yang masih sangat muda untuk memikul beban sebagai kepala keluarga. Itulah mengapa ia dipanggil dengan sebutan “Duke Muda”.

Kenyataan pahit yang harus dihadapi anak berusia sepuluh tahun tersebut membuatnya hampir tidak merasakan bagaimana indahnya masa kanak-kanak. Di bawah kepemimpinan Aixlon, keluarga yang telah berjaya puluhan tahun lamanya, kembali bangkit. Lelaki tersebut saat ini masih berusia dua puluh lima. Walau segala hal telah ia miliki, tetap saja ada ruang hampa di hatinya.

“Jika kau mau, aku dapat membujuk anak tersebut untuk ikut ke kediamanmu,” ujar Serkey. Sorot mata Aixlon yang ia lihat sangat menginginkan anak lelaki tersebut.

Tidak ada jawaban dari lelaki tersebut.

“Kau tenang saja,” ujar Serkey kembali seraya menepuk pundak Aixlon.

“Baiklah!” ujar Aixlon.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status