Mataku memindai ke seluruh ruangan. Ruang yang terbuat dari kayu ini terlihat bagitu tertata rapi. Jika pemiliknya adalah penyihir wanita tadi, wajar saja. Sejak dulu, wanita terkenal memiliki kerapian lebih baik ketimbang laki-laki. Aku yang hanya hidup berdua dengan Paman, tentu tak akan menemui tempat tinggal kami serapi ini.
Aku sama sekali tidak ahli dalam beberes, begitupun dengan beliau. Pria yang mengasuhku itu hanya merapikan seadaanya. Jadi, pemandangan ruang kotor dan tak sedap dipandang itu biasa. Dan hal luar biasanya adalah yang ada saat ini.
Melihat semua ini, aku semakin menguatkan diri untuk pergi. Setidaknya di sini paman memiliki pasangan. Beliau akan hidup dengan lebih baik, dan sang mate akan mengurus semua kebutuhannya. Aku rela beliau hidup bahagia tanpaku, karena sudah cukup bertahun-tahun menanggung hidupku.
Paman, aku mendoakan kebahagianmu.
“Dav, maaf lama. Paman masi
“Dav, apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan Paman, ya?” ucap paman tadi siang. Kini sudah malan, itu artinya sudah waktunya aku pergi seperti perjanjian. Hanya saja, aku masih menunggu penyihir itu memenuhi janjinya. Enak saja, apa aku harus pergi tanpa membawa apa pun?Aku memang berbiat untuk pergi, tetapi begitu wanita penyihir itu mendatangiku, aku bertekad untuk pergi dengan persiapan. Amu bagaimana lagi, wanita itu yang menawarkan semua itu padaku. Jadi, tak ada salahnya untuk menyambut baik dan menerimanya, kan?Paman, maafkan aku yang tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku yakin, kau tak akan kesepian karena kepergianku. Ada pasanganmu yang akan menemanimu menggantikanku. Kalau saja nanti kau merindukanku, pasti ia tak akan tinggal diam. Selamanya, aku akan memanggilnya wanita penyihir. Aku tak mau memanggil dengan namanya. Bagiku, terdengar memuakkan.Namanya memang bagus, tetapi wanita itu gagal mengambil hatiku. Dia menjengkelkan, hingga aku enggan m
Begitu cahaya ini semakin menyilaukan, mataku kembali kututup. Peduli setan pada penyihir ini! Aku sama sekali tak masalah akan dibawa ke mana. Jika ke tempat yang tidak bagus, akan kubuat perhitungan padanya nanti.Tak lama—dengan jeda waktu yang hampir sama pada saat itu, kami sampai. Rasanya lebih baik ketimbang yang pertama, dan aku bersyukur kali ini tidak pingsan. Bisa kurasakan itu, karena tubuhku terasa lebih ringan tanpa merasa sakit. Andai dulu juga begini, tentu aku akan merasa lebih baik.“Bukalah matamu, Bodoh!”Meski terasa jengkel, aku tetap menuruti perintahnya. Enak saja memanggilku bodoh, memangnya dia siapa?“Ja ... ngan ... pang ... gil ... bodoh!” Aku menjawabnya dengan ketus. Yah, meski ucapan ini harus susah payah kukeluarkan. Setidaknya sudah bisa membuatnya mengerti bahwa aku tak suka.“Jika bukan bodoh, lalu apa? Kau s
Hal yang pertama kali kucari adalah sumber air. Penyihir itu memang membawakanku air dalam botol, tetapi tidak banyak. Aku sebagai makhluk hidup menyadari air adalah kebutuhan pokok. Mungkin saja nanti saat aku mencari sumber air, akan menemukan tempat sebagai bernaung juga. Mengandalkan indera pendengar, aku mencoba mencari. Begitu lama berjalan hingga tak tahu tujuan. Apalagi, aku sama sekali tidak mengenal tempat ini. Mana tahu aku ini wilayah werewolf, atau vampire. Bagus jika penghuninya tidak memusuhi werewolf sepertiku. Jika tidak, bisa habis usiaku di tangan mereka. “Diam di tempatmu!” Tubuhku reflek membeku kala mendengar suara itu. Suara wanita, tetapi terdengar lebih berat. Di leherku, terasa ada logam yang didekatkan tepat di urat nadi. Kuduga ini adalah pisau yang sekejap bisa membunuhku. Ah, lagi-lagi aku kena sial. Belum melihat matahari terbit saja sudah bertemu dengan makhluk yang memburu hidupku.
“Ha?” Di keremangan malam, wanita itu menunjuk wajahnya sendiri dengan heran. Memang, apa yang salah dari ucapanku?“Kau ... mesum!” pekiknya sambil menutupi dada dengan kedua tangannya.Aku, mesum? Bagian mana dariku yang bisa dikatakan seperti itu? Lama kupandangi wajahnya dengan kebingungan.“Kau aninjing gagap yang mesum! Apa yang kau tunjuk di dadaku, hah!?”Ya ampun! Aku berpikir, apa wanita itu mengira aku menunjuk dadanya? Padahal, maksudku adalah kalung yang melingkar di lehernya. Sekarang, siapa yang berpikir kotor?“Ka ... lung,” ucapku.Seperti tersadar, wanita itu langsung membolakan matanya. Tangan yang tadinya menutupi dada sudah tak ada. Kini, tangan kanannya malah meraba kalungnya. Kalung itu adalah kalung yang kukenal. Meski tak bisa kulihat secara langsung, tetapi setiap aku berkaca selalu melihatnya. Han
“Kau tidak memiliki banyak pengetahuan tentang wilayah ini, kan? Jadi, akan lebih baik untukmu ikut denganku. Selain mendapatkan tempat tinggal, kau juga mendapatkan perlindungan. Juga, kau tak perlu memikirkan banyak hal tentang kebutuhan hidup,” tambahnya lagi.Apakah semua wanita memang seperti ini? Baru dua kali dalam kurun waktu yang berdekatan, aku dekat dengan dua wanita. Dekat dalam arti bukan yang sebenarnya. Maksudku, dekat dan berbinang seperti ini saja, bukan dekat dalam artian menjalin hubungan.Meski dingin, penyihir yang mengusirku itu juga banya bicara. Kurasa hanya kedoknya saja dia galak pada kami. Pun dengan vampire ini. Awalnya saja dia menggertak dan menakutiku. Begitu tahu satu hal, dia berubah cerewet dan banyak bicara.Hidup lama dengan paman membuatku tidak terbiasa bicara banyak. Sebaliknya, aku lebih banyak berpikir tentang semua hal. Jadi. Aku merasa nyaman saja saat
“Sayang sekali kau tak memiliki kemampuan itu, ya! Lalu, kemampuan apa yang kau punya?” tanya Daphne, lagi.Awalnya aku kagum akan paras wanita ini. Akan tetapi, semakin lama aku semakin tidak suka. Dia terlalu banyak bertanya dan terkesan cerewet. Kalau saja aku bisa, ingin sekali membungkam mulutnya yang tidak berhenti berbicara itu. Namun, aku masih menyadari, bahwa kehadirannya masih kubutuhkan.“Tidak ... tahu,” balasku. Sengaja kuketuskan nada bicaraku agar dia mengerti, jika aku tidak begitu suka kecerewetannya.“Andai tak ada kalung itu bersamamu, sudah pasti aku akan meragukan kau itu saudaraku, Dav. Kau begitu menjengkelkan! Entah dari siapa kau mengambil sifat ini!”Masa bodo aku mengambil sikap ini dari siapa. Aku tak mau peduli. Akan lebih baik jika dia memang bukan saudaraku, karena aku mulai muak dengan ocehannya. Kalau saja bisa, aku sudah pergi sen
Nah, kan. Firasatku tak akan salah soal ini. Dasar wanita iblis!Begitu aku menyetujui permintaannya, dia langsung menyeretku begitu saja. Seperti binatang ternak yang harus bekerja tanpa kenal lelah. Sebagai seorang werewolf, harga diriku dihancurkannya. Dia berlari begitu cepat, hingga aku harus beberapa kali menegurnya. Aku memang werewolf, tetapi untuk mencapai kecepatan ini, aku tak sanggup.“Ber ... ber ... henti!” pekikku. Saking cepatnya, mataku sampai berair. Rasanya panas, dan tubuhku sampai terasa remuk karenanya. Sial! Kalau bisa, aku ingin menjitak kepalanya itu.“Ini menyenangkan, Dav! Kita harus melakukannya lagi kapan-kapan, ya?”Gila! Wanita ini ingin membunuhku secara perlahan, ya? Tanganku yang ditarik mungkin bisa saja putus, jika aku melakukan apa yang dikatakannya. Apa dia tidak tahu jika tubuhku tidak sekuat dia? Dasar! Awas saja nanti. Aku akan melakuka
“Kau mau berjanji padaku, kan?” desaknya. Kudengar dari nada bicaranya, sepertinya dia benar-benar dalam kesulitan jika aku melakukan apa yang dilarang. Kalau begini, aku jadi penasaran dengan bagaimana sosok ibu yang sebenarnya.“Ibu ... bagai ... mana?” tanyaku. Dengan masih memejamkan mata, aku ingin mendapat jawaban. Biar saja. Aku ingin mengumpulkan tenaga dulu.“Selama aku bersamanya, beliau tidak pernah terlihat berbahaya. Rupanya tak lebih cantik dariku, tentunya karena beliau sudah tua. Tapi, jangan remehkan kekuatannya saat marah. Kursi yang tak bersalah bisa saja hancur dalam sekejap mata. Ah, satu lagi! Jika aku mirip Mom, maka kau adalah duplikat Dad. Hanya saja, mata Dad berwarna merah, sedangkan kau hitam,” jawabnya.Senang rasanya, begitu mendengar sebagian dari diriku mirip orang tuaku. Apalagi, selama ini paman hanya menceritakan bagaimana perlakuan ibu dan ayah