Kabar tentang video Dinda menyebar dengan begitu cepat. Tak hanya sekumpulan remaja laki-laki di waktu itu saja, hampir setiap ibu-ibu berkumpul berita itu selalu menjadi topik hangat. Dari mulut ke mulut, telinga satu ke telinga lain.
Ibu-ibu yang sering menjadikan rumah Nor di belakang sebagai tempat bergosip, tentu saja membuatku bisa mendengar jelas meski hanya dari dalam kamar. Tanpa malu mereka membicarakan aib sesama perempuan yang menurutku seharusnya ditutupi.
Mereka selalu seolah menyayangkan kecantikan Dinda yang malah berbanding terbalik dengan kelakuan dan nasib buruknya.
Harus kuakui, Dinda yang juga duduk di kelas tiga SMP sepertiku memang telah menunjukkan kesempurnaan luar biasa. Kulitnya yang putih bersih, tubuhnya yang tinggi semampai. Bahkan wajahnya pun serupa boneka Barbie. Dinda menjadi kembang desa yang selalu dibicarakan oleh lelaki baik yang lebih tua hingga lebih muda dariku.
Rasanya, aku sulit mempercayai jika Dinda-lah yan
Ban sepeda motor Ayah yang bocor membuatku tak bisa pergi ke sekolah lebih awal seperti biasanya. Ketika memasuki gerbang, bisa kurasakan tatapan aneh dari orang-orang di sekitar. Beberapa di antara mereka tampak berbisik satu sama lain setelah memandangku. Jika selama hampir tiga tahun ini keberadaanku seakan tak dianggap, kali ini terasa berbeda ….Begitu berhenti di depan kelas, aku yang terus melangkah menuju kursi tak lagi mendapati tote bag kecil seperti pagi-pagi sebelumnya. Bahkan yang mengisi laciku kali ini hanya tumpukan sampah. Aku memindai sekitar, murid-murid lain tampak sibuk saling berbincang satu sama lain tanpa menghiraukan kedatanganku. Aku menunduk, kalimat-kalimat tanya itu lagi-lagi hanya suara yang terdengar di dalam kepala.Aku bangkit, berjalan menuju sudut kelas di mana sapu untuk bersih-bersih kelas diletakkan. Saat hendak mengambil kan
Selama ini, aku sudah banyak mengalah hanya untuk menghindari keributan. Aku hanya mengiyakan setiap harus dimintai tolong meski seringkali permintaan murid lain berlebihan. Aku tak pernah ingin terlibat dalam sebuah kelompok mana pun sebagai bentuk perlindungan dari masalah luar.Namun, di hari ini, semua yang kulakukan seolah sia-sia. Pada akhirnya, aku tetap membuat Ayah menginjakkan kaki di sekolah karena surat panggilan kepada orang tua. Kenapa semua selalu menjadi seperti ini walau aku telah bersusah payah?Saat memasuki kantor, tak hanya para guru yang tampak, tapi juga Anoy bersama perempuan yang mungkin usianya jauh lebih tua dibanding Ayah. Salam yang diucapkan Ayah pun segera mendapat jawaban. Kami dipersilakan duduk pada sofa, tepat berhadapan dengan Anoy.Bu Lina menyodorkan beberapa gelas air mineral sebelum turut duduk pada sisi kanan di antara kami, para tamu yang mungkin tak terhormat. Beliau berbicara panjang lebar menjelaskan satu demi satu ma
Rumah berubah menjadi tempat menyeramkan yang rasanya tak ingin lagi kudatangi. Tempat yang selama ini hanya ruang dingin di balik gemerlap semu keromantisan keluarga palsu.Ayah menghentikan sepeda motor begitu sampai di halaman. Di depanku, bayangan-bayangan hitam seolah menungguku bergabung dalam kelam. Baru satu langkah kupijak lantai, aura kebencian yang kuat serta merta menyambut, menjelma selimut yang malah membekukan seluruh gerak. “Nay gak pernah pacaran. Nay gak pernah pacaran.” Ibu terus mengulang ucapan yang pernah kulontarkan untuk membantah. Sosok itu masih tampak duduk tenang setelah mematikan televisi.Saat aku melangkah menuju kamar, barulah Ibu turut bangkit mendekat. Tergesa aku ingin segera masuk, tapi tanganku yang hendak menutup pintu malah dicengkeram Ibu.Ibu mengempaskan tanganku yang gemetar, kemudian berdiri tepat di ambang pintu. Aku melangkah mundur dan mengambil sedi
Uluran tangan saat aku hendak pamit pada Ibu hanya diabaikan. Bahkan sejak kemarin, kapan pun aku keluar kamar Ibu pasti akan segera menjauh tanpa mengucapkan apa pun. Menoleh atau melirik ke arahku saja tak dilakukan Ibu sama sekali.Malam pun di saat jam makan, aku yang mengingat ucapan Ibu hanya berani mengunci pintu kamar dan mendengarkan celoteh serta tawa mereka saja. Ayah, Ibu, Kak Nila bahkan Dek Mila tampak begitu seru membicarakan banyak hal. Seolah-olah aku telah dilupakan. Tak ada satu pun yang terdengar menyebut apalagi menanyai keberadaanku. Mereka tertawa, dan tampak sempurna meski tanpa aku.Ayah yang mengantarkanku sekolah pun sama, tak mengucapkan sepatah kata pun. Sama, mengabaikanku yang hendak mencium punggung tangannya seperti biasa.Saat melangkah memasuki gerbang, lagi, orang-orang yang melihat bagaimana sikap Ayah padaku tampak berbisik satu sama lain. Menatapku sinis bahkan terkesan seolah jijik.Kutundukkan wajah dengan tangan y
Berlalu satu minggu, tak hanya Filah dan Bela, tapi seluruh orang seakan telah melupakan apa yang telah terjadi. Mereka tak lagi membicarakan tentangku, tapi juga seakan tak lagi menganggap keberadaanku.Tak ada yang menyapa, apalagi bertanya atau mendesak meminta hal-hal berlebihan. Tak ada lagi tatapan kebencian dan sinis karena seakan-akan semua sengaja menghindar untuk melihatku.Mereka sama seperti Ibu. Sama seperti Ayah. Sama seperti Kak Nila dan Dek Mila.Mungkin waktu terus berjalan dengan banyak hal-hal yang terjadi dan berubah. Namun, bagiku malah sebaliknya. Aku seperti hanya berputar pada satu siklus yang sama setiap harinya. Semua yang terjadi hanya terus berulang pada kejadian sama. Dan semakin membosankan.Aku merasa seperti robot. Aku merasa seperti pion game yang hanya diatur untuk melakukan beberapa hal, tak lebih dan tak berkurang. Aku bahkan tak bisa lagi membedakan apa semua ini nyata atau hanya sebuah mimpi yang takkan berakhir jika
“Kamu adalah gadis yang lebih dari sekadar rumit, Nay. Banyak hal yang mungkin tak kuketahui. Yang aku tahu kamu hanya tak pernah menolak meski sebenarnya keberatan dengan permintaan orang lain. Yang aku tahu kamu hanya begitu menurut meski keinginan kamu yang sebenarnya malah bertolak belakang. Itulah kenapa aku bersikap seperti ini agar kamu menerima keberadaanku bukan karena terpaksa. Aku ingin kamu bisa menunjukkan sikap apa adanya, sebagai apa pun kamu adanya.” Lagi dan lagi, Kak Anoy yang terkesan lebih memahami aku lebih dari diriku sendiri membuat kedua mata terasa memanas. Tanpa tertahan, air yang lolos menjatuhi pipi hingga terasa basah.Kenapa baru sekarang orang seperti dia datang? Kenapa baru sekarang aku menemukan orang yang mampu menerjemahkan kebingungan? Kenapa baru sekarang aku bisa merasakan benar-benar menjadi manusia yang hidup dengan perasaan selayaknya?“Maaf kalau aku malah mengganggu kehidupan kamu yang tenang. Maaf kalau aku
Tak adanya bukti kuat membuatku bisa menghindari tuduhan Ayah dan Ibu. Mereka bahkan menggeledah kamar dan seluruh barang-barangku hingga semua menjadi berantakan. Saat mereka kembali menyebut namaku, rasa takut yang semula membayang malah bercampur perasaan aneh. Bagaimana bisa aku merasa sedikit kesal sekaligus bahagia hanya karena kembali dianggap terlihat? Mengapa rasanya lebih baik mereka memaki dan terus melontarkan ucapan kasar saja dibanding harus diacuhkan seperti yang sudah-sudah?Apa aku mulai sedikit gila dan kehilangan kewarasan? Aku bahkan terpikir andai sejak kemarin saja agar tak sempat merasa seperti hantu di antara mereka.Dengan perasaan lega yang tak wajar, aku memberanikan diri untuk meminta izin keluar dan membeli pulpen. Sekembalinya dari warung, aku sekaligus mengambil alkohol di semak. Benda itu masih aman pertanda tak tersentuh apalagi ketahuan orang-orang. Ide untuk tak segera membawanya ke rumah tadi sore ternyata benar-benar tepat. Aku yang
Rasa ingin buang air kecil membuatku terpaksa meninggalkan kelas. Walau sesekali terhuyung dan hampir jatuh, kupaksakan kedua kaki untuk terus melangkah. Kuabaikan tatapan dari orang-orang di sekitar. Rasanya, tatapan mereka kali ini sudah tak terlihat sebagai sebuah kebencian lagi.Langkahku terhenti saat ada tubuh lain yang berdiri di hadapan. Aku mendongak. Tampak Kak Anoy yang berdiri menatapku tajam dengan bersedekap.“Per-mi-si!” Terbata kuucapkan kata itu.Namun, Kak Anoy tak menyingkir sedikit pun. “Kamu ngapain?” tanyanya. “Jangan menghalangi jalan! Aku mau ke toilet, ah!” Kudorong dia dan segera mempercepat gerak kaki.Saat masuk dan buang air, aku termenung. Apa sikapku tadi sedikit berlebihan? Dia satu-satunya orang yang sejak awal baik kepadaku, kan?Apa aku harus meminta maaf? Namun,