"Aku mohon jangan dek. Aku janji akan memperbaiki semua kesalahanku padamu dan Nasya." Aku menggenggam erat kedua tangan Nada yang sangat dingin. Entah apa yang terjadi. Tanpa terasa air mata sudah meluncur deras dari kedua mataku. Bersamaan dengan air mata Nada yang juga menghiasi wajah cantiknya. Kami berdua menangis bersama."Keputusanku sudah bulat mas. Ini bukan pertama kalinya kamu mengabaikan Nasya demi Rahman. Bahkan saat acara kelulusan di TK kecil kau meninggalkan Nasya di tengah acara wisuda hanya karena Rumi mengatakan Rahman terus menangis karena ingin bertemu denganmu." Kata Nada tersendat karena masih menangis.Tiba-tiba saja semua potongan kejadian yang baru saja di sebutkan Nasya berputar dalam otakku seperti kaset rusak. Memikirkannya sekarang saja sudah membuatku sangat sedih. Aku sendiri tidak habis pikir bagaimana dulu aku bisa menuruti semua keinginan Rumi dan Rahman begitu saja. Hingga menciptakan luka yang sangat dalam di hati anakku yang lain. Bukan berarti ak
"Nasya sayang. Ayah nggak bermaksud menyakiti kamu." Ini pertama kalinya aku mendengar secara langsung kata jahat yang keluar dari mulut putriku. Dan kata itu di tujukan padaku, Ayahnya sendiri. "Nggak mau. Suruh Ayah pergi sekarang Bu." Jerit Nasya tidak terkendali. Hatiku semakin teriris pedih. Kenapa aku baru sadar kemarin jika semua hal yang aku lakukan setelah berpoligami begitu menyakitkan untuk Nada dan Nasya? Jika aku sadar lebih awal, mungkin aku masih bisa memperbaiki keadaan. Bersikap seadil mungkin di antara Nada dan Rumi. Memberikan perhatian yang sama besarnya pada Nasa seperti yang sudah aku berikan pada Rumi."Lebih baik Mas Adi pergi sekarang. Nggak enak sama pasien lain kalau suara tangis Nasya sampai keluar dari kamar ini." Aku hanya bisa menganggukan kepala lalu mulai melangkah pergi dari kamar ini. Karena aku tidak punya tempat tujuan lain, aku memutuskan untuk tidur di musola rumah sakit. Kelopak mataku tidak bisa kunjung terpejam. Perkataan Nasya yang mengatak
Berarti selama ini Papa Jaya dan Mama Tiah sudah tahu tentang masalah rumah tanggaku dan Nada. Tapi, seingatku Papa dan Mama masih tetap memperlakukan aku dengan baik. Mengingat aku adalah menantu pertama dalam keluarga mereka. Adik Nada yang masih menempuh pendidikan di Austrlia belum menikah hingga sekarang. "Lalu, bagaimana reaksi Mama mertuaku?" Arman terdengar menghela nafasnya di sebrang telpon. Sepertinya dia juga sedang kesal karena aku baru menyadari hal ini sekarang. Di saat semuanya sudah hampir terlambat. "Tante meminta Nada untuk membicarakan semua hal ini denganmu. Karena sebagai Ibu mertua, Tante tidak bisa ikut campur dengan rumah tangga kalian. Kamu termasuk beruntung Mas. Kalau aku jadi Mama mertuamu, sudah aku labrak istri keduamu itu. Ibarat kata Rumi itu masuk dalam rumah tanggamu dan Nada di saat kalian sudah mapan. Dia ingin ikut merasakan kemewahan harta dari hasil toko kalian itu. Padahal nyatanya Om Jaya yang berperan penting membuat toko kalian menjadi maj
Tubuhku seketika bergetar karena merasa marah. Apa maksud dari perkataan Rumi dan Mamanya tadi? Jadi, mereka sengaja merencanakan semua ini karena Rumi tahu aku lebih mengharapkan anak laki-laki sebagai anak pertama? Tapi, bukan itu maksduku. Jariku segera mengetikan pesan balasan untuk Arman dengan cepat. [Jika mereka masih ada di rumah kamu pasang kamera CCTV-nya besok saja Man. Sekitar jam tujuh sampai jam delapan pagi. Sekitar waktu itu rumah kosong karena Rumi dan Mamanya mengantarkan Rahman ke paud. Maaf karena aku sudah memberikan informasi yang salah. Untung kamu tidak ketahuan oleh Rumi dan Mamanya. Terima kasih untuk rekaman suaranya tadi.] Drrtt… Tidak membutuhkan waktu lama untuk Arman membalas pesanku. [Iya sama-sama Mas. Semoga kamu bisa segera menemukan apa yang selama ini di sembunyikan Rumi dan Mamanya. Ini aku dan temanku langsung pulang. Kita juga yang salah karena tidak meneliti garasi rumah ini dulu. Besok aku dan temanku akan coba lagi memasang kamera CCTV dan
Aku segera menggendong Rahman agar keluar dari rumah sakit ini. Seperti biasa jika sedang marah Rahman akan memukul orang terdekatnya. Kebiasaan yang seharusnya bisa aku ubah sejak dulu jika tidak terlalu memanjakan Rahman. Rumi dan Mama Saroh sudah berjalan di belakangku. Kami berdiri menunggu di teras rumah sakit untuk menunggu taksi online yang sudah aku pesan tadi. “Diam Rahman. Jangan mukul Ayah seperti itu. Kalau tidak Ayah nggak akan pulang sama kalian.” Ujarku dengan intonasi suara yang datar. Bahkan tanpa meninggikan suara sama sekali isak tangis Rahman yang keras tadi perlahan hilang. “Jangan bicara seperti itu pada Rahman mas. Dia hanya merindukan kamu saja.” Bela Rumi tidak ingin putranya di marahi. “Kamu juga diam Rum. Aku akan memperbaik semua hal yang salah. Tidak hanya tentang pembagian jadwal yang lebih adil di antara kamu dan Nada. Tapi, juga cara mendidik Rahman yang benar.” Jawabanku barusan tentu saja membuat Rumi sangat tercengang. Sejak kami berkenalan lalu
Karena Rumi terus bicara hal yang memojokan Nada, aku segera menarik tangannya agar bisa segera masuk ke dalam gedung rumah sakit. Rasanya aku ingin membentak Rumi saat ini juga karena sudah membuat semua orang tahu masalah keluarga kami. Namun, sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Nada bangkit dari kursinya dan membalikan semua perkataan Rumi. Istri pertamaku itu membalas dengan membuka aib kami juga. Membuatku tanpa sengaja menegurnya. Ia menatap mataku dengan garang. Sepertinya Nada sudah salah paham padaku. Bukannya aku ingin membela Rumi saat ini. Tapi akan lebih baik jika kami menyelesaikan masalah ini tanpa harus mengumbar aib. Walaupun yang memulai semua ini adalah Rumi. Tidak lupa juga Nada mengancam orang-orang di taman rumah sakit ini yang sudah merekam kejadian tadi untuk menghapus dan tidak menyebarkan rekaman tadi. Jika tidak Nada akan melaporkan mereka ke polisi. Untung saja mereka setuju karena mendengar ancaman tentang polisi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ja
Kejujuran demi kejujuran yang keluar dari mulutku membuat Nada merasa sangat geram. Aku rela melanggar janjiku pada Papa untuk menggelapkan uang toko hanya karena Rumi yang meminta. Melupakan ajaran-ajaran baik yang di tanamkan oleh Abah, Ibu dan Umi sejak kecil. Meskipun Nada sepertinya kembali merasa kecewa mendengar pengakuanku, tapi aku bersyukur karena Nada tidak marah lagi. Namun, aku baru merasa ada yang janggal setelah menjelaskan masalah ini pada Nada. Sejak kecil aku dan semua saudaraku di didik sebagai orang yang berprinsip sesuai kebenaran dan selalu menjunjung tinggi kejujuran. Itu juga yang tetap aku lakukan selama tiga tahun pertama pernikahaku dengan Nada. Bagaimana bisa hanya karena satu orang saja bisa mengubah semua ajaran Abah dalam sekejap? Rumi tidak hanya merebut semua perhatian dan kasih sayang yang seharusnya aku berikan untuk Nada dan Nasya. Tapi, Rumi juga sudah membuatku berubah menjadi seorang pencuri di toko yang kami dirikan sejak menikah. Aku lalu men
Dengan jelas aku bisa mengeja jika namaku ada disana. Tanpa sepengetahuan Mama Saroh, aku memasukan kertas itu ke dalam saku celanaku lalu melanjutkan untuk memasukan barang-barang mertuaku yang lain ke dalam tasnya. Mata Mama Saroh terus melihat ke lantai walaupun sudah tidak ada lagi barangnya yang tercecer. “Apa yang sedang Mama cari? Bukannya semua barang Mama sudah masuk ke dalam tas?” Tanyaku pura-pura heran. Mama Saroh segera menggelengkan kepalanya. “Nggak kok Di. Cuma perasaan Mama aja ada barang yang tertinggal.” Kami lalu berdiri bersama. Posisi kami masih berada di depan kamar utama. Kini, ia menatapku dengan pandangan heran. “Kamu nggak ganti baju dulu di kamar Di? Kenapa malah keluar lagi?” Tanya Mama Saroh heran. “Aku dan Rumi baru saja bertengkar Ma. Dia bahkan sampai menampar pipiku. Aku tidak ingin lepas kendali. Karena itulah aku memilih untuk segera keluar dari kamar.” Mama mertuaku itu menghela nafas berat. Kali ini aku memilih berkata jujur agar Rumi tidak me