Tubuhku seketika bergetar karena merasa marah. Apa maksud dari perkataan Rumi dan Mamanya tadi? Jadi, mereka sengaja merencanakan semua ini karena Rumi tahu aku lebih mengharapkan anak laki-laki sebagai anak pertama? Tapi, bukan itu maksduku. Jariku segera mengetikan pesan balasan untuk Arman dengan cepat. [Jika mereka masih ada di rumah kamu pasang kamera CCTV-nya besok saja Man. Sekitar jam tujuh sampai jam delapan pagi. Sekitar waktu itu rumah kosong karena Rumi dan Mamanya mengantarkan Rahman ke paud. Maaf karena aku sudah memberikan informasi yang salah. Untung kamu tidak ketahuan oleh Rumi dan Mamanya. Terima kasih untuk rekaman suaranya tadi.] Drrtt… Tidak membutuhkan waktu lama untuk Arman membalas pesanku. [Iya sama-sama Mas. Semoga kamu bisa segera menemukan apa yang selama ini di sembunyikan Rumi dan Mamanya. Ini aku dan temanku langsung pulang. Kita juga yang salah karena tidak meneliti garasi rumah ini dulu. Besok aku dan temanku akan coba lagi memasang kamera CCTV dan
Aku segera menggendong Rahman agar keluar dari rumah sakit ini. Seperti biasa jika sedang marah Rahman akan memukul orang terdekatnya. Kebiasaan yang seharusnya bisa aku ubah sejak dulu jika tidak terlalu memanjakan Rahman. Rumi dan Mama Saroh sudah berjalan di belakangku. Kami berdiri menunggu di teras rumah sakit untuk menunggu taksi online yang sudah aku pesan tadi. “Diam Rahman. Jangan mukul Ayah seperti itu. Kalau tidak Ayah nggak akan pulang sama kalian.” Ujarku dengan intonasi suara yang datar. Bahkan tanpa meninggikan suara sama sekali isak tangis Rahman yang keras tadi perlahan hilang. “Jangan bicara seperti itu pada Rahman mas. Dia hanya merindukan kamu saja.” Bela Rumi tidak ingin putranya di marahi. “Kamu juga diam Rum. Aku akan memperbaik semua hal yang salah. Tidak hanya tentang pembagian jadwal yang lebih adil di antara kamu dan Nada. Tapi, juga cara mendidik Rahman yang benar.” Jawabanku barusan tentu saja membuat Rumi sangat tercengang. Sejak kami berkenalan lalu
Karena Rumi terus bicara hal yang memojokan Nada, aku segera menarik tangannya agar bisa segera masuk ke dalam gedung rumah sakit. Rasanya aku ingin membentak Rumi saat ini juga karena sudah membuat semua orang tahu masalah keluarga kami. Namun, sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Nada bangkit dari kursinya dan membalikan semua perkataan Rumi. Istri pertamaku itu membalas dengan membuka aib kami juga. Membuatku tanpa sengaja menegurnya. Ia menatap mataku dengan garang. Sepertinya Nada sudah salah paham padaku. Bukannya aku ingin membela Rumi saat ini. Tapi akan lebih baik jika kami menyelesaikan masalah ini tanpa harus mengumbar aib. Walaupun yang memulai semua ini adalah Rumi. Tidak lupa juga Nada mengancam orang-orang di taman rumah sakit ini yang sudah merekam kejadian tadi untuk menghapus dan tidak menyebarkan rekaman tadi. Jika tidak Nada akan melaporkan mereka ke polisi. Untung saja mereka setuju karena mendengar ancaman tentang polisi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ja
Kejujuran demi kejujuran yang keluar dari mulutku membuat Nada merasa sangat geram. Aku rela melanggar janjiku pada Papa untuk menggelapkan uang toko hanya karena Rumi yang meminta. Melupakan ajaran-ajaran baik yang di tanamkan oleh Abah, Ibu dan Umi sejak kecil. Meskipun Nada sepertinya kembali merasa kecewa mendengar pengakuanku, tapi aku bersyukur karena Nada tidak marah lagi. Namun, aku baru merasa ada yang janggal setelah menjelaskan masalah ini pada Nada. Sejak kecil aku dan semua saudaraku di didik sebagai orang yang berprinsip sesuai kebenaran dan selalu menjunjung tinggi kejujuran. Itu juga yang tetap aku lakukan selama tiga tahun pertama pernikahaku dengan Nada. Bagaimana bisa hanya karena satu orang saja bisa mengubah semua ajaran Abah dalam sekejap? Rumi tidak hanya merebut semua perhatian dan kasih sayang yang seharusnya aku berikan untuk Nada dan Nasya. Tapi, Rumi juga sudah membuatku berubah menjadi seorang pencuri di toko yang kami dirikan sejak menikah. Aku lalu men
Dengan jelas aku bisa mengeja jika namaku ada disana. Tanpa sepengetahuan Mama Saroh, aku memasukan kertas itu ke dalam saku celanaku lalu melanjutkan untuk memasukan barang-barang mertuaku yang lain ke dalam tasnya. Mata Mama Saroh terus melihat ke lantai walaupun sudah tidak ada lagi barangnya yang tercecer. “Apa yang sedang Mama cari? Bukannya semua barang Mama sudah masuk ke dalam tas?” Tanyaku pura-pura heran. Mama Saroh segera menggelengkan kepalanya. “Nggak kok Di. Cuma perasaan Mama aja ada barang yang tertinggal.” Kami lalu berdiri bersama. Posisi kami masih berada di depan kamar utama. Kini, ia menatapku dengan pandangan heran. “Kamu nggak ganti baju dulu di kamar Di? Kenapa malah keluar lagi?” Tanya Mama Saroh heran. “Aku dan Rumi baru saja bertengkar Ma. Dia bahkan sampai menampar pipiku. Aku tidak ingin lepas kendali. Karena itulah aku memilih untuk segera keluar dari kamar.” Mama mertuaku itu menghela nafas berat. Kali ini aku memilih berkata jujur agar Rumi tidak me
Pagi itu aku menasihati Rahman dengan banyak hal. Aku juga sempat bertengkar dengan Rumi karena masalah dia dalam mendidik Rahman. Sayangnya belum selesai aku bicara, Nasya sudah masuk ke dalam ruang keluarga. Putriku itu tampak terpaku di depan pintu. Nada segera meminta Nasya untuk salim pada Rumi dan Mama Saroh. Langkah Nasya terlihat berat dan ragu saat mendekati kami. Dari jarak dekat aku bisa melihat kedua matga Nasya yang berkaca-kaca. Nada mengatakan pada Nasya untuk menungguku di ayunan. Tapi, balasan Nasya sungguh menohok hatiku sangat dalam. Nasya sudah tidak percaya jika aku akan menepati janjiku. Dia langsung keluar lagi dengan cepat. Sementara itu, Rahman kembali menangis dalam pangkuanku. “Diam Rahman. Kamu tidak bisa mendapatkan semua keinginanmu hanya dengan menangis.” Kali ini aku sudah kelepasan hingga membentaknya. Raut wajah Rahman terlihat sangat ketakutan. Anak laki-lakiku itu lalu menangis dalam pelukan Mamanya. Kami kembali berdebat tentang masalah ini. Kare
Perdebatan hari itu sama sekali tidak bisa terhindarkan. Rumi akhirnya tahu jika aku dan Nada akan mengangkat Karina sebagai anak kami. Selain itu, aku juga akan melaporkan Rahmi ke kantor polisi karena sudah melakukan pemganiayaan pada Karina. Orang yang selalu vokal berbicara justru Rumi. Bukan Rahmi yang mengaku sebagai Ibu kandung Karina. Hingga akhirnya Rahmi juga angkat bicara. “Apa bukti kalian jika saya melakukan penganiayaan pada Karina? Saya akui jika selama ini saya hanya diam saja selama suami saya memukul Karina. Tapi, saya terpaksa diam karena jika saya bergerak, suami saya akan semakin keras memukul anak kami. Setelah Karina kabur aku baru sadar jika sikap saya yang memilih diam selama ini salah.” Nada mendengus tidak percaya. “Apa anda mengatakan jika Karina berbohong pada psikiater yang sudah memeriksanya?” Rahmi menganggukan kepala tanpa ragu. “Bisa jadi anak umur tiga tahun berbohong. Tidak ada yang tidak mungkin mbak.” “Mbak Rahmi benar. Lagian Mbak Nada dan Ma
POV Nada Sudah tiga hari ini Mas Adi berada di rumah Rumi. Selama itu pula aku menyibukan diri dengan bekerja bersama Shanum dan Bude Sri serta mengurus Nasya dan Karina. Untuk pengurusan hak asuh Karina akan kami lakukan setelah hasil tes dna sudah keluar. Akan butuh banyak waktu dan proses hingga pengalihan status Karina sebagai anak kandung Mas Adi dan Rumi. Belum lagi hak asuhnya yang akan jatuh ke tanganku dan Mas Adi. Saat ini aku tengah berada di lantai dua yang terletak di atas dapur dan kamar mandi. Ruangan luas yang sengaja di buat untuk bersantai sudah penuh dengan tumpukan baju yang akan aku jual. Dari lantai dua aku bisa melihat Nasya yang tengah mengajari Karina menaiki sepeda roda tiga yang baru saja aku belikan kemarin. Rasanya sangat bahagia bisa melihat Nasya sangat senang punya adik baru. Meskipun tidak terlahir dari rahim yang sama. “Karina itu mirip banget sama Nasya dan Mas Adi ya mbak. Kalau kalian lagi jalan di luar mungkin orang-orang akan mengira jika Kar