"Maaf ya, Mas nggak langsung ngater kamu pulang. Tunggu kamu tenang dulu baru nanti Mas anter, takutnya Dafa mikir yang Nggak-nggak sama Mas,""Ya Mas, nggak apa-apa kok aku ngerti," jawab Syifa yang menyusul Tito duduk di sofa. Tito memang sengaja mengajak Syifa ke kantornya terlebih dahulu sebelum mengantar gadis itu pulang. Dia tak ingin, Dafa berpikir negatif karena Syifa masih terlihat syok akibat kejadian tadi. "Kamu mau pesan apa? Minum atau makan? biar Mas pesan kan OB, Mas mau ada kerjaan soalnya.""Nggak usah, eh. Minum deh terserah," Tito terkekeh pelan mengusap kepala Syifa. "Oke, kalau gitu Mas kesitu dulu ya, kamu nggak usah takut. Mas nggak akan macam-macam. Kamu istirahat aja dulu di sini." pesan Tito sebelum akhirnya pria itu beranjak dan kini sudah duduk di kursi kebesarannya. Sebelum mengerjakan pekerjaannya, Tito menelpon OB untuk membelikan minuman dan beberapa cemilan. Dalam sekejap pria berkemeja biru dongker tersebut sudah sibuk. Syifa yang duduk anteng m
Derap suara langkah kaki menggema di koridor rumah sakit, dan orang itu adalah Tito bersama Syifa, keduanya kaget saat mendapat kabar dari Mbo Darmi kalau Ayana masuk ke rumah sakit. "Mas Dafa!" panggil Syifa saat tiba di hadapan Kakaknya itu. Hati Syifa mencelos melihat bagaimana rapuhnya sang Kakak, mata sebab oleh air mata, ada tatapan khawatir dan ketakutan yang gadis itu tangkap dari sorot mata Dafa. Tak pernah Syifa melihat kakaknya serapuh ini, tapi ia pernah mendengar dari Ibu Hasniah kalau dulu Dafa sangat terpuruk dan begitu rapuh ketika mereka kehilangan ibu kandungnya, bisa ia bayangkan bagaimana dulu Dafa. "Sebenarnya apa yang terjadi Daf?" tanya Tito mewakili Syifa yang juga ingin bertanya dengan hal yang sama. Dafa tak hanya menggeleng pelan, bibirnya bergetar. "Gue nggak tau, gue lihat Aya sudah jatuh di teras depan," jawab Dafa akhirnya meskipun pelan dan serak. "Mas sabar ya, kita berdoa aja semoga Mba Aya sama bayinya nggak kenapa-napa," ucap Syifa yang ikut d
Berhenti di tempat gelap dan sepi, Tito memikirkan mobilnya di dekat salah satu gang kecil, pria itu keluar dan tidak lama Dafa ikut turun dan menghampiri sahabatnya itu. "Lo yakin Rama di sini?""Yang Ian bilang sih di sini," jawab Tito sambil mengedarkan pandangannya melihat area tempat tinggal yang masih di domisili hutan dan perkebunan. "Kayaknya di sana," tunjuk pria itu ke satu rumah di salah satu gang kecil tadi. Tanpa banyak kata, Dafa melebarkan langkah kakinya ke tempat yang di tunjuk Tito, tiba di sana ada suara seseorang sedang mengobrol. Dafa memberi kode ke Tito untuk berhenti dan mencoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan, Bersandar di dinding keduanya mulai menguping. "Udahlah Bos, paling perempuan itu nggak apa-apa, jangan terlalu khawatir.""Iya Bos, bukannya ini bagus ya? Kalau perempuan itu kegugurankan yang untuk Bos juga.""Gue lagi mikir keadaan Aya, persetan dengan bayi itu. Kalau sampai terjadi sesuatu sama Ayana gimana?" Rama panik dan khawatir pada
"Selamat pagi," sapa dokter yang masuk kekamar Aya bersama suster di belakangnya. "Pagi Dok," balas Dafa menggeser posisinya, memberi ruang pada dokter tersebut untuk memeriksa keadaan istrinya. "Bagaimana dok?" tanya Dafa setelah dokter itu selesai memeriksa. Ada senyum yang terlihat dari sudut bibir sang dokter. "Alhamdulillah, kondisinya sudah stabil dan semakin membaik, tapi tetap kita masih harus menunggu sampai Bu Aya siuman. Agar tau apa yang di rasakan oleh istri anda.""Alhamdulillah," gumam Dafa meraup wajahnya, ada rasa lega meskipun harus menunggu lagi. "Baiklah, kalau gitu saya permisi dulu, masih ada pasien lain yang harus saya periksa.""Iya Dok, terima kasih." dokter itu mengulas senyum dan mulai keluar dari ruangan itu. Dafa membungkuk, memberikan kecupan di kening Aya lama, memandangi wajah damai istrinya yang sangat cantik. "Cepat bangun sayang, aku kangen." gumam Dafa di sisi kanan perempuan itu, ia mengusap pipinya dengan lembut sangat berharap Aya segera me
Berada di di kantor polisi berjam-jam cukup membosankan dan melelahkan, banyak pertanyaan yang di ajukan oleh pihak kepolisian untuk mencari informasi tentang Rama. "Belum selesai juga?" kata Tito saat Dafa keluar dari ruangan. "Belum, masih di suruh nunggu." katanya begitu lesu, ia duduk di samping Tito menyandarkan kepalanya di dinding. Melihat sahabatnya yang begitu lelah, Tito pun ikut menghela napas lelahnya, jujur. Dirinya pun lelah menunggu Dafa di ruang tunggu sangat membosankan, untung saja Syifa mau menemaninya lewat pesan singkat, dan tadi sempat video call'an. "Gue capek,""Sama." saut Tito cepat. Dafa menolehkan kepalanya, menghadap ke Tito. "Sorry ya To, gue selalu nyusahin lo. Gue tau selama ini, gue yang banyak minta bantuan lo, kalau nggak ada lo, gue nggak tau bakal seperti apa.""Emang lo nyusahin, Makanya lo harus baik-baik sama gue." ujarnya lalu terkekeh pelan. "Canda. Gue nggak masalah selagi gue bisa bantu pasti, gue bantu."Dafa tersenyum, merangkul punda
"Mau ngapain lagi sih tuh orang minta ketemu Aya, terus lo izinin?" cerocos Tito dengan nada jengkel. Dafa yang duduk di jok penumpang hanya diam mencoba berpikir. "Woy! kampret. Gue ngomong sama lo!' bentak Tito yang kesal karena diabaikan oleh sahabatnya itu. "Apaan sih. Berisi lo!" sungut Dafa yang tak kalah kesal. "Lah. Kok ngegas, gue nanya lo kacangin.""CK, gue lagi mikir. Gimana caranya Aya ketemu dia? kondisinya aja belum berubah," ucap Dafa nads rendah. "Lo jangan pesimis gini dong, harus semangat. Gue yakin Aya cepat bangun dan sehat lagi, bayi lo juga pasti kuat.""Amin," balas Dafa menunduk. Membuang napas kasar Dafa menyandarkan kepalanya dijok mobil. "Tapi gimana caranya? bawa Aya ketemu Rama." gumam Dafa menaruh ujung jarinya di bibir. "Nah itu dia yang gue pikirin juga dari tadi," ujar Tito setengah jengkel. "Tauah, yang penting sekarang kesehatan Aya. Gue nggak bisa tenang kalau belum lihat Aya buka matanya." Tito hanya mengangguk lalu mempercepat kendaraannya
"Tito." mendengar namanya disebut, membuat pria itu menoleh senyuman diwajah tampannya perlahan memudar. Diganti dengan raut wajah datar, dan marah. "Apa kabar?" sapa seorang perempuan. Tito melengos mengabaikan perempuan itu, ia berjalan cepat kearah Syifa. "Tito, dengerin penjelasan aku dulu. Kumohon aku bisa jelasin semuanya," kata perempuan itu mengikutinya dari belakang. Meraih tangan Syifa, ia ingin membawa gadis itu pergi. "Syifa maaf makan es krimnya lain kali aja, sekarang kita pergi." meskipun dalam keadaan bingung, terlebih perempuan itu terus memohon pada kekasihnya, membuatnya bertanya-tanya. Meskipun dalam keadaan kesal, Tito tetap membukakan pintu melindungi kepala Syifa agar tidak terbentur, melihat bagaimana perhatian Tito kepada gadis itu, membuat raut wajah perempuan tadi begitu sedih, air matanya semakin deras mengalir. "Tito, maafin aku." gumam perempuan itu menangis pilu memandang kepergian pria itu. Didalam mobil, Syifa sesekali melirik Tito, terlihat jela
Hanya ada berdua diruangan itu, membuat Aya gugup, bukan karena apa-apa. Dafa sedari tadi hanya diam memandang kearahnya dengan senyum manis. "Mas, jangan lihatin aku terus," tergur Aya. Dafa semakin melebarkan senyumannya, ia meraih tangan Aya lalu dicium begitu lembut dan lama. "Memang kenapa?" kata Dafa memiringkan kepalanya dengan tangan Aya berada disisi pipinya. "Aku gugup Mas," aku Aya tanpa ragu. Pria itu tergelak sedikit mencubit pipi sang istri. "Aku lagi senang sayang, akhirnya doa aku, supaya kamu cepat sadar dan anak kita baik-baik aja. Didengar sama Allah, aku sangat berharap anak kita bisa bertahan."Aya ikut tersenyum, mengucapkan syukur dalam hatinya. Mengingat kejadian itu hanya membuat jantungnya berdetak cukup kencang, dia ingat saat mata mereka bertemu, ditambah senyum yang diberikan oleh pria, seketika tubuhnya meremang. Bagaimana bisa, orang itu ada disana, dan bagaimana bisa pria itu tau dia tinggal dimana. Padahal ia sudah berharap ketika pindah dia tak