Mobil Sergio meluncur dengan kecepatan penuh melewati jalanan yang nyaris tertutup balok es. Pria itu berusaha mencari jalan alternatif, agar perjalanannya tidak terhambat. Ya, tepat di kala Benton sudah datang—Sergio langsung mengajak Hazel pergi meninggalkan penthouse-nya.Sergio tidak ingin mengambil risiko tetap tinggal di penthouse yang berhasil dibobol oleh orang tak dikenal. Meskipun badai salju, dia tetap nekat pergi. Beruntung sekarang salju sudah sedikit mereda. Tidak seperti tadi yang cukup lebat.Sergio bukan takut pada badai salju. Namun, yang tak dia sukai dari salju adalah mempersulit dirinya menemukan jalan. Sebab, hampir semua jalanan tertutup oleh balok es yang tak bisa ditembus.“Sergio, kita akan pergi ke mana?” tanya Hazel pelan seraya menatap Sergio. Dia hanya menurut, tanpa tahu ke mana Sergio akan membawanya.“Kita akan tinggal di apartemenku.” Sergio menjawab dengan tatapan fokus lurus ke depan.Hazel menghela napas dalam penuh kegelisahan. “Tadi musuhmu yang
“Sergio!” Hazel menjerit seraya membuka mata di kala mimpi buruk telah menyerangnya. Sergio langsung membuka mata ketika Hazel menjeritkan namanya. Pria itu menatap Hazel yang napasnya tak berarturan.“Minum dulu.” Sergio mengambil minuman yang ada di atas nakas, dan memberikan pada Hazel. Pun Hazel menerima—meminum perlahan—dan meletakan kembali minumannya ke atas meja.Napas Hazel memburu tak beraturan. Keringat dingin menyelimuti tubuhnya. Kepingan memorinya terus mengingat tentang mimpi buruk yang menghantam dirinya. Debar jantungnya berpacu semakin kencang di kala tak bisa melupakan mimpinya itu.“Hey, kau mimpi apa?” Sergio menangkup kedua pipi Hazel, menatap hangat wanita itu.Bahu Hazel bergetar ketakutan. “S-Sergio, a-aku—” Lidahnya tiba-tiba saja kelu, tak bisa merangkai sebuah kata.Sergio menangkap ketakutan di wajah Hazel. Pria itu membelai lembut pipi Hazel. “Aku di sini. Kau aman bersamaku. Katakan kau mimpi apa?” tanyanya seraya menarik pelan tubuh Hazel—masuk ke dalam
“Justin, kapan kau akan kembali dari Bern?” Athena bertanya seraya menatap sang suami yang sibuk dengan MacBook-nya. Entah kenapa hatinya merasa ada yang tidak beres. Dia sudah tahu bahwa Hazel menghilang. Justin, Nathan, dan Joseph akan mencari Hazel. Athena tidak melarang, tapi perasaan Athena berkata buruk seolah akan ada terjadi sesuatu. Namun itu sangat sulit dia ungkapkan.“Aku belum tahu. Pertama aku harus menemukan Hazel. Kedua aku harus memisahkan Hazel dari pria tidak jelas yang berada di dekatnya. Ketiga aku harus melenyapkan musuh Dad,” terang Justin memberikan ketegasan nyata.Athena mendekat, duduk di samping Justin. “Sayang, apa tidak lebih baik kau ditemani polisi? Aku takut terjadi sesuatu hal buruk padamu, Nathan, Joseph, dan Hazel.”Justin menutup MacBook-nya, dan meletakan ke atas meja. Dia menarik tubuh sang istri, masuk ke dalam pelukannya. “Aku, Nathan, dan Joseph tidaklah lemah. Hazel adalah adik perempuan kami. Kami memiliki tanggung jawab untuk menjaganya. Ak
New York, USA. Arthur duduk di kursi kebesarannya dengan raut wajah yang menyimpan jutaan pikiran berat. Tiga putranya baru saja berangkat ke Bern bersama dengan para pengawal. Mereka memiliki tujuan penting yaitu menemukan Hazel—putri bungsunya yang hilang bagaikan ditelan ombak.Arthur mendapatkan ancaman yang tidaklah main-main. Pria paruh baya itu tidak akan mungkin hanya diam di kala mendapatkan sebuah ancaman. Akan ada yang menyakiti salah satu anaknya. Detik itu juga, otak Arthur berpikir incaran musuhnya adalah Hazel. Tidak mungkin musuhnya mengincar tiga putranya.Justin, Nathan, dan Joseph sangat tangguh. Musuh tak mungkin mengincar salah satu putranya. Target musuhnya pastilah Hazel. Tadinya Arthur ingin turun tangan dalam mencari Hazel, tetapi tiga putranya melarang. Tiga putranya yang akan turun tangan dalam pencarian Hazel.“Sayang, minum dulu tehmu. Aku sudah membuatkan teh untukmu.” Bianca menghampiri Arthur, memberikan minuman yang sudah dia buat untuk sang suami.Ar
Athena mengeluarkan ponselnya, hendak menghubungi nomor pengawalnya, tapi tiba-tiba saja tatapan Athena dan Aubree teralih pada satu mobil hitam yang berhenti di dekatnya. Mereka tahu bahwa itu bukanlah mobil pengawal mereka. Detik itu juga Athena dan Aubree melangkah mundur menjauh. Mereka saling menatap sau sama lain, tatapan bingung bercampur dengan cemas.“Nyonya Afford.” Dua orang pria berperawakan tinggi besar menghampiri Athena dan Aubree.“Siapa kalian?” Athena lebih dulu memberikan teguran keras.Aubree gemetar ketakutan, tapi dia segera menekan angka satu agar menyambung khusus ke nomor Nathan. Sayangnya, panggilan pada Nathan tak tersambung. Debar jantung Aubree semakin berpacu, tapi dia tetap berusaha tenang.“Bos kami menginginkan Anda untuk ikut bersama kami.” Dua pria itu tersenyum miring.“Siapa bos kalian! Jangan macam-macam!” bentak Aubree mulai memberanikan diri, meski tangannya gemetar.“Nanti kalian akan tahu.” Dua pria bertubuh tinggi tegap, hendak ingin mendekat
Sergio melangkah masuk ke dalam apartemennya, dan menuju ke kamar. Di apartemennya yang jauh dari pusat kota ini, dia tidak memiliki pelayan yang menetap tinggal. Pelayannya hanya sampai di jam delapan malam. Alasannya, karena memang Sergio tidak suka apartemen sederahananya ini ditinggali banyak orang.Waktu menunjukkan pukul satu malam. Sergio yakin bahwa pasti Hazel sudah tidur lelap. Setibanya di kamar, apa yang menjadi dugaannya benar. Hazel sudah tertidur pulas layaknya bayi yang tidak bisa diganggu.Sergio duduk di tepi ranjang, membelai lembut pipi Hazel. Dia mengecupi pipi sang kekasih, lalu perlahan-lahan Hazel mengerjapkan mata. Wanita itu terbangun dari tidurnya akibat merasakan sentuhan di pipi.“Sergio?” Hazel semeringah melihat Sergio ada di hadapannya.“Maaf membangunkanmu.” Sergio membelai pipi Hazel lembut. Hazel menggelengkan kepalanya. “Aku sudah tidak lagi mengantuk. Kau pulang larut malam sekali.” Dia melirik jam dinding—waktu sudah menunjukkan pukul satu.“Ya,
Object pertama kali yang Hazel lihat di kala membuka mata adalah Sergio tengah memeluknya. Object yang sangat indah. Hazel tidak pernah menyangka akan jatuh cinta sedalam ini pada sosok Sergio Blanco—pria yang memesona di matanya.Seumur hidup, Hazel belum pernah jatuh cinta. Hidup Hazel selama ini hanya di kelilingi para pengawal, keluarga, dan tenang. Banyak pria yang menggilainya, tapi belum pernah ada satu pun pria yang berhasil membuat hati Hazel bergetar.Hanya Sergio Blanco. Jawaban dari segala doa yang dia inginkan ada pada Sergio. Ini memang sudah gila. Banyak mungkin orang yang takut pada Sergio, tapi sayangnya tidak dengan Hazel. Wanita itu malah tidak memiliki sedikit pun rasa takut.Hazel tahu bahwa pekerjaan Sergio sangatlah berbahaya. Namun, tadi malam Sergio telah menjawab bahwa pria itu akan berhenti. Sang pujaan hati akan membunuh jika sampai ada yang melukainya. Itu adalah bentuk ungkapan dari Sergio hanya fokus melindungi dirinya.Hazel tergila-gila pada sosok Serg
“Kau—” Joseph hendak ingin menghajar Sergio. Kepingan memorinya teringat bagaimana dulu dia berkelahi hebat dengan pria sialan itu. Namun, di kala Joseph hendak ingin maju menghajar—geraknya terhenti di kala Justin dan Nathan menahan Joseph.“Kendalikan dirimu, Joseph!” tegur Justin tegas pada sang adik. “Jika kau memukulnya, semua akan kacau. Jangan bertindak lebih dulu,” tukas Nathan memberikan peringatan yang tak main-main.Joseph mengumpat dalam hati mendengar peringatan dari kakaknya. Padahal tangannya sudah gatal ingin menghajar Sergio. Dia yakin seribu persen pasti Hazel disembunyikan oleh Sergio Blanco.Sergio tersenyum samar melihat kemarahan Joseph. “Relaks, kenapa kalian terlihat membenciku? Apakah aku melakukan kesalahan? Sepertinya tidak.”Sebelumnya Sergio sudah mendapatkan informasi dari Benton bahwa Justin, Nathan, dan Joseph datang ke klub malam miliknya. Tiga pria hebat yang merupakan kakak kandung Hazel, tak disangka mendatanginya secara bersamaan. “Aku tahu Haze